Minggu, 07 Desember 2008

KOK BISA ?

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Mengamati Oscar Pistorius, si 'Blade Runner', juara paraolimpik atau olimpiade untuk penyandang cacad dalam nomor lari 100m, 200m dan 400 m, yang berjuang untuk dapat melawan atlit berkaki normal di Olimpiade Beijing, tentunya kita akan berkata, “Kok bisa, ya?” Ia yang kakinya sudah diamputasi sejak usia 1 tahun, tidak berhenti untuk melakukan hal-hal hebat yang mengundang kekaguman. Banyak hal-hal hebat lain yang terjadi di sekitar kita, yang kita ketahui dari bacaan, tontotan di media massa ataupun kita alami sendiri. Tanpa disadari, melihat hal-hal yang menakjubkan, kita sering ditempatkan pada posisi penonton. Bengong.

Kehebatan yang kita amati tersebut bisa berdampak dalam berbagai tingkatan dalam kehidupan kita. Bisa saja secara rasional, kita membahasnya, bahkan sampai detil, mengenai apa dan mengapa individu ’hebat’ bisa melakukan hal-hal itu. Kita juga bisa secara lebih dalam, merefleksikan ke dalam diri kita dan menjawab pertanyaan “so what”, bagaimana dengan diri kita? Tentunya yang terbaik adalah bila kita langsung membuat action plan kecil, lalu ‘meniru’ sikap, cara atau kebiasaannya, sehingga kita mendapatkan manfaat dari hasil pengamatan tersebut alias berubah.

Mudah dikatakan memang, namun tak semudah itu dilaksanakan! Mengapa? Pertama-tama, kita sering melihat bahwa kita tidak punya potensi se-’besar’ orang lain. Kita sering merasa bahwa orang-orang hebat mempunyai ’Star Qualities’ yang dibawa sejak lahir. Kita pikir, ‘titik start’ orang-orang hebat itu berbeda. Padahal, Oscar Pistorius saja mengatakan: “Saya tidak melihat diri saya sebagai penyandang cacat”. Ini artinya dia yang kita amati punya titik start minus, malahan mengambil titik start normal. Hal lain yang juga sering menyebabkan kita setidaknya sering menunda upaya keras adalah ketakutan akan perubahan. Oscar meyakini bahwa kemenangannya bukan dikarenakan kaki penggantinya yang berbahan “carbon-fiber” canggih, yang disebut dengan julukan “the cheetah”. Oscar menyatakan bahwa kunci kemenangannya adalah sekedar keinginan untuk senantiasa berubah. Kedua unsur mentalitas ini memang sangat penting untuk dijadikan dasar keyakinan “Can Do” seseorang.

Optimiskah kita?

Dalam suatu pertemuan, seorang peserta bertanya pada saya: ”Apakah anda percaya bahwa hidup ini tidak ’fair’?”. Saya jawab dengan tegas: “Ya, iyalah”. Saya lalu menceritakan padanya betapa saya yang berusia 58 tahun, pernah berada dalam antrian toilet, di belakang 15 gadis belia, tetapi tidak mendapatkan kemudahan. Namun, bila saya memaksa menerobos, bayangkan apa yang akan dikatakan dan dipikirkan ke-15 gadis belia itu. Sama-sama tidak fair, bukan?.

Bukankah semuanya tergantung pada bagaimana kita meyakinkan diri tentang situasi yang kita hadapi? Kita bisa belajar mengatakan pada diri sendiri dengan menyebutkan hal-hal yang bisa kita garap dalam menghadapi situasi sulit. Daripada mengatakan “alangkah tidak beruntungnya saya”, kita bisa lebih berbuat baik pada diri kita sendiri dengan mengatakan “hari ini hasil saya segini”. Tanpa disadari otak kita bisa kita penuhi dengan “Self-Limiting Statements” yang membatasi diri kita sendiri dalam lingkaran ketidakmampuan dan keterhambatan potensi. “Tidak mungkin”, “Mana mungkin”, dan “Tidak bisa” kerap mewarnai rapat-rapat kontra produktif, sehingga tanpa kita sadari kekuatan kita pun semakin berkurang.

“Can-do attitude”: Memberi “Impact”

Teman saya, hampir selalu meng-iya-kan permintaan pelanggan sehingga beberapa rekannya kadang berolok-olok agar ia tidak usah menemui pelanggan saja. “Mengimplementasikan apa yang sudah dia komitkan ke pelanggan, itu yang susah”, demikian komentar teman-temannya. Padahal, tidak bisa dipungkiri bahwa perusahaan menikmati sukses karena komitmen-komitmen yang kompetitif seperti itu. “Bagaimana mau menyaingi perusahaan kelas dunia, kalau ’ini ngga bisa, itu ngga bisa’?”, demikian komentarnya. Astra, ditantang oleh Toyota memproduksi Avanza dalam 2 bulan. Mau tidak mau, mereka meng-iya-kan kesanggupannya, dan ternyata, tantangan itu betul-betul bisa diwujudkan.

Belajar dari bisnis Walt Disney yang tidak ada habisnya, kita juga bisa mengadaptasi keyakinan mereka: ”If you dream it, you can do it. If you believe you can, you probably can. If you believe you won't, you most assuredly won't.”. Hanya dengan “walk the extra mile” saja, kita bisa tampil sebagai perusahaan atau individu yang menonjol. Kita pasti bisa bersikap lebih responsif, lebih cepat, senantiasa bisa diakses, bisa menerangkan proses kerja dengan gamblang, tidak menunda follow up, menyelesaikan sebelum diminta, dan yang paling penting, para “stakeholder” meyakini bahwa kita selalu melakukan perbaikan dan bisa mengalahkan pesaing. “Kalau orang lain bisa, kenapa kita tidak bisa?”

Belajar “Can Do”

Mungkin pada saat bayi belajar berjalan, ia mulai mempelajari sikap ragu dan kata “tidak bisa”. Pernyataan ini bisa kita pelihara terus sampai mati, bisa juga kita hentikan. Kita bisa meyakinkan diri, bahwa mengungkapan pernyataan “tidak bisa” adalah sebuah “kebiasaan”. Saya sendiri kadang merasa malu bila dalam suatu rapat, saya melontarkan kata ”tidak bisa”, kemudian ada orang lain yang berkomentar:”Kenapa tidak?”. Karenanya, kita sebaiknya menyetop kebiasaan mengatakan ”tidak bisa”, ”tidak mampu”, atau ”tidak mungkin”, sebelum merusak mental kita lebih jauh. Kita bisa gantikan ’ketidakbisaan’ dengan selalu memikirkan jalan keluar yang ’bisa’ kita kontrol dan lakukan. Dengan sedikit tambahan kreativitas, kita akan bisa mencari celah atau jalan lain, bila ternyata apa yang kita upayakan mentok.

Satu hal yang saya pelajari juga dalam bekerja adalah melakukan hal-hal yang “saya banget” alias “do it my way”. Pengalaman saya adalah dengan melaksanakan suatu tindakan dengan cara, gaya dan ketrampilan diri sendiri, berdasarkan keyakinan diri dan profesi sendiri, atau sesuai dengan sistem prosedur perusahaan yang kita hafal dan kuasai betul, biasanya kita merasa lebih mantap melakukannya.

Berjiwa Pemenang

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Tanpa menggunakan alat ukur yang reliabel, kita semua bisa membedakan ‘rasa’ di dalam dada kita saat melihat foto atlet Indonesia di halaman muka Kompas memamerkan medalinya dari Ajang Olimpiade, dibandingkan dengan melihat foto model koruptor yang sedang dalam proses ‘didandani’. Rasa yang ’melambung’ bila masuk dalam situasi ‘pemenang’ dan sebaliknya rasa ‘terpukul’ dalam situasi ‘pecundang’ sangat mudah kita bedakan. (Ditayangkan di KOMPAS, 23 Agustus 2008)

Saat situasi ‘pecundang’ lebih sering kita alami, rasa pahit yang bertubi-tubi bisa tergantikan dengan rasa terpuruk, pesimis, bahkan bila tidak hati-hati bisa mengakar menjadi sikap apatis dan cuek terhadap situasi sekitar. Dalam situasi negara yang sulit begini, baik kondisi moral maupun material, mau tidak mau media massa memberitakan realita yang membuat kita sulit menepuk dada kemenangan. Lebih kecut lagi, bila kita sedang tidak beruntung, dan bertemu dengan individu berbangsa lain, yang dengan sinis membeberkan kelemahan bangsa kita, seperti kesenjangan antara kaya dan miskin, konsumerisme orang-orang berduit, lemahnya solidaritas dan korupsi yang merajalela. Menghadapi situasi ini, berat rasanya bisa ‘merasa menang’, mengangkat dagu dan tetap bersemangat pemenang. Pertanyaannya, haruskah kita merasa terpuruk terus, dan menunggu terus sampai keadaan Negara dan ekonomi lebih baik, lebih bersih dan lebih makmur?

Disadari atau tidak, sikap pecundang yang terpelihara seperti ini tentunya akan mempengaruhi kinerja kita dalam porsi yang lebih mikro, misalnya di perusahaan, dan akan mempengaruhi “fighting spirit” kita secara umum dalam bersaing bisnis dengan negara lain. Bisa-bisa kita tergiring oleh lingkaran setan dan semakin tenggelam dalam ke-’pecundang’-an dalam rasa. Vince Lombardi, seorang coach american football legendaris tahun 50-an mengumandangkan: ``Winning isn’t everything, it’s the ONLY thing”, sementara kita di sini masih sibuk dengan memenuhi pikiran dengan rasa cemas karena semangat korupsi yang tidak kunjung padam, tidak meyakini bahwa pembayaran pajak akan kembali kepada kesejahteraan rakyat, merasa sulit memprediksi sukses, bahkan menyembunyikan perasaan’kalah’ dengan bersikap jumawa. Kita semua tahu bahwa bersemangat pemenang itu positif, namun demikian kita tidak gampang memenangkannya tanpa upaya.

Pemenang yang Sehat Memperhitungkan Kekalahan

Teman saya, anak sulung harapan keluarga, selalu ‘dimenangkan’ oleh orangtuanya dan kebetulan jarang sekali menghadapi kegagalan, baik dalam pendidikan, berorganisasi dan aspek kehidupan lainnya. Keadaan menang terus-menerus ini menyebabkan ia tidak akrab dengan kekalahan. Sebagai akibat, sikapnya jadi tidak mau menghadapi kekalahan, apapun aturan dan konsekuensinya, alias “tidak mau kalah atau mengalah”. Teman kita ini memang sering menang, tetapi ia belum mempunyai “mindset” pemenang yang sebenarnya, karena ia tidak siap kalah. Orang seperti ini bahkan ada yang bisa menghalalkan segala cara demi mempertahankan posisi pemenangnya.

Orang yang berusaha menang secara obsesif semata untuk mendapatkan penghargaan, menghindari rasa malu, biasanya tidak bisa mengatur enerji, sehingga dalam situasi kalah ia tidak siap bahkan menunjukkan kemarahan. Mungkin kita masih ingat betapa petenis juara, John McEnroe, yang mengekspresikan kemarahannya dalam banyak situasi pertandingan yang bermasalah baginya, sehingga mengesankan dirinya bukan sebagai pemenang tetapi justru pecundang. Kita perlu sadari bahwa sikap pemenang tidak selalu membawa kemenangan, tetapi justru kita perlu tetap mempertahankan “mindset” pemenang dalam situasi apapun.

Menang yang sebenarnya adalah termasuk memperlihatkan komitmen, kebesaran jiwa dan penghargaan terhadap aturan, aturan main, sistem dan prosedur yang sudah dibuat. Komitmen terhadap semua konsekuensi yang perlu ditanggung, menyebabkan kita bisa berangkat ke suatu situasi dengan sensasi dan memori positif, sehingga dampak emosi positif ini berubah menjadi energi positif. Inilah mindset pemenang yang sebenarnya.

Berniat Benar, Bergerak, Bertindak

Ayah saya selalu mengingatkan, bahwa sejahat-jahatnya perbuatan seseorang, pada dasarnya manusia normal itu ingin melakukan hal-hal yang benar dan baik, bukan karena diperintahkan, tetapi memang secara natural mempunyai sikap demikian. Kenyataan ini sebenarnya cukup menjadi dasar semua keyakinan kita untuk senantiasa merasa kuat, benar dan baik, terlepas dari apakah situasi yang kita hadapi kondusif atau yang kurang menguntungkan. Namun, sikap merasa berniat benar ini saja belum cukup. Tengoklah betapa banyak orang, penulis, kritikus, politikus, ahli-ahli yang betul-betul merasa benar, namun tidak menyambung perasaan ini dengan komitmen untuk berusaha, berubah, bertindak, mengubah kebiasaan diri, orang lain dan membangun sukses. Sebuah kalimat bijak mengatakan: “Winners actually SEE their success BEFORE it happens”, tetapi melihat saja tidak cukup. Untuk menang atau mempunyai jiwa pemenang kita harus bergerak, bertindak, dan “masuk” ke lapangan, bukan menjadi penonton saja.

Semangat Pemenang Perlu Dipelihara

Dalam penutup email dan smsnya, seorang teman sering menuliskan kata penyemangat pada rekan-rekan kerjanya. Semula saya sendiri kikuk menerimanya, tetapi lama-kelamaan timbul emosi positif dan semangat menularkannya juga ke orang lain. Tanpa kita sadari kata-kata bisa sangat “powerful” untuk membangkitkan mindset pemenang, karenanya perlu dipilih secara hati hati.

Kita juga perlu memelihara semangat pemenang ini dengan berlatih berada di bawah tekanan. Target penjualan yang ditingkatkan terus, tingkat kesulitan pekerjaan yang ditambah, berjuang untuk jabatan yang lebih tinggi, adalah upaya untuk membiasakan diri menguatkan mental dan mempertebal kepercayaan diri untuk menghadapi kesulitan yang tidak kunjung berhenti.

Hal yang juga senantiasa perlu ditemukan individu dalam kehidupan berkarya adalah perasaan bangga atas hasil kerjanya, di mana seorang tukang sapu harus sama bangganya atas hasil sapuannya seperti Michelangelo bangga terhadap hasil sapuan kuasnya.

Kita Memang BEDA

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri


Kalau ada dua orang berhadapan, saling menatap, dan kemudian salah satu mengambil kesimpulan: ”Kita beda”, maka menurut pendapat saya, justru mereka sebetulnya sudah menemukan kesamaan. Di sinilah persepsi mengenai perbedaan dan persamaan akan terasa keindahannya, karena masing-masing individu yang berhadapan itu sudah “menemukan dirinya”, keunikannya, dan bahkan “value adding”-nya, sebagai manusia yang utuh. Itulah sebabnya kita memang perlu berbangga dengan semboyan negara kita, Bhinneka Tunggal Ika; kesamaan dalam perbedaan, yang sampai-sampai oleh DJ Romy, cucu Soekarno juga dijadikan tema album terbarunya: “Unity in diversity”.

