Minggu, 30 Maret 2008

Anda Ingin Bonus 7 Kali Gaji?
Yodhia Antariksa 2008

Ada yang menarik dalam tulisan di majalah SWA edisi 7 Februari 2008 tentang para pemenang survei HR Excellence Award – sebuah ajang survei untuk menguji kepiawaian perusahaan dalam mengelola dan mengembangkan para talenta terbaiknya. Disitu dikisahkan mengenai sepak terjang salah satu pemenangnya, yakni sebuah perusahaan BUMN yang bergerak dibidang perkebunan, PTPN III.

Salah satu catatan yang menarik tentang perusahaan tersebut adalah ini : pada tahun 2006, mereka membagi bonus kepada karyawannya 5 kali gaji, dan di tahun 2007 kemarin, bonus yang diberikan adalah 7 kali gaji (wuih!). Bukan itu saja. Gaji minimal manajer (kepala bagian) di perusahaan itu adalah Rp 24 juta per bulan – jauh diatas rata-rata gaji manajer perusahaan swasta nasional. Artinya, jika Anda bekerja sebagai manajer di PTPN III, maka pada awal bulan Januari kemarin, Anda akan mendapat bonus sebesar 7 x 24 juta atau Rp 168 juta — cukup untuk DP pembelian Honda New CRV. Hmmm….sedap man.

PTPN III memang merupakan salah satu BUMN yang gencar melakukan transformasi besar-besaran dalam lima – empat tahun terakhir. Proses perubahan di perusahaan ini dicanangkan ketika PTPN III masih berada dibawah kepemimpinan Akmaluddin Hasibuan – salah satu CEO yang visioner, dan spiritnya mirip-mirip dengan mendiang Cacuk Sudaryanto ketika metransformasi Telkom. Akmaluddin – yang kini sudah tak lagi menjadi CEO – bertekad membawa PTPN III menjadi perusahaan kelas dunia – dan bukan lagi perusahaan negara yang jadul nan amburadul.

Maka selain melakukan perombakan menyeluruh terhadap sistem manajemen SDM di perusahaan itu, ia juga melakukan tindakan dramatis : menaikkan gaji dan remunerasi para karyawannya menuju pada tingkat yang amat layak. Sebab, proses perubahan menuju perbaikan kinerja sungguh akan sulit dilakukan kalau gaji karyawan kita berada pada level pas-pasan. Kalau gaji kita terlalu kecil, maka boro-boro mikir visi jauh ke depan dan blah-blah lainnya, mikir besok mau makan apa saja masih suka pusing tujuh keliling…..(duh, nasib, nasib…..).

Begitulah, Akmaluddin kemudian memutuskan kenaikan gaji yang signifikan bagi segenap karyawannya. Selain menaikkan gaji manajer seperti diatas, maka gaji para pengepul (atau pemetik tanaman buah sawit di perkebunan) dinaikkan menjadi 2,5 juta plus insentif 2,5 juta (yang akan diperoleh jika memenuhi target pemetikan buah). Itu artinya, pegawai rendahan sekalipun bisa membawa 5 juta rupiah per bulan ke rumah – sebuah angka yang amat besar bagi para pegawai pemetik buah yang sebagian besar hanya lulusan SLTA (so, Anda tertarik jadi