Namun demikian, meski kita sering mengakui bahwa perbedaan itu indah, begitu sering juga kita tidak melihat perbedaan sebagai suatu kekayaan. Pikirkan betapa sering kita ‘buang muka’ bila menemukan orang yang berbeda pandangan dengan kita, bergosip di belakang orangnya, membahas mengapa dia beda, dan bahkan kemudian kita mulai melakukan manuver-manuver penyerangan seolah dia atau mereka itu musuh bebuyutan yang harus dibasmi. Di dalam rapat kita sering menemui jalan buntu sekedar karena berbeda pendapat mengenai cara pemecahan masalah atau cara meraih sasaran yang sebetulnya adalah sasaran bersama. Dalam kondisi begini, ternyata perbedaan membuat kita tidak nyaman dan bahkan membangkitkan suasana permusuhan. Alih–alih menyamakan visi dan sasaran, berbicara pun sering tidak kita upayakan, bila sudah terjebak dalam konflik yang disebabkan adanya perbedaan.

SAMA TAPI BEDA

Sikap ‘jijik’ terhadap perbedaan adalah sikap yang mutlak salah, karena dengan demikian kita lupa bahwa kesamaan bisa membuat kita justru miskin dan tidak berkembang. Kesamaan latar belakang, pendidikan, kompetensi, dan komitmen yang sering membuat lingkungan kita ‘nyaman’, terkadang justru membuat kita jadi tidak bisa menggerakkan suatu tim. Mereka yang bisa menampilkan keberbedaaannya, kemenonjolannya, dan keunikannya-lah yang kemudian malah bisa mulai memberi nilai tambah kepada tim.

Pemahaman mengenai kesamaan dan perbedaan sesungguhnya adalah dasar untuk mengolah sebuah tim yang berkekuatan besar. Tanpa menyamakan persepsi, misalnya mengenai situasi yang sedang kita hadapi, perilaku yang muncul, serta kekuatan dan kelemahan yang ada, kita tidak bisa mempunyai dasar untuk tinggal landas. Padahal, bukankah suatu situasi yang sama sering dilihat dengan pendekatan yang beda? Individu yang satu melihat detilnya, sementara yang lain melihat keseluruhannya. Ada individu yang banyak melihat, ada individu yang lebih ‘mendengar’, sementara yang lain lebih dominan perasaannya dalam mendekati suatu gejala dan fenomena. Belum lagi, pandangan dua orang yang akan berbeda total bila yang satu melihat dengan kepentingan jangka pendek, sementara yang lain melihat dengan kepentingan jangka panjang.

Penyamaan persepsi ini sebetulnya terjadi pada setiap manusia dewasa yang berniat dan mampu melihat suatu gejala secara obyektif. Tanpa kemampuan ini, individu akan mencampuradukkan keyakinan, nilai dan visinya dengan perbedaan pandangan pihak lain, sehingga individu lain dianggapnya berseberangan. Di sinilah kemudian, kelompok bisa tidak sejalan satu dengan yang lain, divisi A berkonflik dengan divisi B, partai politik berseteru satu dengan yang lain, akibat ketidakmampuan melihat kepentingan bersama, visi dan tujuan bersama yang sebetulnya sama.

MULAI DENGAN MEMOTRET DIRI SENDIRI

Ilmu “emotional intelligence” mengajarkan pada kita untuk meningkatkan ’self awareness’ kita dulu, bila kita berharap untuk mampu menguasai situasi sosial atau mempengaruhi orang lain. Ini adalah bagian dari ‘eksplorasi mental’ yang perlu kita lakukan dengan sengaja. Tanpa melakukannya, kita akan tumbuh menjadi orang yang kian picik, karena tidak bisa memanfaatkan keberbedaan yang berangkat dari analisa diri dan situasi yang obyektif. Banyak istilah seperti “test the water’, ‘feel the breeze’ yang kurang lebih artinya adalah menajamkan sensor untuk memahami diri dan situasi sekitar kita.

Cara yang paling mudah untuk ’memotret diri’ ini adalah dengan membandingkan diri kita dengan orang lain, memahami kesamaan, terutama persepsi dan pemahaman, kemudian mengidentifikasi keunikan serta keberbedaan orang lain. Hanya dengan ketajaman mental seperti ini kita bisa mengembangkan respek terhadap orang lain. Dalam proses eksplorasi mental ini, kita pasti secara otomatis ingin merasa benar, ingin membela diri dan bahkan ingin meneruskan cara-cara kita yang lama dan yang sudah ada. Hal ini sangat manusiawi karena manusia memang dibekali proses mental untuk menjaga keseimbangan jiwanya. Namun demikian, orang yang ingin memperkuat mentalnya, perlu juga melakukan ‘judging, comparing, interpreting, anticipating, rehearsing’, yang artinya mengolah input yang masuk dan mencocokkannya dengan realita, mencari kebenaran dan mengambil resiko bahwa ada kemungkinan ia harus berubah. Hanya dengan cara inilah kita sebagai manusia, berkembang menjadi manusia yang berpikiran fleksibel dan berpikiran terbuka dalam menghadapi tantangan..

BAYANGKAN KALAU KITA SAMA SEMUA

Kalau kita, di dunia ini sama semua, maka pastilah kita akan merasa seperti robot ciptaan manusia yang sudah diberi bobot emosi, seperti yang digambarkan lewat film-film science fiction yang marak sekarang. Berbedanya bakat, latar belakang, pendidikan, dan kompetensi lainnya adalah kekayaan keluarga, kelompok, bahkan Negara. Perbedaanlah yang memungkinkan kita bisa saling melengkapi kekurangan satu sama lain, hingga terciptanya sinergi. Hanya saja memang perlu diakui bahwa menonjolkan keberbedaan alias keunikan kita tidaklah mudah.

Kita tentunya tidak bisa berperilaku aneh-aneh untuk mengekspresikan keberbedaan kita. Kita pun tidak bisa berkoar-koar menonjolkannya. Kita tahu bahwa kita memang perlu mengekspresikan bahwa “saya adalah saya”, sementara “saya” ini mempunyai nilai, keyakinan, kompetensi dan sasaran sendiri. Satu-satunya jalan bersikap dewasa adalah dengan sedikit mengambil ‘jarak’ terhadap diri dan memperbolehkan diri kita sendiri atau siapa saja meninjau kembali, mengetes lagi, kompetensi, nilai, keyakinan kita. Bukankah keyakinan juga bisa salah dan nilai pun bisa usang? Untuk Negara dengan 12000 pulau dan ribuan suku bangsa yang ingin bersatu, dengan 33 partai politik peserta pemilu 2009 yang disahkan , keterbukaan inilah yang mutlak diperlukan: Bhinneka Tunggal Ika. ….Merdeka!!!

KOMITMEN

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Tanda bahwa sebuah organisasi sudah mulai tidak efektif adalah kalau karyawannya sudah tidak lagi ingin kompak satu sama lain. Seorang eksekutif HRD menceritakan betapa karyawannya masih harus ditakut-takuti dengan absensi kehadiran, agar mau terlibat dalam kegiatan ataupun meeting yang tidak langsung berdampak ke pekerjaan, seperti donasi, fun activities, atau meeting bipartite. Memang, para karyawan tidak sampai saling memukul, baik dari belakang maupun depan, tidak saling menghina ataupun tidak menyatakan tidak percaya satu sama lain. Secara kasat mata, hubungan interpersonal kelihatan harmonis. Namun, bila perlu adanya koordinasi, katakanlah, crash program, pembenahan kantor ataupun program yang sifatnya non-kritikal tetapi perlu dikeroyok rame-rame, barulah terlihat bahwa komunikasi dan koordinasi seolah sulit sekali diatur dan diimplementasikan ke dalam kegiatan yang terarah. Disinilah sesungguhnya kita bisa menyaksikan ketidakefektifan sebuah organisasi.

Banyak sekali ribut-ribut di perusahaan yang diakhiri dengan komentar: “Ini cuman masalah komunikasi, kok…” Kita banyak lupa bahwa tidak efektifnya komunikasi merupakan “dosa” manajemen yang sangat besar. Hasil yang kita telan dari tidak efektifnya komunikasi adalah karyawan tidak ter-”konek” dengan misi perusahaan, merasa “tertinggal dalam gelap” dan tidak memahami bagaimana berpartisipasi dan melibatkan diri secara sesuai. Tidak efektifnya komunikasi ini, dalam keadaan parah bisa tidak terdeteksi lagi. Yang terlihat justru pada tidak berkomitmennya setiap bagian, individu atau kelompok terhadap apa yang sudah di-”iya”-kan, dijanjikan atau direncanakan. Lebih parah lagi, bila komitmen terhadap”deadline”, waktu, kuantitas tidak bisa di-“nyatakan” lagi. Semua rencana dan tindakan hanya bersifat mengambang. Di sinilah kita perlu waspada terhadap matinya spirit perusahaan atau lembaga karena sakitnya komitmen.

Dari Komitmen ke Laba Perusahaan

Sudah tidak jamannya lagi orang menomorduakan komitmen karyawan di dalam pertimbangan pengembangan organisasi, karena jelas-jelas komitmen karyawan sudah menjadi daya saing utama dalam binis. Komitmen bisa terlihat dalam beberapa bentuk. Kita bisa lihat komitmen berkelas rendah karena individu butuh “memperpanjang” karirnya di perusahaan dan tidak punya pilihan lain dalam karirnya, yang sering disebut sebagai ‘continuance commitment’. Ada juga individu yang komit demi loyalitas, kedisiplinan dan kepatuhannya pada perusahaan, atau komitmen yang bersifat normatif. Orang yang komitmennya normatif akan melakukan segala sesuatu yang diperintahkan organisasi, walalupun tindakan tersebut belum tentu sesuai dengan keinginan pribadinya. Perusahaan sebetulnya perlu memancing sebanyak-banyaknya komitmen afektif, di mana passion dan kesungguhan individu untuk berkontribusi, mengkompakkan diri berlandaskan kesamaan pemikiran, sasaran dan idealisme profesinya dengan perusahaan.

Komitmen sampai level afektif dan passion ini tentunya tidak didapatkan secara gratis karena sesungguhnya bermula dari kemudahan, konsistensi dan kejelasan sistem dan prosedur di perusahaan. Kejelasan aturan main menjadikan karyawan bisa mengandalkan dan berpegang pada aturan. Dalam perkembangannya, karyawan jadi bisa tahu di mana ia bisa “ikut bermain’ dan menikmati pekerjaannya, bahkan memperbaiki kinerjanya dari waktu ke waktu. Hanya dalam tingkatan inilah komitmen karyawan perusahaan bisa terasa oleh pelanggan, sehingga pada akhirnya pelanggan pun komit untuk berbisnis dengan perusahaan. Bila sudah mencapai tingkatan ini, perusahaan baru bisa mengeruk keuntungan bermodalkan komitmen karyawan. Kita sebagai nasabah tentunya senang berbank dengan bank yang karyawannya jelas-jelas bekerja keras, berkinerja dan berjuang demi kepuasan nasabah dan kesuksesan perusahaannya, ketimbang bank yang santai dan tidak mengejar sasaran yang jelas.

Komitmen : Penyatuan Risiko dengan Tindakan

Menurut para ahli, komitmen sangat berbeda dari janji atau sekedar pelaksanaan kewajiban. Kewajiban berasal dari otoritas eksternal, sementara komitmen berasal dari dalam diri seseorang. Selain itu komitmen mengandung bobot yang jauh lebih tinggi, karena berkomit berarti menyadari dan bersedia menerima resiko tindakan yang sudah diputuskan untuk diambil oleh individu. Bila seorang ahli bedah sudah berkomitmen untuk menyelesaikan suatu kasus, ia akan berusaha sekuat-kuatnya untuk menyembuhkan si pasien, apakah melalui tangannya sendiri ataupun dengan bantuan ahli lain. Demikian pula, seorang kepala cabang yang sudah berkomitmen untuk mencapai level KPI (key performance indicator) tertentu, akan serta merta mengerahkan segala upaya untuk mencapainya. Tentunya ada resiko ia tidak disukai oleh anak buah, karena anak buahnya didera untuk bekerja keras. Namun, tanpa pengambilan resiko tersebut, komitmen atasan akan terasa hampa, ringan tidak bertenaga. Di sini, komitmen justru memberi “flavor” pada kerja keras kelompok.

Dalam sebuah kelompok kerja, komitmen akan terasa bila individu dalam kelompok mau “tune in”, mendukung “action”, bersedia untuk di-“expose”, siap bertanggung jawab terhadap tugas, dan bahkan ikut serta dalam menghandel dilema yang pasti muncul dalam mengembangkan tugas. Dari sini jelas kita bisa melihat bahwa gejala “loh kok saya?” atau ‘bukan saya, pak…’ tidak laku, karena sikap defensif hanyalah pertanda bahwa komitmen individu tidak ada.

Komitmen itu Pilihan

Beda tipis dengan kepatuhan dan kewajiban yang normatif, komitmen afektif adalah sepenuhnya pilihan individu. Individu yang memilih untuk komit biasanya sudah melalui proses pertimbangan terhadap kebutuhan dan visinya sendiri dan juga sudah yakin akan dampak sikapnya. Karena itu, individu yang berkomitmen tinggi, bisa memberikan “impact” yang lebih besar di pekerjaan, lebih persuasif, lebih terbuka terhadap kemungkinan dan kritik. Pilihan perilaku yang diambil seseorang yang berkomitmen pun akan diarahkan pada dua hal yang sangat penting, yaitu mendukung dan mengembangkan, karena hanya dengan sikap seperti inilah kelompok dapat maju dan mencapai tujuan yang sudah sama sama dipahami.

Komunikasi mengikuti “The 51% rule”

Rapat-rapat yang diikuti oleh orang-orang berkomitmen tinggi akan memakan waktu jauh lebih singkat daripada bila individu peserta rapat ragu akan komitmennya. Untuk membuat peserta lain ’hadir’ dalam tantangan yang sedang dibicarakan, seorang ahli komunikasi membuat formula yaitu bila setiap orang yang sedang berkomunikasi, yang sudah pasti harus dua arah, mengambil 51% tanggung jawab terhadap keberhasilan komunikasi dan follow up-nya, maka komunikasi pasti akan dipenuhi oleh spirit komitmen yang utuh. Hanya dengan cara inilah kita bisa mengejar “the extra mile” dan menikmati pekerjaan.

Menerobos Masa Depan

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Seorang tokoh yang mencalonkan diri menjadi presiden menyapa saya dan bertanya mengenai komentar saya mengenai fakta bahwa ia mencalonkan diri sebagai presiden. Saya betul-betul membutuhkan waktu untuk mencerna apa dan bagaimana kriteria seorang presiden, sampai saya akhirnya berkomentar menyatakan kekaguman saya pada keberanian dan kesiapannya. Ia tentunya sudah merencanakan terobosan-terobosan, inovasi dan solusi bagi keadaan negara yang sangat kompleks dan besar ini.

Kita sadari bersama bahwa selain krisis energi di tengah kekayaaan sumberdaya yang belum termanfaatkan seperti air, angin, laut, kita sudah menghadapi masalah-masalah seperti emisi karbon yang harus di stop, sementara konsumsi mobil meningkat terus. Biaya pengobatan pun kini sudah tidak terkendalikan mahalnya dan tidak bisa di tanggung oleh kebanyakan orang lagi. Masalah kemiskinan yang diduga sudah mencapai titik nadir, tetapi tetep anjlok lebih dalam dan lebih dalam lagi. Belum lagi bicara terorisme yang selain membunuh orang juga mematikan bisnis dan kesejahteraan rakyat, seperti kejadian di Bali. Pe-er para pemimpin tentunya tidak berpolitik saja, tetapi juga melakukan hal-hal ‘back to basic’, program-program ‘fusion’, atau bahkan membuat ‘quantum leap’, banting stir, tidak sekedar mereplikasi upaya yang ada tanpa perbaikan, sementara juga membuat proses yang ada berjalan lancar tanpa hambatan. Mungkin tepatnya, pemimpin perlu punya kompetensi super istimewa, seperti memperbaiki mobil dalam keadaan sedang berjalan.

Generasi yang Menggerakkan Masa Depan

Bicara masa depan, tentulah tidak bisa dihindari, mata kita tertuju pula pada generasi yang baru. Berkat jasa para pendahulu, kita sekarang berada pada generasi yang lebih berfasilitas dan lebih berpendidikan dari sebelumnya. Perubahan kilat dan daya tahan untuk menghadapi kompleksitas hidup pun sudah meningkat. Kita sudah punya akses ke informasi apapun dan juga terkoneksi ke mana pun.

Ada yang mengatakan bahwa generasi sekarang sudah tidak setangguh generasi dulu. Generasi sekarang tinggal menikmati apa yang sudah dilandaskan oleh generasi pendahulu. Padahal kita mengenal ’Gen Y’, anak muda sekarang, jauh lebih kreatif, inventif, tahu bagaimana menikmati dunia dan kebebasan. Kreativitas, inovasi serta pikiran bebas sudah menyebabkan generasi baru sudah “beda” dengan generasi lalu. Tanpa terasa”alih generasi” sudah terjadi. Karakteristik ini tentunya menjadi kekuatan untuk menanggulangi abad ke-21 yang sudah di depan mata. Sekaranglah saat-saat perpindahan tongkat estafet, di mana semua hasil karya pendahulu bisa kita nikmati dan perlu diteruskan dengan upaya yang lebih keras, kreatif dan “beda”. Kalau tidak kita akan terjebak di dalam vakumnya kepemimpinan dan bingung antara mengikuti spektrum lama dan sibuk melakukan penyanggahan, komplen, meratapi keterbatasan dan berontak. Kitalah yang perlu membawa lingkungan untuk menanggapi tantangan abad selanjutnya, menemui kesejahteraan bentuk baru. Dengan adanya darah baru kita sebetulnya bisa berharap akan langkah-langkah yang segar, positif, penuh inspirasi sehingga kekuatan intelektual dan sosial yang berasal dari generasi muda menjadi motor penggerak bangsa.

Kita pun bisa dengan mindset “out of the box” mengembangkan “inside the box” kita. Sebagai inspirasi, kita bisa tengok Thailand, yang area istananya ‘dipenuhi’ dengan laboratorium laboratorium yang menjadikan kita dapat menikmati durian munthong secara murah meriah, menikmati beras impor Thailand, bahkan mengimpor iklan karena profesionalisme pembuatan iklan yang diriset dari istana. Negara tetangga kita yang lain, Malaysia, yang meskipun garis pantainya begitu pendek, sedang gencarnya mengembangkan ‘marine agriculture’ atau inshore aquaculture. Mengapa kita yang punya garis pantai kedua terpanjang di dunia, luput mengembangkannya?

Menyambut Tantangan dengan Tindakan

Presentasi para manajer di perusahaan baik di dalam rapat kerja atau analisa penjualan atau bisnis yang kerap menggambarkan kekuatan dan kesempatan di satu sisi, ancaman dan kelemahan di sisi lain, atau SWOT, sering menjebak kita semua untuk berkubang dan memelototi kelemahan diri dan tidak berusaha keluar dari sumur kubangan tersebut. Pendekatan “positive psychology” mengajurkan agar kita hanya menggunakan analisa ancaman dan kelemahan sebagai langkah awal. Kemudian, ‘sejarah’ itu kita simpan baik-baik di belakang untuk berfokus pada S-O-A-R (strength, opportunity, action, result), yaitu masa depan, action dan hasil. Pendekatan seperti ini akan membawa kita dari intelektualisme menuju aktivisme, berorientasi pada gerak sehingga membawa aura “dinamisme”. Kreativitas pun akan dimanfaatkan betul-betul untuk menyambut tantangan. Konsentrasi pada action dan result ini juga lebih cocok untuk generasi sekarang yang cenderung lebih instan dan ingin “menyaksikan hasil” dengan cepat.

Keaktifan Menerobos akan Membawa Hawa Baru

Greget untuk menuju pada kemajuan, baik ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, lingkungan ataupun kualitas hidup lainnya, dalam kondisi “constant change” dan kompetisi, tidak-bisa-tidak tetap perlu dibawa ke depan. Untuk itulah pemimpin butuh visi, strategi dan komitmen yang super kuat. Kesenjangan yang sedang digarap bukanlah sekedar kesenjangan antara masa sekarang dan masa depan, tetapi juga kesenjangan antara masa depan dan komitmen pemimpinnya, antara tindakan yang sudah dibuat dengan keadaan “turbulence” selanjutnya, yang disebut seorang ahli sebagai “Energetic Gap”, yaitu kekuatan energetik yang menembus terciptanya suatu program yang mantap dan antisipatif dari sesuatu yang, tidak usah selalu baru dan banyak ongkos, tetapi belum pernah terpikirkan.

Gaya pemimpin yang berorientasi paternalistik dan berangan-angan menjadi panutan bagi anak buah rasanya sudah kurang cocok dalam situasi sekarang di mana stakeholders, anak buah, pelanggan sudah ‘sama pandainya’ dengan para pemimpin. Satu-satunya jalan yang dimiliki pemimpin untuk menggerakkan dan mencatat sukses adalah dengan mengajak, mencontohkan kegiatan belajarnya, dan mengakui ketidakbisaannya dengan jujur dan transparan. “Learning” buat para pemimpin perlu menjadi nafas dinamikanya, di mana perlu didorong “blur the line” antara learning dan kerja. Pemimpin yang baru perlu tahu memanfaatkan kompetensi teknis baru pada proses-proses yang berjalan sekarang dan dengan serius mengembangkannya baik di dalam laboratorium maupun dalam diskusi-diskusi sehingga hasil olahan tersebut menelorkan program-program pembenahan, campuran atau yang sama sekali baru. Pemimpin pun perlu sangat transparan akan sasaran dan harapannya, karena hanya dengan pemahaman yang kuat dari para pengikutlah enerji yang dibutuhkan untuk bergerak bisa menyala dan tumbuh.

Rabu, 20 Agustus 2008

Organisasi Pembelajar

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Sebuah perusahaan yang sukses, namun kegiatan manajemennya dipandang terlalu ’praktis’, menyelenggarakan program bisnis dan manajemen untuk karyawan, yang dilakukan ekstra di malam hari seusai aktivitas kantor. Salah satu peminat program tersebut, dalam acara ’kick-off’ program, menanyakan pada saya mengenai ’agenda’ top manajemen dalam mengadakan program ini. Ternyata, bagi beberapa karyawan di perusahaan yang sudah mencantumkan ’learning organization’ dalam falsafah perusahaannya selama hampir 10 tahun, program yang beragenda untuk ’memintarkan’ karyawan ini, masih dipandang aneh.

Di tengah dunia yang kini menjadi begitu kompetitif dan terus berubah, di mana akses informasi menjadi sangat berlimpah dan terbuka, kita semua makin sadar bahwa hanya individu dan organisasi yang senantiasa belajar-lah yang bisa survive. Namun, sekedar menambah kelas training atau mengirimkan sejumlah karyawan untuk sekolah, nyata-nyata tidak semata lantas membuat organisasi menjadi ’learning organization’. Sebuah lembaga pemerintah bergengsi, yang secara terprogram membiayai karyawannya untuk meningkatkan gelar pendidikan ke jenjang S2, bahkan sangat lumrah sampai ke jenjang PhD, dan sangat rajin mengirimkan para ahlinya ke luar negeri, tetap belum dapat digolongkan sebagai ’learning organization’ karena budaya belajarnya tidak kelihatan dari luar, maupun tidak terasa di dalam.

Menurut para ahli “In a learning organization, when one of us gets smarter, we all can get smarter”. Ternyata, dalam organisasi pembelajar, tidak semua orang harus belajar, tetapi proses pembelajaran akan menular tanpa terasa dan perlahan namun pasti pencerdasan sudah mencapai tingkat yang lebih tinggi tanpa perlu formalitas belajar secara harafiah. Bisa kita bayangkan, kalau dalam sebuah organisasi saja proses pembelajaran formal dan non-formal yang sudah diupayakan mati-matian masih sulit terlaksana, bagaimana nasib sebuah negara yang tidak serius mendesain proses pembelajaran bangsa?

Organisasi Pembelajar:Hasil ‘Shared Experiences”

Dari beberapa organisasi pembelajar yang sukses, kita bisa mem-benchmark beberapa praktik yang sebetulnya sudah kita laksanakan, walaupun belum sistematis. Dalam organisasi pembelajar yang sudah jadi, saya amati individunya menampilkan tindakan yang lebih terkontrol dan kata-katanya tidak sekedar ‘asbun’ (=asbun), namun lebih bisa dipertanggungjawabkan, terkait ‘lesson learned’ dan informasi kunci untuk menampilkan pemikiran terbaiknya. Yang jelas, setiap individu di dalam perusahaan menampilkan sikap “tidak pelit ilmu” dan juga meyakini bahwa kompetensi seperti sikap, nilai, dan ketrampilan juga bisa ditularkan pada orang lain.

Suasana dalam organisasi pembelajar tidak mucul dalam suasana ‘sinau’ (=belajar intensif, bahasa jawa), namun lebih tampak pada diskusi seru, komunikasi intensif, keinginan untuk updating, serta rasa haus akan kesempatan belajar. Pertanyaan-pertanyaan seperti: “Darimana kamu dapat ide itu?”, “Bagaimana sih caranya?”, “Bagaimana kalau…”, berkumandang di rapat-rapat, yang membuat setiap orang di perusahaan seperti berada di sebuah laboratorium raksasa yang tiada hentinya menyambut tantangan yang berasal dari masalah dan kesempatan yang terlihat. Kegagalan atau hampir gagal dan kesuksesan di lapanganlah yang menjadi fokus untuk memperoleh “lesson learned”, bukan semata teori.

Organisasi boleh berharap menjadi organisasi pembelajar, bahkan mengeluarkan banyak biaya untuk mendukung pelatihan dan bentuk program pembelajaran lainnya, tetapi kalau suasana kerja tidak “customer friendly”, kaku, tidak mampu melakukan komunikasi yang ‘menembus’ divisi, doyan berpolitik, berperilaku tidak sejalan dengan misi perusahaan alias penuh birokrasi dan masih sibuk mementingkan kebutuhan pribadi, semua upaya akan percuma. Tampaknya, organisasi pembelajar tercipta hanya bila suasana kerja mendorong “pengembangan pribadi” dan “personal mastery” secara utuh, menyemangati kerja tim, memberi kesempatan untuk “problem solving” dan mengupayakan evaluasi yang jujur dan tulus.

Senantiasa Tumbuhkan Aura ‘Waspada’

Kalau kita ingat di masa sekolah dulu, kita akan belajar lebih intensif bila guru sering membuat pertanyaan tiba-tiba. Sayangnya, di perusahaan , kita sering lupa menghidupkan aura kewaspadaan ini. Ada yang berpikir harus mencari waktu secara khusus untuk mempelajari, menganalisa atau memikirkan sesuatu. Bahkan ada yang berpikir:”Ah, belajar hal baru itu tidak penting. Biarkan yang ‘muda-muda’ saja yang mempelajarinya”. Sikap ‘layu’ inilah yang merupakan cikal bakal kesulitan terbangunnya spirit belajar dari organisasi.

Seorang yang kuat belajar pasti meyakini bahwa dia bisa belajar kapan saja, di mana saja, dan dalam situasi apapun. Hanya saja karena proses belajar tidak dilakukan dalam waktu tertentu dan disengaja, maka kita sebagai individulah yang perlu aktif menangkap signal atau gejala yang secara signifikan bisa menambah wawasan kita, sendiri. Disinilah sikap waspada kita sangat diperlukan.

Belajar Formal Hanya Efektif Bila Semangat Pengembangan Diri Sudah Bangkit

Sebuah perusahaan mengambil langkah untuk meningkatkan kualitas “customer service”-nya melalui program jumpa pelanggan, riset kepuasan pelanggan dan membuka jalur keluhan langsung. Hasil dari program tersebut adalah ‘brutal facts’ dan ‘bad news’ yang bertubi-tubi dan membuat semua orang ‘shock’, sehingga terdorong mencari jalan keluarnya bersama-sama. Tanpa diduga, pada saat inilah organisasi merapatkan barisan, bertekad untuk ‘belajar’ dan mengembangkan diri.

Sebuah studi menemukan bahwa 70% dari pembelajaran di tempat kerja bersifat informal, misalnya dari observasi dan refleksi dari pengalaman individu, tim, perusahaan dan pihak lain. Kita lihat bahwa dalam pembelajaran di tempat kerja, dosis “action” dalam proses belajar memakan hampir seluruh materi pembelajaran. Pencanangan target dan tujuan, rotasi jabatan dan kerjasama lintas fungsi justru merupakan kegiatan ‘belajar’ yang terpenting. Saat semangat untuk belajar, memperbaiki diri dan berubah sudah bangkit dan berapi-api, barulah kemudian pelatihan dan pembelajaran formal bisa lebih efektif sebagai tindak lanjut.

K a r i r

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Pada sebuah workshop dalam suatu perusahaan, saat peserta diminta menyatakan pendapatnya atas pernyataan: “Atasan adalah penentu karir”, serta merta terlihat respons yang sangat berbeda antara kelompok ‘top manajemen’ dan kelompok ‘manajemen menengah. Para pimpinan merasa bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas karir bawahan, sementara yang dipimpin merasa bahwa karir mereka ditentukan atasan. Jelas-jelas para atasan menganut faham bahwa ambisi, kompetensi bawahan ada di tangan bawahan sendiri sementara bawahan masih bersikap “kumaha juragan wae” .

Persepsi di mana manajemen karir, baik penunjukkan, pengangkatan, dan penilaian datangnya dari ’atas’, memang ada dan masih bisa kita temukan sampai sekarang, terutama di organisasi yang birokratis, seperti organisasi pemerintah atau ketentaraan. Sementara dalam bisnis, dengan berkembangkan praktik yang kompetitif dan semakin nyatanya eksodus akibat pasar kerja global, banyak kita lihat terjadi pergeseran pada hubungan ketenagakerjaan. Metafora seperti “karir itu berbentuk tangga atau piramid”, sudah berganti dengan paradigma baru seperti “jeruk bisa makan jeruk”, “wolak walik ing jaman”; atasan bisa jadi bawahan. Tangga karir yang semakin berkurang anak tangganya, bahkan kadang hilang karena dihilangkannya satu divisi besar dalam organisasi, sudah semakin menggejala.

Demi efisiensi, perusahaan biasa melakukan pengurangan karyawan, ‘delayering’, desentralisasi, automasi dan pengukuran kinerja yang lebih cermat. Kompetensi yang tadinya dikonsentrasikan pada kompetensi teknis, cepat sekali basi dengan tingginya kompetisi untuk meraih excellence. Sebuah perusahaan bisa bangga sekali dengan kapasitas engineering-nya pada suatu waktu, lima tahun kemudian ‘excellence’ ini sudah terkikis dengan dibutuhkannya ketrampilan-ketrampilan baru, misalnya saja peralatan yang semakin dikendalikan software. Menjawab tantangan ini, mau tidak mau, perusahan akan menyuntikkan tenaga-tenaga mumpuni, bila individu dalam perusahaannya tidak meng-update ilmu, lemah dalam problem solving, dan tidak bisa dikembangkan lebih lanjut. Hal-hal inilah yang membuat ’karir’ semakin kompetitif dan semakin sulit ‘digenggam’. Sementara, kita yang berada di perusahaan pun sulit mengajukan diri bila memang tidak memenuhi spesifikasi lagi. Rasa-rasanya, jeritan agar kitalah yang di dalam perusahaan yang perlu diperhatikan tidak akan mempan.

“Career Self-Management” Vs “Career track” Perusahaan

Saat saya bertanya pada seorang karyawan, mengapa ia terlihat lalai dan “kurang awas” terhadap pengembangan kinerjanya, ia menjawab: ”Saya kehilangan buku catatan kinerja saya”. Dari sini kita bisa menyaksikan betapa individu bisa bersandar pada sistem karir yang dibuat orang lain untuknya. Padahal, bukankah kita sama-sama sadar bahwa kita tidak hanya berhak tetapi juga bertanggung jawab 100 % terhadap kebahagiaan karir kita? Paradigma bahwa tidak berkembangnya karir adalah karena lalainya perusahaan sudah mesti kita tinggalkan. Bila tidak, kita akan termakan sendiri oleh stagnannya karir sebelum waktunya karena terninabobokannya kita dalam sebuah organisasi. Dengan bersandar pada prosedur perusahaan, kita akan merasa bahwa ‘feedback’ akan datang dengan sendirinya. Padahal, saat sekarang, masukan dan penilaian, perlu dikejar demi pengembangan diri. Kitalah yang perlu merancang, mengejar, menggapai dan meraih kesempatan, di dalam dan di luar perusahaan.

Kelalaian ini bukan saja terjadi ditingkat bawah. Teman saya, seorang direktur, yang selama 20 tahun “all out” bekerja di perusahaannya, bingung menentukan arah karirnya setelah ia pensiun pada usia pensiun yang wajar. Teman saya ini sangat sadar bahwa ini bukan salah siapa-siapa kecuali dirinya, yang terlambat membuat rencana karir pasca pensiunnya. Teman lain, menahan-nahan karirnya untuk menjadi direktur, karena usianya masih terlalu muda. Menurut pendapatnya ia tidak bisa membayangkan apa yang harus dilakukannya selepas jabatan direktur BUMN ini, karena ia langsung akan dipensiun, berapa pun usianya. Teman-teman kita ini, walaupun posisinya super, ternyata tidak menyediakan alternatif karir. Di masa sekarang, individu yang selalu mempunyai alternatif karirlah yang bisa lebih bebas membuat kesempatan bagi dirinya dan tidak melihat dirinya sebagai korban otak-atik strategi manajemen SDM perusahaan.

“Portfolio Management”: Tambang Emas Individu

Setiap professional, apapun keahliannya, perlu me-”maintain”, mengembangkan dan mengelola portfolionya, yaitu catatan mengenai keberhasilan, daftar proyek, keahlian dan pendidikan yang dikantonginya. Inilah sesungguhnya tambang emas individu. Teman saya, tidak bersedia ‘terlalu berpolitik’ untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi lagi di perusahaan BUMN tempatnya bekerja. Dengan santainya ia mengatakan bahwa dengan kompetensi yang dia miliki, ia menunggu “dilamar’ saja. Bermodalkan portfolio-nya, seorang profesional akan siap menjawab tantangan karir dan menyikapi ketidakjelasan kesempatan lapangan kerja di pasaran. Kunci menebalkan portfolio adalah kita tidak pernah boleh lengah dalam meng-”update” ilmu. Kita pun tidak bisa hanya memikirkan “moving up” saja, tetapi perlu melihat ke “dalam”, selain juga senantiasa memperluas cakrawala ilmunya, bahkan kalau perlu menyerempet kesempatan dengan resiko yang lebih besar.

“Employer” sekarang, berbasis pengetahuan mengenai kompetensi, sudah tidak mudah terkecoh pada kutu loncat berimbalan besar, tetapi akan mengincar professional dengan kompetensi, kemampuan berkembang yang tinggi dan kualitas pribadi yang kuat, seperti kepemimpinan, hubungan interpersonal dan kreativitas. Kompetensi individu bisa berkembang dalam jalur-jalur yang berbeda: spesialis atau generalis, bisa teknikal bisa juga manajerial, bisa ‘dalam’, bisa juga ‘luas’. Ada individu yang kuat dalam penyelesaian proyek jangka pendek, ada pula yang mampu berkelit di organisasi yang birokratis. Ada yang berbakat menjadi pemain di organisasi kecil dan ‘cair’, ada pula yang baru bisa berkinerja bila struktur organisasi jelas. Mengenali kekuatan diri kita, memang bukan tanggung jawab orang lain. Kitalah yang paling tahu, emas tipe apa yang tertimbun di dalam tambang kompetensi kita dan bagaimana menjualnya di pasaran .

Selasa, 19 Agustus 2008

SURVEI KEPUASAN KARYAWAN : Are You A Happy Employee ?

by: Yodia Antariksa

Kepuasan karyawan kita tahu, merupakan salah satu elemen penting untuk membangun kinerja perusahaan yang mencorong. Segenap program untuk membangun kepuasan pelanggan misalnya, bisa berakhir dengan tragis jika ia tidak disertai dengan program untuk memuaskan karyawan secara sistematis. Sebab, bagaimana mungkin front-line Anda bisa mengulurkan senyum penuh kerenyahan kepada para pelanggan jika ia selalu nggerundel dengan gaji yang diterimanya?

Itulah mengapa banyak perusahaan kelas dunia menaruh perhatian yang amat serius untuk mengelola kepuasan para karyawannya. Di tanah air sendiri, kini juga makin banyak perusahaan melakukan sejumlah inisiatif untuk memuaskan para best talents mereka sehingga tetap betah bertahan dan enjoy dalam bekerja.

Salah satu inisiatif itu misalnya adalah dengan melakukan survei kepuasan karyawan secara reguler (misal setiap tahun sekali). Melalui survei ini diharapkan pihak perusahaan bisa memperoleh informasi yang berharga dalam merancang program kepuasan yang tepat sasaran.

Secara garis besar, angket kepuasan karyawan sendiri biasanya meng-address lima elemen utama, yakni : 1) kepuasan karyawan terhadap pekerjaannya (job content), 2) kepuasan karyawan terhadap lingkungan kerja (baik lingkungan fisik seperti tata ruangan ataupun lingkungan non fisik seperti relasi dengan kerja, atau suasana kerja); 3) kepuasan karyawan terhadap atasan, dan 4) kepuasan karyawan terjadap kebijakan perusahaan dalam memberikan remuneration and benefit pada pegawainya.

Selain empat elemen utama diatas, biasanya ada faktor tambahan lain yang ditanyakan seperti : kepuasan karyawan terhadap kebijakan pengembangan karir, kepuasan karyawan terhadap program pelatihan yang diberikan, ataupun kepuasan karyawan terhadap kualitas kepemimpinan secara umum di perusahaan tersebut.

Pada tahapan selanjutnya, elemen-elemen yang ingin ditanyakan tersebut kemudian dijabarkan dalam serangkaian pertanyaan. Misalkan setiap elemen dijabarkan dalam bentuk 4 – 5 pertanyaan. Sebagai misal untuk untuk faktor mengenai kepuasan karyawan terhadap pekerjaannya, dua contoh pertanyaan yang lazim diberikan adalah sbb:
• Saya puas dengan pekerjaan saya dan jenis tugas yang saya kerjakan.
• Pekerjaan saya menantang dan menarik.

Untuk faktor kepuasan terhadap atasan, dua contoh pertanyaannya adalah sbb:
• Atasan saya melakukan tindakan perbaikan yang tepat dan adil pada karyawan yang tidak dapat menampilkan prestasi kerja yang memuaskan.
• Atasan saya memberikan pengarahan dan instruksi yang jelas.

Untuk faktor kepuasan terhadap paket remunerasi yang diterima, contoh pertanyaan yang dapat diberikan adalah :
• Saya merasa puas dengan gaji yang saya terima.
• Saya merasa puas dengan paket asuransi kesehatan yang diberikan oleh perusahaan.

Setiap pertanyaan tersebut kemudian dilengkapi dengan jawaban dalam skala 1 – 5, dimana deskripsi skalanya adalah :
(1) Sangat Tidak Setuju
(2) Tidak Setuju
(3) Netral
(4) Setuju
(5) Sangat Setuju

Jawaban dari para karyawan terhadap angket dan skala jawaban itu kemudian di-olah dan di-analisa untuk mendapatkan gambaran mengenai tingkat kepuasan karyawan saat ini. Tentu jika angka rata-ratanya semakin tinggi, berarti tingkat kepuasan karyawan di perusahaan itu juga makin baik.

Pada sisi lain, dari analisa itu juga bisa diketahui dalam aspek apa, tingkat kepuasan berada pada posisi yang kurang baik (misal rata-rata skornya dibawah tiga) : apakah dalam aspek lingkungan kerja, aspek remunerasi, atau aspek kepemimpinan dalam perusahaan. Dengan demikian pihak perusahaan bisa dengan lebih akurat mengetahui aspek apa yang paling perlu mendapatkan prioritas perhatian untuk dibenahi.

Jadi omong-omong, apakah Anda puas dengan pekerjaan dan kantor Anda sekarang? Apa kira-kira yang membuat Anda sudah/belum puas?

Seberapa Bagus Kecerdasan Emosional Anda ?

by:Yodhia Antariksa August 11th, 2008

Semenjak Daniel Golemen menggagasnya dalam karya fenomenal bertajuk Emotional Intelligence, kini makin diyakini pentingnya makna kecerdasan emosional dalam merajut kanvas kehidupan yang dilimpahi oleh kesuksesan dan kebahagiaan. Kecerdasan intelektual ternyata hanya separo dari sebuah perjalanan. Ia mesti juga dilengkapi dengan kecerdasan emosional (dan juga kecerdasan spiritual) agar kita semua bisa menggapai hidup yang penuh arti kemuliaan.

Secara eksploratif, kecerdasan emosional sendiri pada dasarnya merujuk pada dua dimensi kunci yang mesti kita praktekkan dengan penuh kesempurnaan. Dimensi yang pertama adalah tentang dunia intra-personal – atau sebuah dunia sunyi untuk melihat dengan penuh kebeningan relung diri kita sendiri. Dimensi yang kedua adalah tentang dunia inter-personal – atau sebuah dunia dengan mana kita menghamparkan berderet perjumpaan dengan orang lain.

Baiklah kita akan segera membahas dua dimensi kunci itu secara intim. Namun sebelumnya, saya persilakan Anda untuk mereguk dulu kehangatan secangkir kopi atau teh yang sekarang mungkin ada disamping laptop/dekstop Anda. Seduhlah kehangatan itu sambil bersyukur bahwa hari ini Anda masih dilimpahi karunia untuk menikmati secangkir teh hangat…….

Oke, mari kita lanjutkan perbincangan kita. Dimensi yang pertama, seperti tadi disebutkan, berhubungan dengan dunia intra-personal. Dalam dimensi ini sendiri terdapat dua elemen yang mesti dicermati, yakni : self awareness dan self esteem.

Knowing yourself is the beginning of all wisdom, demikian filsuf Aristoteles pernah bersenandung. Maknanya jelas : kita tak akan pernah mampu mengenggam buah kebajikan tanpa kemampuan untuk secara jernih dan jujur menelisik setiap sudut raga dan jiwa kita. Kemampuan untuk secara bening menelusuri segenap jejak kelebihan dan potensi yang ada pada diri kita; dan juga sekaligus mau mengakui kekurangsempurnaan yang ada dalam diri kita dengan penuh kelapangan dada.

Dan dengan kesadaran-diri yang kokoh itulah, kita kemudian bergerak maju merajut self-esteem dengan optimal. Self-esteem sendiri bermakna tumbuh-mekarnya rasa respek pada diri sendiri – tanpa harus tergelincir menjadi arogan atau takabur. Sebaliknya, self esteem ini lebih mewujud pada tumbuhnya rasa bangga (self-pride) atas jati diri Anda dan juga terhadap segenap jejak karya dan impian yang tengah Anda ukir. Tanpa self-respect yang kuat, kita tak akan pernah mampu membangun respek pada orang lain. Dan tanpa self-esteem yang menjejak dengan kokoh, kita tak akan pernah melenting menjadi insan yang unggul, penuh kemuliaan dan bermartabat.

Dimensi kedua dari kecerdasan emosional berkaitan dengan dimensi inter-personal atau dunia tentang jalinan interaksi dengan orang lain (others). Disini terdapat dua elemen kunci yang juga layak diperhatikan, yakni elemen interaksi antar manusia dan elemen empati.

Kecerdasan emosional pada akhirnya amat berkaitan dengan ketrampilan kita dalam merajut relasi dengan orang lain (interpersonal relationship). Disitulah kemudian kita diuji untuk selalu bisa merekahkan pola relasi yang santun, penuh rasa respek dan saling-menghargai, serta dilimpahi spirit untuk berbuat baik kepada sesama. Disini pula kita diajak untuk selalu mampu menghadirkan rajutan komunikasi yang konstruktif dan suportif, dan bukan pola komunikasi yang dipenuhi rasa kedengkian dan negative thinking lainnya.

Dan kita tahu, segenap kecerdasan semacam diatas hanya bisa digelarkan jika kita juga diguyur oleh spirit empati yang kuat. Inilah sebuah sikap untuk mau memahami dan menghargai perasaan orang lain. Sebuah sikap untuk juga mau bersikap welas asih pada sesama. Sebuah sikap untuk selalu menghadirkan momen perjumpaan yang penuh keramahan, menebar kebaikan kepada sesama tanpa pamrih, dan menyodorkan jabat tangan erat dalam balutan rasa cinta dan empati.

Demikianlah empat tema utama yang menaungi makna kecerdasan emosional – yakni dimensi self awareness, self esteem, interpersonal relations dan empathic understanding. Kita mungkin tak tahu persis berapa kadar kecerdasan kita dalam empat dimensi kunci itu. Namun tampaknya kita selalu diminta untuk terus menebarkan benih kecerdasan itu dalam segenap jejak kehidupan kita; dalam roda waktu yang terus berputar.

Sebab hanya dengan itulah, kita lalu bisa tumbuh menjadi insan yang luhur dan penuh kemuliaan. Memuliakan hidup, memuliakan sesama. Bukankah ini salah satu tugas suci kita sebagai anak manusia?
BERPIKIR KRITIS
By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Dengan maraknya milis dan forum diskusi yang berkomentar mengenai berbagai gejala, ada satu hal yang semakin berkembang yaitu sikap kritis individu. Ini tentu ada hubungannya dengan pendidikan dan sistem informasi yang semakin mudah di akses, sehingga siapa saja, asal mau, bisa mempertanyakan situasi, keputusan dan segala macam pernyataan dan fenomena yang ada. Bukan saja pertanyaan, ungkapan perasaan, ketidaksesuaian pendapat, bahkan tuntutan juga terdengar, terbaca dan terlihat. Simak saja wacana mengenai Arus Minyak Nasional, yang melibatkan protes mahasiswa, DPR, partai, badan eksekutif dan masyarakat banyak. Pertanda apakah ini? Selain demokrasi, kita bisa beranggapan bahwa generasi muda, yang akan menghadapi abad selanjutnya, sudah mempunyai daya pikir yang lebih “advanced”: “Good” thinking is an important element of life success in the information age” demikian Thomas & Smoot, 1994.

Kita pasti setuju bahwa kegitan berpikir adalah kegiatan yang super mulia dan merupakan anugerah Tuhan yang paling besar bagi manusia, karena tidak ada mahluk lain di dunia ini yang bisa berpikir dengan cara secanggih manusia. Dengan adanya kegiatan berpikirlah manusia mampu menggambarkan isi dunia ini. Dan dengan adanya pemikiran-pemikiran yang sudah diuji, di bolak balik dan dikulik di masyarakat kita, kita bisa yakin bahwa bangsa kita sudah mengalami kemajuan dalam proses berpikirnya.

Sikap Mental untuk Berbeda Pendapat
Aturan dan tata krama yang diajarkan orang tua dan guru kita dulu, misalnya untuk tidak membantah, tidak berdebat untuk menjunjung harmoni, kita sadari ternyata tidak selamanya menyuburkan cara berpikir. Kita sering lupa bahwa kita punya kewajiban untuk mengasah cara pikir kita, baik di sekolah maupun setelah keluar dari sistem pendidikan. Dalam perjalanan hidup, saya menyaksikan bahwa kesempatan untuk menumbuhkan dan mematangkan keputusan dan konsep justru dari di-”adu”-nya pendapat kita dengan kritik, pertanyaan, keraguan orang lain, bahkan setelah perdebatan sengit. Yang paling penting, sikap mental kita juga perlu kita siapkan untuk memberi dan menerima kritik serta sanggahan.

Para ahli menyarankan agar berfokus pada isu dan bukan pada orangnya, sebagai landasan sikap rasional yang perlu dikembangkan dalam menembak masalah, menelurkan solusi, dan bukan mengumbar emosi serta kesalahan. Di sini, kita pun bisa mawas diri bahwa kita sering terjebak berselisih pendapat, karena kita tidak “sealiran” atau tidak menyukai individu yang berpendapat.

Saat sekarang, kita juga semakin sadar bahwa sekedar ‘asbun’ (asal bunyi, asal ngomong), tanpa berlatih bertanggung jawab terhadap tindak lanjut pendapatnya, malahan bisa menjatuhkan harga diri dan kewibawaan kita sendiri. Namun demikian, memang masih banyak kita temui orang yang berpendapat tetapi tidak bertanggung jawab, misalnya, seorang sales manager yang mengatakan:”…Di perusahaan ini, sistem administrasi kacau. Masakan tanda terima barang bisa ditandatangani oleh seorang salesman tanpa diketahui oleh penerima barangnya…” Pernyataan yang di lempar tanpa memikirkan follow up, sekedar menyulitkan orang lain dan tanpa disertai tanggung jawab untuk mencari solusi bukanlah pembuka diskusi yang sehat. Individu yang ingin masuk ke dalam kancah perdebatan intelektual, perlu berlatih mencermati gejala, tulisan, tindakan atau keputusan dengan hati-hati, ”dalam” dan berusaha mendapatkan ”point” dari isu tersebut. Seruan misalnya :”turunkan BBM” , “turunkan harga sembako” akan lebih intelek bila yang berseru sudah mempelajari , apakah gejala kenaikan BBM ini melulu disebabkan oleh korupsi atau gelaja yang mendunia. Kita pun perlu membedakan fakta dari pendapat, kasus dari gejala umum, membersihkan ”bias” selain juga tidak berpikir ”hitam putih” saja, dan membuka diri terhadap segala kemungkinan yang kita sebelumnya tidak tahu.

Pemikir Sehat
Individu , tidak terlepas berapa usianya, sering tidak menyadari kesalahan berpikirnya. Ada yang dari muda sampai tua tetap keras kepala. Ada juga yang tidak pernah sadar bahwa ia “sok tahu” , meyakini sesuatu tanpa pernah meng”update” ataupun mengecek kebenarannya lebih lanjut. Banyak juga orang berasumsi bahwa kekuatan berpikir berkorelasi besar dengan IQ, tingkat kecerdasan. Bila ada orang pintar berpendapat, orang cenderung meng-iya-kan, dan setuju. Fenomena “tunduk pada yang cerdas” ini sering menumbuhkan sikap submisif dalam kegiatan mengasah cara fikir kita. Sebenarnya cara berfikir bisa dikembangkan dengan cara yang sangat simpel: memelihara kegiatan mempertanyakan, beranggapan bahwa setiap kebenaran itu sementara, dan bersikap “undogmatic” .Kegiatan ini sudah bisa kita amati di acara acara debat di televisi maupun radio. Hanya saja, kalau benar benar ingin sehat kitapun perlu

menyadari bahwa otak hanya bisa menyerap sedikit informasi dibandingkan informasi yang tersedia, mengenai suatu isu. Dengan keterbatasannya, otak sering melakukan ”oversimplifications” yang berakibat pada penyaringan fakta, keterbatasan berpikir, dan bahkan tercampurnya fakta, asumsi, maupun keyakinan individu. Berarti, bila kita ingin diterima sebagai pemikir obyektif, kita pun perlu siap membuka pikiran seperti layaknya seorang anak sekolah,menyerap informasi sebanyak banyaknya, baru kemudian memilah dan menyaring sehingga presisi, akurasi, relevansi, logika dan kedalaman bisa tercapai secara optimal.

Mendorong Pencerdasan Bangsa
Saat sekarang, di mana semakin marak sekolah nasional plus, universitas swasta yang harganya bahkan bersaing dengan universitas negeri, gratisnya biaya sekolah, sangat menjanjikan tercapainya pencerdasan bangsa. Sudah waktunya kita bisa berharap untuk berada di kancah berpikir yang obyektif , “terang” dan positif. Meskipun kebenaran tidak disajikan begitu saja, tetap perlu dikorek-korek, dipikirkan, diendapkan dan dicocokkan, namun kita sudah boleh berharap berdiskusi dalam tingkatan yang sama, tidak meraba dalam gelap, penuh kerendahan hati tetapi tetap siap untuk memodifikasi alam pikir kita. Dengan cara inilah kita maju dan jadi pintar, sambil tetap perlu mempunyai ‘ruang’ untuk berpikir inovatif dan kreatif.

Politik Kantor

Politik Kantor
By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri


Pada sebuah acara makan siang seorang teman mengeluhkan suasana kantornya, sebuah perusahaan multinasional, yang sarat dengan kegiatan ‘berpolitik’. Di tempat kerjanya, berkembang ‘klik-klikan” makan siang ataupun jemputan yang kemudian menjadi hubungan tertutup, yang sangat erat satu sama lain, di mana mereka berbagi gossip dan fakta, menunjukkan sikap subjektif dalam melihat masalah dan bahkan mempengaruhi penunjukan dan pemilihan anggota tim. Teman saya yang lain kemudian berkomentar, “Yaaah.., kalau sudah ada lebih dari dua orang karyawan dalam satu tim, sudah pastilah ada ‘politik’-nya”.

Politik kantor yang sering ditangapi orang dengan sikap “alergik”, pada kenyataannya tidak pernah punah, bahkan merupakan realita. Kita sering tidak bersimpati dengan seseorang yang “sok bener” terutama di depan atasan, bahkan tega “menyingkirkan” semua orang yang dianggap tidak benar, apalagi membahayakan kedudukannya. Ada juga individu yang tidak kita sukai karena ia pandai sekali memanfaatkan “power”, dan bisa membuat ketergantungan atasan, atau perusahaan kepadanya, sehingga pada “timing” yang tepat, ia bisa unjuk gigi alias bermain dengan “bargaining power”-nya.

Mengapa situasi ‘berpolitik’ seperti ini menjengkelkan orang-orang yang berada di luar permainan? Menurut ahlinya, politik kantor ini menjadi lebih kelihatan nyata pada lembaga yang kekuatan SDM-nya tidak seimbang, misalnya banyak yang produktif sementara banyak yang bermalas-malasan. Ada istilah “like and dislike” yang muncul karena standar kinerja yang sulit dibuktikan apalagi dihitung, juga “job description” yang tidak seimbang dan tidak jelas, yang kesemuanya bisa membangkitkan rasa tidak aman dalam bekerja. Rasa tidak aman ini terutama akan lebih terasa lagi, pada orang yang sama sekali tidak mau “bermain” dan juga tidak menyadari apalagi tahu cara mainnya. Politik kantor memang sangat subyektif dan informal, inilah sebabnya hal itu terasa tetapi sulit diraba dan teraga.

Tahu Apa yang Kita Mau
Teman saya, yang bekerja di sebuah perusahaan berukuran sedang merasa bahwa ia juga harus melakukan kegiatan “lobby”, mengikuti kegiatan-kegiatan minum teh bahkan mempersuasi pengambil keputusan, ketika ia berusaha menjalankan rencana mengubah “operating system” jaringan informasi di perusahaannya. Melihat bahwa ia benar-benar berjuang demi penggantian sistem tanpa berniat mendapatkan kedudukan, kedekatan dan power bagi dirinya, saya lantas menanyakan hal apa yang dia bela mati matian. Dengan santai ia menjawab bahwa yang ia bela adalah sekedar kinerja pribadinya. Tanpa “kasak-kusuk” , bujuk membujuk, sikap super baik, dan mendekati orang-orang kunci, ia tahu tidak mungkin ia berhasil menjalankan perubahan yang menyulitkan di perusahaan tanpa adanya dukungan. “Sebenarnya saya tidak idealis – idealis amat. Saya tahu bila penerapan sistem ini gagal karir saya akan terhambat” .

Untuk survive di lingkungan organisasi, kita memang perlu “kuat” dan berakar, serta tahu apa yang kita mau. Kita bisa menyasar hal-hal material, kita bisa juga mementingkan karir, kinerja dan peningkatan kompetensi, sementara orang lain ada yang memburu keterlibatannya dalam kelompok tertentu, “power” atau “kontrol” terhadap situasi. Namun, berdiam diri, dan berharap bahwa segala sesuatu akan berjalan sesuai dengan sistem yang ada, memang hampir tidak mungkin. “Kita perlu tahu di mana pusat kekuatan, siapa orang yang berpengaruh dan bisa mempengaruhi lingkungan sosial. Kita pun perlu bisa me-”licin”-kan upaya kita melalui pendekatan”, demikian ungkap teman saya. Sepanjang kita bersikap “fair”, tidak manipulatif dan curang, me-“lobby”, mempersuasi dan berpolitik memang harus dilakukan. Sikap negatif seperti yang kita kenal misalnya “sistem kodok”, menyembah ke atas menendang ke bawah, tentunya adalah gaya yang tidak anggun dan tidak dilakukan oleh orang yang tahu berpolitik dengan baik.

Bertindak Halal tanpa Menghalalkan Segala Cara
Ketika dalam suatu rapat, CEO perusahaan tempat saya bekerja mengumumkan bahwa rekrutmen di perusahaan ini menganut sistem keluarga dan pertemanan, saya baru memahami bahwa di dalam berorganisasi ada realitas berpolitik yang perlu dicermati. Hal ini menyangkut siapa dekat dengan siapa, siapa mempunyai pandangan yang sama dengan yang mana, siapa pemain kunci dan siapa sekedar pengikut atau penggembira. Jejaring pertemanan yang berdasarkan kedekatan masa kecil, almamater, kesamaan pandangan maupun ideologi biasanya merupakan lahan berpolitik, baik di perusahaan maupun di organisasi lainnya. Sama seperti strategi perang, berpolitik pun memerlukan pemetaan dan perencanaan yang mapan.

Dari pengamatan para ahli, orang orang kuat dalam perusahaan dan organisasi biasanya memang bukannya tidak berstrategi , mereka juga ”politically savvy”. Orang-orang ini tahu bagaimana berhubungan dengan atasan, bahkan mendukung atasannya agar sukses. Bersamaan dengan upaya itu, seorang yang tahu berpolitik pasti berupaya untuk selalu “tampil “ di rapat-rapat penting, tahu mendekati “orang-orang kunci”, menunjukkan “corporate manners” yang baik, dan menampilkan kemampuannya sebagai “team player ”.

Berproduksi itu Mutlak. Berpolitik itu Cara Bergaul
Dalam organisasi apapun, kita hanya bisa eksis bila mempunyai kontribusi yang signifikan. Bila kita amati orang yang pandai me-“lobby” dan berpolitik, sementara produksinya ‘kosong’, maka orang ini lambat laun tidak bisa meneruskan karirnya. Kekuatan kita dalam berproduksi merupakan modal agar kita bisa “diperhitungkan” dalam peta sosial organisasi. Individu yang produksinya di atas rata-rata tinggal mengasah cara berinteraksi, berapat, mendekati atasan dan orang-orang kunci, serta membuat diri lebih diperhitungkan dengan berusaha lebih bermain fakta, membina hubungan emosional yang sehat, berusaha menonjolkan orang lain tanpa lupa memunculkan diri sendiri. Kontribusi yang sudah kita tunjukkan jangan sampai dikotori dengan mempraktekkan cara gaul murahan seperti bergosip, menekan, menyalahgunakan jabatan, mencari muka tanpa alasan.

BERANI SUSAH

By: Eileen Rachman

Salah satu karyawan di kantor saya, benar-benar sulit mengkontrol pengeluarannya. Ia tidak bisa lepas untuk melakukan gali lobang tutup lobang dalam me-manage hutangnya. Hutang itu mula-mula dipinjam dari sebuah jasa kredit tanpa agunan bank dan berkembang menjadi hutang yang lain, terutama untuk menutupi hutang yang lama. Ketika saya sangat kecewa melihat hal itu bisa dilakukan oleh orang yang selama ini saya percaya, teman saya mengatakan bahwa ibu mertuanya juga terbelit hutang dengan cara yang sama. Terkesan bahwa di antara kita sudah banyak kebiasaan mencari solusi yang “ambil gampangnya”, “instan”, dan tidak mau sedikit bersusah mengerem diri. Saya terkagum-kagum juga dengan cara mendapatkan hutang yang begitu mudah di saat sekarang. Di jaman ketika saya sangat membutuhkan modal atau uang lebih, rasanya tidak mungkin kita bisa dengan mudah mendapatkan pinjaman dari bank atau orang lain, bahkan dengan janji bunga yang relatif rendah. Rupanya perkembangan bisnis jasa sudah demikian pesatnya sehingga masyarakat “dimudahkan” dan “dimanjakan” oleh solusi-solusi sementara, “fast and easy”, instan, yang tidak prinsipiil lagi.

Ketidaktegasan dalam berdisiplin dan ketidakjelasan aturan, menyebabkan orang mundur maju menentukan apa yang perlu diperjuangkan. Orang jadi enggan meramal, membuat rancangan, berusaha mati-matian dan menentukan hidupnya, alias pasrah, menghidupkan mental yang lemah, mengharapkan hadiah, berhutang, tidak berdaya, bahkan mengemis dan menumbuhkan mental “tidak berani susah”.

Penyebaran informasi yang tidak memadai mengenai semangat berprofesi, keadaan finansial perusahaan ataupun negara, menyebabkan ketidakjelasan menjadi alasan bagi individu untuk bersikap pasrah dan lemah. Sebaliknya, kita masih bisa menemui sekelompok orang-orang yang sangat produktif, “low profile”, tetap sabar, optimis dan gigih, dalam lingkungan dengan sikap disiplin kuat. Bisa kita bayangkan betapa beruntungnya orang-orang ini, karena sistem atau organisasi sudah menyuguhkan lingkungan yang kondusif. Bagi kebanyakan kita yang justru berada di lingkungan yang tidak kondusif, kitalah motor penggerak dan perlu “in charge” untuk memperkuat diri sendiri.

Bangkit!
Kita pasti masih ingat bagaimana kita menyaksikan tim piala Uber kita dikalahkan oleh tim Cina. Saya yakin bahwa setiap penonton berbangsa Indonesia, merasa babak belur, dan merasakan sakitnya kekalahan tim kita, yang rankingnya memang jauh dibawah pemain-pemain Cina itu. Pada saat itu terasa oleh kita bahwa tim Indonesia berspirit ”rise and shine”, bermental ”A”. Pada saat itu kita merasa siap bermain, tidak takut, ingin meng-”combat” sukses. Bahkan setelah kalah sekalipun, ”rasa” itu masih ada. Tidak ada yang memaki tim piala Uber, tidak ada yang mencerca, semua orang merasakan semangat ”fight”-nya. Rasa-rasanya semangat seperti ini sudah harus kita hidupkan kembali, melihat kesulitan dan persaingan yang ada di dunia bisnis maupun di arena global. Semua ”hardware” dan perangkat teknis sudah sama, yang bisa bersaing hanyalah manusianya. Bila manusianya berpotensi dan berkompetensi sama, yang bisa disaingkan adalah mentalnya dan ”willpower”-nya.

Perkuat ‘Willpower’
Sikap “tidak ada matinya” tidak bisa kita biarkan mati suri, karena pada akhirnya hal inilah yang menjadi daya saing bangsa. Kekuatan kemauan atau “Willpower” ini adalah kemampuan individu untuk menyulut mental dan mengatakan pada diri sendiri untuk bertahan, kemudian mengeluarkan daya sekuat tenaga bagaikan mesin yang saat mulai bekerja selalu mengambil daya listrik yang lebih besar. “Willpower” ini adalah pengumpulan energi yang kuat dan besar, yang perlu dikeluarkan sekaligus pada saat-saat kita berada dalam posisi kritis. Pada saat itu kita menyerang titik lemah dalam diri kita, sehingga kita bisa mematahkan ketakutan, keraguan, kecengengan, kelelahan kita untuk sampai pada titik di mana kita seolah-olah mempunyai ruang enerji untuk melenting dan bergerak dan mendapatkan tenaga untuk maju dan ingin memenangkan situasi.

Kita butuh memelihara ‘willpower’ ini pada masing-masing individu. Begitu banyak tantangan berat kita hadapi yang membutuhkan mental yang superkuat. Kita dihadapkan pada tantangan untuk mengencangkan ikat pinggang karena kenaikan harga, melangsingkan badan karena kesehatan, bersaing secara profesi di kancah internasional, super hati-hati dalam kontrol kualitas, mencermati keadaan keuangan yang ketat,meningkatkan kinerja tanpa kenaikan imbalan yang kita harapkan, menghentikan kebiasaan korupsi berbentuk uang maupun waktu, menghentikan memberikan suap demi sikap mental ”yang penting cepat beres”.

”Susah” untuk Menang
Kebanyakan orang mendambakan saat-saat dimana kita merasa situasi rileks, aman, positif dan optimis. Namun, kita sering lupa bahwa perlu cara untuk mencapainya dan kita pun perlu tahu resepnya. Bila kita ingin mencapai situasi yang ’nyaman’, tentunya kita tidak bisa berharap bahwa orang lain akan memberikannya secara cuma-cuma.

Untuk mencapai kualitas kehidupan yang lebih baik, kita tampaknya tidak bisa berfokus pada hal-hal material semata karena materi justru sekarang tidak bisa ditandingkan. Seperti prinsip para atlit pelari rintangan,”Run to be good, practice to be better, and train to be the best”. Kita perlu mendera diri sendiri untuk menyetop kebiasaan-kebiasaan buruk dan mengembangkan perilaku yang lebih positif. Tentunya latihan ini akan butuh ‘pengorbanan’, seperti tersiksanya kita berjam-jam antri untuk mendapatkan servis dengan jalan halal, begadang demi terselesaikannya pekerjaan yang sudah dijanjikan, bekerja sambil belajar demi karir yang lebih baik, melakukan hal yang sama ribuan kali sampai dianggap kompeten, menerima penugasan yang lebih banyak supaya atasan “percaya”, makan lebih tidak enak demi kesehatan dan penghematan, bahkan hilangnya teman karena mempertahankan prinsip. Namun, bersamaan dengan itulah kita berhasil menguatkan ”willpower” kita dan bisa mengembangkan mental tahan banting. Efek samping yang didapat dari latihan begini adalah hilangnya rasa bersalah, tumbuhnya keberanian menghadapi kenyataan, penghargaan pada diri sendiri, dan meningkatnya kepuasan dan ”happiness” dalam kehidupan kita.

Sabtu, 14 Juni 2008

Law Of Attraction :You Can If You Think You Can (Bagian 1)

by:Yodhia Antariksa ,2008

You can if you think you can. Kalimat sakti yang pernah menjadi judul buku legendaris karangan Norman Vincent Peale ini sepertinya hendak memberikan satu pesan yang jelas : jika Anda senantiasa berpikir positif, selalu merajut “mentalitas bisa” (can do attitude), dan senantiasa membayangkan masa depan dengan gelegak optimisme, maka percayalah, hidup Anda pada akhirnya benar-benar akan basah kuyup dalam nirvana keberhasilan dan kebahagiaan.

Dan persis seperti itulah spirit yang dikandung oleh Law of Attraction (LOA) – sebuah aliran keyakinan yang kini tengah digandrungi dimana-mana. Maka simaklah petikan kalimat-kalimat berikut ini.

Rahasia besar kehidupan adalah hukum tarik menarik. Hukum tarik menarik mengatakan bahwa kemiripan menarik kemiripan. Ketika Anda membayangkan pikiran-pikiran, maka pikiran-pikiran itu dikirim ke Semesta, dan secara magnetis pikiran akan menarik semua hal yang serupa, dan lalu dikembalikan pada sumbernya, yakni Anda. (dikutip secara bebas dari buku The Secret karangan Rhonda Byrne).

Dengan kata lain, jika Anda selalu membayangkan pikiran yang negatif – kecewa, gagal, marah, selalu menyalahkan orang lain, frustasi, ragu, merasa selalu kekurangan – maka gelombang pikiran itu akan memantul ke semesta, menarik pikiran-pikiran negatif yang serupa, dan lalu mengirim balik secara powerful kepada sumbernya, yakni Anda. Lingkaran kelam negativisme ini perlahan namun pasti akan membawa kita dalam lorong gelap tak berujung.

Dalam lorong gelap itulah, benih-benih spirit optimisme, raungan keyakinan untuk mencengkram keberhasilan, dan daya juang untuk merajut imajinasi positif, menjadi hilang tak berbekas. Hidup yang nyata pada akhirnya akan berujung pada nyanyi bisu keterpurukan.

Itulah mengapa sebagian orang lalu memberi saran agar kita menjaga jarak dari lingkungan yang hanya menerbarkan energi kelam negativisme. Toh sialnya, setiap hari rasanya kita selalu disergap dengan energi negatif ini. Di jalanan tiap pagi kita disergap kemacetan yang melentik kita untuk segera mengeluarkan kemarahan dan umpatan menyalahkan pihak lain. Di kantor, kita acap menatap wajah-wajah sayu yang melakoni pekerjaannya dengan semangat yang kian sempoyongan. Di sudut lain kita juga tak jarang menemui sang complainer, yang kerjanya tiap hari hanya mengeluh : mengeluh bos-nya tidak adil-lah, mengeluh mengapa karirnya tak naik-naik-lah, atau mengeluh mengapa kopi yang disajikan office boy rasanya terlalu pahit……..

Dan aha, ketika kita pulang ke rumah, dan sejenak membaca berita di koran serta melihat acara talk show di televisi, duh mengapa isinya selalu sarat dengan negative news dan gambaran pesimisme yang kelam. Pengamat yang satu mengkritik ini, pengamat yang lain menyalahkan itu. Pengamat yang lainnya lagi memberikan gambaran masa depan bangsa yang seolah-olah akan jatuh dalam kegelapan abadi. (Fakta ini membuat teman saya pernah memberi saran pada saya agar BERHENTI total untuk membaca koran dan menonton televisi. Kenapa, tanya saya. Jawabnya lugas : berita dan komentar-komentar kelam yang muncul di televisi dan koran hanya akan membunuh imajinasi dan harapan Anda tentang masa depan yang lebih baik !!).

Begitulah. Ketika segenap partikel udara telah dipenuhi dengan energi negative, dan ketika berderet narasi tentang masa depan yang muram selalu menari dihadapan kita, maka apa yang sesungguhnya mesti kita lakukan?

Kita tentu tak boleh membiarkan diri kita larut didalamnya, sebab itu artinya hanya akan membuat kita terpelanting dalam kubangan nasib yang penuh ratapan dan sembilu kepedihan yang tak berujung.

“Anda tak dapat menolong dunia dengan berfokus pada hal-hal negatif. Ketika Anda berfokus pada peristiwa-peristiwa negatif, maka Anda bukan saja menambahnya, namun juga mendatangkan lebih banyak hal negatif ke dalam hidup Anda sendiri,” demikian untuk mengutip kembali ungkapan Rhonda Byrne.

Jadi bagaimana dong? Saya akan mencoba mengeksplorasi butiran-butiran jawabannya dalam tulisan seri berikutnya (Anda bisa membacanya DISINI). Untuk sementara, silakan kembali mereguk kopi hangat yang sudah ada di meja Anda. Seruputlah kopi itu pelan-pelan, sambil berbisik dalam hati : life is good….yeah, life is good.

Law Of Attraction: Jalan terjal menuju Nirvana kebahagiaan (Bagian 2)

by:Yodhia Antariksa ,2008

Dalam tulisan bagian pertama (jika Anda belum membacanya, silakan baca terlebih dahulu disini), kita telah membahas mengenai prinsip Law of Attraction (Hukum Tarik Menarik). Ide dasar dari pinsip ini adalah apa yang Anda pikirkan akan menarik pikiran-pikiran yang serupa dan kemudian memantulkannya kembali pada Anda. Pikiran yang sedang Anda bayangkan saat ini sedang menciptakan kehidupan masa depan Anda, demikian tulis Rhonda Byrne. Apa yang paling Anda pikirkan atau fokuskan akan muncul sebagai hidup Anda. Pikiran Anda akan menjadi sesuatu.

Demikianlah, jika yang mendominasi bayangan dan pikiran kita adalah hal-hal yang negatif – kecewa, gagal, marah, selalu menyalahkan orang lain, frustasi, ragu, merasa selalu kekurangan – maka gelombang pikiran itu akan memantul ke semesta, menarik pikiran-pikiran negatif yang serupa, dan lalu mengirim balik kepada Anda. Lingkaran kelam negativisme ini perlahan namun pasti akan membuat kita terpelanting dalam kisah hidup yang penuh kepiluan.

Sebaliknya, jika pikiran kita dipenuhi dengan visualisasi yang sarat dengan energi positif – tentang semangat hidup, tentang keyakinan untuk merengkuh sejumput keberhasilan, tentang kelimpah-ruahan, tentang kegairahan optimisme yang meluap, tentang ucapan syukur yang tak pernah berhenti mengalir – maka jejak kehidupan pasti akan membawa kita lebur dalam nirvana kebahagiaan yang hakiki.

Karena itulah, para pakar motivasi senantiasa menganjurkan kita untuk selalu merawat otak dan pikiran kita agar selalu berada pada ranah yang positif. Visualisasi dan luapan energi yang positif, dengan kata lain, perlu terus digodok dan diinjeksikan kedalam segenap sel saraf otak kita. Sebab dengan itulah, sketsa indah tentang keberhasilan dan kebahagiaan bisa mulai dilukiskan dengan penuh kesempurnaan.

Sesungguhnya, ide tentang korelasi antara spirit hidup yang positif dengan level keberhasilan individu pernah dielaborasi secara ekstensif oleh para akademisi jauh sebelum buku Law of Attraction yang menggemparkan itu terbit. Martin Seligman adalah salah satu tokohnya. Tokoh yang acap disebut sebagai Bapak Psikologi Positif ini, melalui bukunya yang bertajuk Learned Optimism telah memberikan elaborasi yang solid tentang betapa spirit optimisme dan pola pikir positif amat berpengaruh terhadap keberhasilan hidup.

Pertanyaannya sekarang adalah : bagaimana caranya agar perjalanan hidup kita selalu diselimuti oleh energi positif dan spirit optimisme yang menghentak serta terus mengalir.

Salah satu cara yang populer adalah melalui teknik visualisasi positif (saya pernah mengulas teknik tersebut DISINI, karena itu silakan kesitu jika Anda ingin membacanya).

Cara lain yang praktis mungkin adalah ini : tenggelamkan diri Anda dalam lingkaran pergaulan atau komunitas yang memiliki visi hidup positif. Mungkin kita bisa memulainya dari lingkungan terdekat, keluarga. Siramilah segenap interaksi dalam keluarga kita dengan energi positif, rajutlah komunikasi yang produktif dengan pasangan hidup kita (dan bukan membanjirinya dengan aneka keluhan seperti : Aduh Mama, kenapa lauknya asin banget? Atau : Mama gimana sih, kok celana dalam saya ndak ada yang kering?). Lalu, limpahilah jua anak-anak kita dengan pujian dan apreasiasi (dan bukan dengan rentetan kalimat negatif seperti : kenapa rapormu jelek, kenapa nilai matematika si Andi lebih baik dari kamu, dst).

Lalu, bangun pula persahabatan dengan insan-insan yang selalu mampu menebarkan nyala kegigihan dalam setiap jejak langkahnya. Tebarkan interaksi dengan mereka yang selalu bisa memekarkan keyakinan untuk merengkuh keberhasilan; dan bukan dengan pribadi yang hanya bisa meletupkan energi negatif. Dan bentangkan sayap pergaulan kita dengan mereka yang selalu melihat masalah sebagai sebuah tantangan yang pasti bisa dituntaskan – dan tidak dengan orang-orang yang hanya menabur komplain, saling-menyalahkan dan mengeluarkan sembilu keluhan tanpa ujung.

Pada sisi lain, mungkin ada baiknya juga jika kita melimpahi hidup dengan bacaan dan pengetahuan yang inspiratif, menyegarkan serta mampu membawa pencerahan. Bacaan itu bisa kita gali dari buku-buku, majalah atau blog-blog bermutu (ya contohnya seperti blog yang sedang Anda baca ini….:):)). Pengetahun yang inspiratif ini barangkali dapat menopang dan membantu kita dalam merajut etos hidup yang dilimpahi oleh energi positif.

Pada akhirnya mesti dikatakan bahwa jalan menuju nirvana kebahagiaan sungguh merupakan jalan yang terjal nan berliku. Namun selalu hadapilah jalan yang panjang itu dengan sikap hidup positif, dengan spirit optimisme, dengan keyakinan yang menggumpal, dan dengan limpahan rasa syukur yang mengalir tanpa henti.

Juga dengan lantunan doa yang khusyu’ tanpa henti pada Sang Ilahi. Percayalah, seribu malaikat pasti akan selalu mendengar doa yang Anda bisikkan siang dan malam itu……..

Positive Mindset dalam Empat Level Gelombang OItak

by:Yodhia Antariksa

Dalam tulisan mengenai Law of Attaction (Hukum Tarik Menarik), kita telah membahas mengenai betapa sesungguhnya pola pikir dan rajutan imajinasi kita memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sejarah masa depan hidup kita.

Demikianlah, jika kita selalu mampu menganyam pola pikir yang guyub dengan energi positif – dengan energi tentang keyakinan-diri, dengan pancaran optimisme yang kokoh, dan dengan sikap hidup yang selalu penuh rasa sukur – maka ada peluang besar bahwa hidup sejati kita akan benar-benar dilimpahi oleh sederet narasi tentang keberhasilan.

Sebaliknya, jika bentangan hidup kita selalu diharu-biru oleh rajutan pola pikir yang negatif – tentang bayangan kelam kegagalan, tentang rasa tak percaya diri, tentang kegamangan, dan sikap hidup yang selalu mengeluh serta menyalahkan pihak lain (tanpa mau jernih melakukan introspeksi) – maka besar kemungkinan hidup nyata kita benar-benar akan dipenuhi dengan elegi pilu kemalangan dan kenestapaan.

Itulah mengapa kaum bijak bestari memberi petuah agar kita bisa selalu melentikkan api optimisme dalam diri kita dan juga mampu merawat pola pikir positif. Positif melihat masa depan kita, positif melihat segenap tantangan yang menghadang, dan positif dalam berpikir serta berimajinasi.

Soalnya kemudian adalah : menginjeksikan daya positif ke dalam sel-sel otak kita ternyata tak semudah membikin indomie rebus. Acap ketika dihadapkan pada tantangan yang membuncah atau kerumitan masalah yang menghadang, pikiran kita langsung goyah dan berpikir : ah, saya memang tidak mampu melakukannya…..saya mungkin tidak bisa meraih impian yang saya cita-citakan…..yah, memang ini suratan nasib saya…….(Duh!).

Jadi bagaimana duuoong? Apa yang mesti dilakoni agar mentalitas positif dan spirit keyakinan itu tak langsung layu ketika badai tantangan datang menghadang? Apa yang mesti diziarahi agar virus positiv itu terus menancap dalam serat otak kita bahkan ketika lautan masalah terus menggelora, menghantam biduk perjalanan kita?

Beruntung, para ahli saraf (neurolog) telah menemukan jawabannya. Dan jawabannya terletak pada empat level gelombang otak kita. Melalui serangkaian eksperimen dan alat ukur yang bernama EEG (Electro EncephaloGram), mereka menemukan ternyata terdapat empat level getaran dalam otak kita. Mari kita simak bersama empat gelombang kesadaran itu.

Beta (14 – 100 Hz). Dalam frekuensi ini kita tengah berada pada kondisi aktif terjaga, sadar penuh dan didominasi oleh logika. Inilah kondisi normal yang kita alami sehari-hari ketika sedang terjaga (tidak tidur). Kita berada pada frekuensi ini ketika kita bekerja, berkonsentrasi, berbicara, berpikir tentang masalah yang kita hadapi, dll. Dalam frekuensi ini kerja otak cenderung memantik munculnya rasa cemas, khawatir, stress, dan marah. Gambar gelombang otak kita dalam kondisi beta adalah seperti dibawah ini.

Alpha (8 – 13.9 Hz). Ketika otak kita berada dalam getaran frekuensi ini, kita akan berada pada posisi khusyu’, relaks, meditatif, nyaman dan ikhlas. Dalam frekuensi ini kerja otak mampu menyebabkan kita merasa nyaman, tenang, dan bahagia. Berikut gambar gelombang alpha.


Theta (4 – 7.9 Hz). Dalam frekuensi yang rendah ini, seseorang akan berada pada kondisi sangat khusyu’, keheningan yang mendalam, deep-meditation, dan “mampu mendengar” nurani bawah sadar. Inilah kondisi yang mungkin diraih oleh para ulama dan biksu ketika mereka melantunkan doa ditengah keheningan malam pada Sang Ilahi. Berikut gambar gelombang otak kita ketika berada dalam kondisi theta.


Delta (0,1 – 3,9 Hz). Frekuensi terendah ini terdeteksi ketika orang tengah tertidur pulas tanpa mimpi. Dalam frekuensi ini otak memproduksi human growth hormone yang baik bagi kesehatan kita. Bila seseorang tidur dalam keadaan delta yang stabil, kualitas tidurnya sangat tinggi. Meski tertidur hanya sebentar, ia akan bangun dengan tubuh tetap merasa segar.

Nah, penyelidikan menunjukkan bahwa proses penumbuhan keyakinan positif dalam pikiran kita akan berlangsung dengan optimal jika otak kita tengah berada pada kondisi Alpha (atau juga kondisi Theta). Dalam frekuensi inilah, kita bisa menginjeksikan energi positif dalam setiap jejak sel saraf kita secara mulus. Apabila kita merajut keyakinan positif dan visualisasi keberhasilan dalam kondisi alpha, maka rajutan itu benar-benar akan menembus alam bawah sadar kita. Pada gilirannya, hal ini akan memberikan pengaruh yang amat dahsyat pada pola perilaku kita ketika berproses menuju puncak keberhasilan yang diimpikan.

Pertanyaannya sekarang adalah : bagaimana caranya agar kita bisa berada kondisi alpha?

Bagi Anda yang muslim, ada satu langkah yang mujarab : sholat tahajud di tengah keheningan malam (Jika Anda beragama Kristen, mungkin medianya adalah dengan melakukan “retreat”).

Begitulah, para kaum bijak bestari berkisah, dalam momen-momen kontemplatif ketika bersujud dihadapan Sang Ilahi, selalu ada perasaan keheningan yang menggetarkan, perasaan khusyu’ yang sungguh menghanyutkan. Saya berpikir perasaan ini muncul karena saat itu kondisi otak kita sedang berada pada gelombang alpha. Dan percayalah, dalam momen itu, kita dengan mudah bisa memasukkan energi positif dan spirit keyakinan dalam segenap pikiran kita. Dalam momen inilah, dalam hamparan kepasrahan total pada Sang Pencipta dan rasa syukur yang terus mengalir, kita bisa merajut butir-butir keyakinan positif itu dalam segenap raga kita. Dalam segenap jiwa dan batin kita.

Maka mulai malam ini………………ditengah kesunyian malam, bentangkanlah sajadah disudut rumah kita, basuhkan air wudhu, dan tegakkan sholat tahajud dengan penuh keikhlasan. Lalu, ditengah keheningan yang menentramkan, lantunkanlah harapan positif dan doa-doa itu dengan penuh keyakinan……Mudah-mudahan kita semua bisa melangkah menuju pintu keberhasilan dan kebahagiaan. Disini dan “Disana”.

Are You HAPPY with Your Life (and your job) Now ?

by :Yodhia Antariksa

Hidup pada akhirnya memang selalu penuh dengan tikungan. Ada kalanya kita berada pada parade keberhasilan yang membuat kita mabuk dalam ekstase keriangan. Ada pula saat ketika kita terpeleset, terpelanting dan terpuruk dalam segores duka. Toh dalam lingkaran jatuh dan bangun itu, hidup harus terus dijalankan. Kita terus berproses dan bertumbuh “menjadi manusia”. Becoming a true person, demikian Erich Fromm pernah berujar dalam risalahnya yang terkenal itu, On Being Human.

Namun mungkin ada kalanya kita perlu berhenti sejenak, mengambil rehat, dan melakukan kontemplasi. Sekarang tataplah screen (layar) laptop atau komputer Anda. Lihatlah screen yang ada di depan Anda ini sebagai sebuah cermin…..lalu bayangkanlah, kira-kira lima tahun dari sekarang, potret apa yang tergambar dalam layar di depan Anda ini.

Apakah yang tergambar dalam bayangan itu adalah figur Anda sebagai seorang saudagar sukses dengan omzet bisnis ratusan juta per bulan, dengan sebuah apartemen indah di Dharmawangsa Residence? Atau yang muncul adalah gambaran Anda sebagai seorang manajer sukses bergaji 30 juta perbulan, dengan sebuah SUV nongkrong di garasi rumah? Atau yang justru tergambar di layar adalah gambaran Anda sebagai seorang guru mengaji di sebuah surau kecil di kampung halaman Anda, nun jauh disana, di sebuah kampung dimana segenap ambisi materi dan duniawi menjadi lenyap, karena disitu yang ada hanyalah “keheningan, kedamaian dan kebersahajaan”?

Saya tak tahu. Sungguh saya tak tahu apa yang dalam imajinasi Anda tentang masa depan hidup yang ingin Anda ukir. Namun apapun pilihan hidup masa depan Anda, barangkali tetap tersisa satu hal yang layak dicatat : pilihan itu sebaiknyalah didasari oleh passion Anda. Ya, passion. Atau gairah yang membuncah. Atau rajutan tekad yang menghujam di hati.

Life is too short my friends, and you know what, setelah itu kita semua akan mati. Sebab itu, mungkin yang tersisa adalah sejumput kesia-sian jika sepanjang hidup, kita hanya melakoni pekerjaan yang full of bullshit. Dan bukan menekuni pekerjaan yang menjadi passion kita, tempat dimana kita bisa mereguk secangkir kebahagiaan sejati…… Tempat dimana kita selalu tak sabar menunggu hari esok tiba – karena setiap hari selalu dihiasi oleh “the beauty of meaningful work and life”. Jadi adakah hidup dan pekerjaan yang Anda lakoni sekarang sudah benar-benar menjadi passion Anda? Adakah Anda telah menemukan secercah embun kebahagiaan dalam segenap hidup dan pekerjaan Anda?

Lalu, setelah passion, barangkali ada dua elemen kunci yang juga layak di-stabilo : persistensi dan determinasi. Kalaulah Anda sudah menemukan tujuan hidup dan pekerjaan yang menjadi passion Anda, maka kejarlah impian Anda dengan persisten : dengan kegigihan, dengan keuletan dan dengan ketekunan. Kita tahu, banyak orang membentur kisah kegagalan bukan karena mereka bodoh atau tak punya bakat. Bukan itu. Mereka gagal karena menyerah di tengah jalan. Quit. Berhenti dan tak mau meneruskan lagi upayanya dengan gigih.

Kita semua pasti pernah mengalami kegagalan. Namun bukan berarti ini mesti membuat kita berhenti dan menyerah kalah. Orang bijak belajar dari kesalahan dan kegagalan yang mereka lakukan, dan kemudian berproses untuk kembali menemukan jalur pencapaian tujuan hidup mereka. Ditengah tantangan yang terus mengerang dan jalan kehidupan yang terjal penuh tikungan, mereka terus menderapkan kaki : sebab mereka percaya pada akhirnya, cahaya keberhasilan itu pelan-pelan bisa dinyalakan. Mereka terus berjuang dengan persisten. Dengan penuh passion. “And we’ll keep on fighting till the end……”, begitu paman Freddy “Queen” Mercury pernah berdendang.

Setelah passion dan persistensi, maka elemen terakhir yang juga harus dipeluk erat adalah ini : determinasi. Atau komitmen yang menggumpal. Atau dedikasi yang terus mengalir. Atau selalu fokus pada satu tujuan akhir yang jelas. Orang yang punya determinasi selalu percaya bahwa they create their own destiny (tentu dengan restu dari Yang Diatas). Mereka selalu percaya bahwa merekalah yang paling bertanggungjawab untuk merajut masa depan dan nasib hidup mereka sendiri. Bukan orang lain.

Orang yang memiliki determinasi karenanya, tak pernah mau menyalahkan orang atau pihak lain manakala dihadang oleh segumpal tantangan hidup. Mereka lebih suka selalu menelisik akar masalah dan lalu mencoba mengukir solusi untuk menghadapi tantangan yang menghadang. Mereka juga enggan mengeluh ketika dihantam oleh berderet problem kehidupan dan beban pekerjaan yang kian menggurita. Sebab mereka percaya, mengeluh hanyalah layak untuk para pecundang. Dan sungguh, mereka tak pernah mau disebut sebagai para pecundang.

Itulah tiga elemen – yakni passion, persistensi dan determinasi – yang mungkin mesti kita dekap dengan penuh kesungguhan kala kita ingin merengkuh jejak kebahagiaan dalam sejarah hidup kita yang amat pendek ini. Yang pertama, temukan passion, kegairahan sejati dalam jejak hidup yang ingin Anda tapaki. Lalu, bergeraklah, bergeraklah dengan penuh persistensi. Dengan spirit kegigihan yang terus berpendar. Kemudian jalani itu semua dengan nyala determinasi yang menggumpal.

Selamat berjuang, kawan !! Selamat berjuang merengkuh kebahagian hakiki dalam hidup dan pekerjaan Anda. Salam, doa dan peluk hangat dari saya untuk keberhasilan Anda semua….

Kegagalan Succession Planning dan Robohnya CITIBANK

by:Yodhia Antariksa

Di tanah air, Citibank termasuk memiliki reputasi yang harum nan mencorong. Perusahaan ini dikenal sebagai salah satu sekolah bankir terbaik di Indonesia, tempat dimana para bankir jempolan ditempa dan dikembangkan. Kinerja bisnisnya juga terus melenggang manis, termasuk menjadi market leader untuk pasar kartu kredit di tanah air (barangkali Anda termasuk salah satu pemilik kartu kredit dari Citibank).

Namun dalam skala global, Citibank (yang induk perusahaannya disebut Citigroup) merupakan raksasa yang tengah terluka parah dengan darah mengucur dari sekujur tubuhnya. Akibat terperangkap dalam kredit macet perumahan di Amerika (subprime mortage), Citibank harus kehilangan uang sebesar Rp 160 trilyun (gasp!). Harga sahamnya hancur berantakan, dari sebesar $ 57 turun ke angka $ 20 – membuat para pemegang sahamnya harus kehilangan market value sebesar Rp 1,400 trilyun (dua kali lipat APBN negeri kita!).

Mengapa sang rakasa Citibank bisa terluka sedemikian parah? What went wrong? Jawabannya lugas : Citibank roboh karena melakukan kesalahan fatal dalam memilih CEO. People first – dan drama limbungnya Citibank ini sekali lagi menunjukkan bahwa kisah kehancuran banyak perusahaan selalu berakar pada kesalahan dalam mengelola SDM – bukan karena kesalahan dalam faktor strategi, pemasaran, teknologi ataupun keuangan.

Benih luka dalam tubuh Citibank sejatinya sudah mulai tertanam sejak tahun 2000, ketika Citigroup (hasil merger antara Citibank dengan Travelers Group) dikendalikan oleh CEO bernama Sandy Weill. Sosok Sandy sendiri sebenarnya bukan figur seorang CEO yang tangguh – setidaknya ia kalah jauh dari sisi manajerial dibanding Jack Welch. Sandy juga bukan sosok yang visioner yang mampu membaca arah strategi perbankan global masa depan. Yang lebih tragis, ia memiliki style kepemimpinan yang cenderung otoriter. Itulah sebabnya banyak great people di Citibank global yang hengkang lantaran tak betah dengan gaya kepemimpinannya.

Namun kesalahan fatal yang ia lakukan adalah saat ia harus memilih pengganti (suksesor) lantaran ia akan pensiun pada tahun 2003. Disini ia menggunakan pendekatan yang pekat dengan crony-ism (perkoncoan). Dari sejumlah kandidat yang muncul, ia akhirnya memilih Charles Prince, bukan karena ia yang terbaik, namun lebih karena ia yang paling loyal dengannya. Banyak orang terkejut dengan pilihan ini, sebab posisi Charles Prince saat itu adalah kepala bagian hukum (legal) – dus, ia sama sekali tidak memiliki strong background dalam bidang perbankan. See….seorang CEO sebuah perusahaan global pun ternyata bisa melakukan “a stupid decision”.

Dan benar adanya. Tanpa dibekali dengan kemampuan perbankan yang mumpuni, Prince gagal mengendalikan Citibank secara optimal. Dan akhirnya, pada tahun 2007 lalu, Citibank dihantam keras oleh badai kredit macet perumahan yang membikinnya terluka parah. Dan Prince pun segera dipecat.

Lalu, pelajaran apa yang bisa kita petik dari drama kegagalan succession planning di Citibank ini? Ada dua hal yang mungkin bisa kita elaborasi disini.

Yang pertama, sebuah proses succession planning (atau proses penggantian para eksekutif yang menduduki posisi kunci) mestinya dilakukan secara sistematis dan berdasar pada asesmen yang obyektif – dan bukan melalui proses yang parsial dan berdasar perasaan subyektivitas yang penuh bias.

Untuk melakukan proses succession planning secara optimal, kita mesti memulainya dengan identifikasi para talent pool – atau barisan para potential employees yang memiliki talenta untuk menjadi para pemimpin masa depan. Selanjutnya, deretan karyawan potensial ini kudu ditempa dan dikembangkan kompetensinya melalui rangkaian program pengembangan yang sistematis. Proses pengembangan dapat dilakukan baik melalui program pelatihan berjenjang; ataupun juga dilakoni via penugasan khusus (special assignment), skema mentoring, atau melalui pemekaran tugas dan tanggungjawab (job enrichment). Harapannya, melalui beragam program pengembangan ini, para karyawan tersebut menjadi kian matang dan benar-benar siap menjadi top talent perusahaan.

Pelajaran kedua yang bisa dipetik barangkali adalah ini : proses penyiapan para future leaders hanya akan berjalan dengan optimal jika sebuah perusahaan telah memiliki sebuah sistem pendidikan dan pengembangan karyawan yang bersifat terpadu, sistematis dan dijalankan dengan konsisten. Kisah keberhasilan GE yang selalu bisa mencetak para top leaders jempolan hanya bisa terjadi karena mereka memiliki lembaga GE Campus yang legendaris. Demikian juga kisah kebesaran Astra International tercipta lantaran mereka memiliki proses pengembangan manajer yang sistematis melalui lembaga Astra Management Development Institute (pembahasan saya yang lebih detil mengenai GE Corporate Campus bisa Anda baca DISINI). Tanpa sistem pengembangan dan pendidikan yang terpadu, jangan harap kita akan mampu mencetak para future leaders yang mumpuni.

Sekali lagi, great people will always determine your success. Citibank mungkin mesti segera melakukan beragam langkah sistematis untuk membenahi proses pengelolaan dan pemilihan para top eksekutifnya. Jika mereka kembali ceroboh dalam memilih para top eksekutifnya, mungkin Citibank bisa benar-benar roboh tak berbekas. Dan itu artinya, nama besar Citibank bisa tinggal sejarah diatas puing-puing kehancuran.

Selasa, 10 Juni 2008

STOP OLOK OLOK !!!!

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Saya baru tersadar betapa bangsa kita gemar berolok-olok dan mencerca bangsa sendiri. Ketika dalam kelas training saya menanyakan apa pendapat peserta tentang acara kolosal kebangkitan nasional yang saya juluki bertema “Indonesia bisa!”, sebagian orang mengomentari penyanyi yang gagal, yang lain secara jenaka memperagakan latihan tenaga dalam yang kurang sukses. Sementara anggota keluarga saya, secara lengkap, tua-muda, menikmati acara tersebut, terharu-biru begitu dikumandangkannya lagu Indonesia Raya oleh si Putra Papua, Edo Kondologit, dan merasa termotivasi untuk bangkit dari kesulitan, namun di sisi lain ternyata banyak orang yang melihat tontonan ini dari sudut pandang yang sangat “ringan dan lucu”. Kenyataan ini dilanjutkan, ketika dalam salah satu blog seseorang yang membahas mengenai olok-olok juga, ditanggapi oleh sahabatnya dengan ungkapan, ”Bukannya Bangsa Indonesia memang biasa berkomunikasi dengan cara ‘olok-olok’ seperti ini?”.

Ironisnya, olok-olok ini sesungguhnya bisa jadi membuat kita terjebak pada ‘self-fulfilling prophecy’, yaitu terdorongnya situasi atau perilaku baru melalui perkataan, pikiran atau keyakinan kita sendiri. Ungkapan-ungkapan seperti “kita ini bangsa yang bodoh”, “Otak orang Indonesia paling segar, karena tidak pernah dipakai”, “pemberantasan korupsi tidak akan tuntas”, karena tidak diikuti oleh tindakan, action plan pribadi, kelompok maupun perusahaan secara jelas, malah bisa membuat kita sendiri frustasi dan mulai memaki diri sendiri, bahkan melahirkan ‘lingkaran setan’ yang dibuat oleh keyakinan itu sendiri. Dikarenakan kemalasan dan tidak teganya kita memaki diri sendiri, maka olok-oloklah yang kita lontarkan pada pihak lain, dalam hal ini perusahaan sendiri, lembaga pemerintah sendiri, ataupun Negara sendiri.

Olok-olok sebagai Cerminan ‘Esteem’ Rendah
Tertawa dan bercanda bersama adalah cara manusia untuk mempererat hubungan. Bayangkan betapa runyam hidup seseorang yang tidak pernah tersenyum dan tertawa. Tersenyum dimulai dari adanya koneksi yang menunjukkan daya tarik interpersonal, sementara tertawa dimulai dari kemampuan individu untuk melihat sisi lucu dari sesuatu yang kasat mata. Hanya pada saat individu berkembanglah, ia bisa mempunyai perspektif terhadap hal yang tidak kasat mata, lebih abstrak, dalam, dan melihatnya dari sudut pandang lucu, gembira dan tidak sendu ataupun serius. Orang yang banyak tertawa memang cenderung lebih “happy” dan optimistis. Namun, tertawa, baik mengenai diri sendiri atau terhadap suatu situasi tentunya tidak berlaku bila tawa itu diwarnai dengan sinisme yang berlebihan ataupun pelecehan ke orang lain, apalagi ke diri sendiri.

Olok olok yang kita sering dengar, terutama akhir-akhir ini, rasanya sulit digolongkan pada olok-olok yang sehat, karena ia terasa getir, sinis bahkan tidak menunjukkan ‘esteem’ atau penghargaan diri. Orang ber-esteem rendah kita kenal sebagai orang yang mempunyai kebiasaan untuk menilai negatif diri sendiri, tidak menyukai tantangan, malas bertindak, dan banyak tampil sebagai pengkritik tajam bahkan melecehkan orang lain. Tentunya kegiatan ini bukan bercanda lagi, apalagi disebut “sense of humor”.

Bisa jadi kita berpikir bahwa olok-olok atau sindiran adalah bentuk umpan balik bagi pihak lain untuk mawas diri dan memperbaiki diri. Namun, olok-olok tentu saja tidak bisa kita sebut masukan, karena ia tidak tertuju langsung secara ‘man to man’ pada orang yang kita maksud. Selain olok-olok tidak pernah menjadikan situasi lebih baik, kita yang mengolok-olok juga jadi manusia kerdil karena seolah “lempar batu sembunyi tangan”, akibat ketidakmampuan kita untuk ‘pasang badan’ dan mempertanggungjawabkan pendapat dan masukan kita secara ksatria dan elegan.

Rasa Syukur Menarik Kebaikan dan Kesuksesan
Dalam buku best seller-nya, ‘The Secret’, Rhonda Byrne, mengungkapkan hal-hal yang sangat “common sense”, yang sejak dulu dikumandangkan ayah saya, walaupun bentuknya sedikit berbeda. “Hitung berkatmu”, kata ayah saya,”Maka kamu akan takjub akan kekayaanmu. Kemudian bersyukurlah”. Menurut Rhonda, mustahil kita menarik kebaikan, kesejahteraan dan keuntungan, tanpa mensyukuri apa yang kita miliki. Rasa syukur yang kita pancarkanlah yang akan menarik enerji bagaikan magnet, sehingga kebaikan dan kemudahan akan mendekat dan memberikan “power” dalam kehidupan kita. Kita boleh merasa “kurang” karena itu akan menantang diri kita, membangkitkan motivasi untuk selalu lebih baik dan sempurna. Namun, ratapan tanpa rasa “bersyukur” yang diwarnai rasa iri dan kekecewaan yang negatif akan membendung kita dari kreativitas dan patriotisme untuk membangun diri, keluarga, perusahaan dan bangsa.

Simak laporan CNN mengenai gempa bumi di Sichuan, 12 Mei yang lalu. “Jutaan orang kehilangan keluarga, rumah dan harta benda. Namun, tak terdengar ratapan dan keluhan. Yang tampak adalah orang saling menolong satu sama lain. Dalam hitungan jam, orang-orang berlomba untuk memberi bantuan. Sepanjang ratusan meter, orang-orang mengantri untuk mendonorkan darahnya, dan dalam waktu 24 jam, mereka kehabisan tempat untuk menampung darah dari pendonor.” Rupanya, di negara yang sering kita duga “miskin emosi” ini, tidak banyak orang mengidap gejala: ”bystander’s apathy”, penonton yang apatis. Tentu, tak ada salahnya kita mem”benchmark” semangat solidaritas dan “tidak ada matinya” negeri Cina ini.

Marilah mulai bangkit dengan membuat daftar sukses, apakah itu keberhasilan memanjat dinding 12 meter, menyelesaikan laporan tepat waktu, menutup penjualan 10 juta,berhemat 200 ribu ataupun sekedar keberhasilan untuk datang ke kantor tepat waktu. Dengan bersyukur, kita memupuk kualitas positif dan kompetensi sebagai modal kita. Selanjutnya, mari kita hidup sesuai dengan tuntutan yang realistik dan tidak lupa untuk bertindak!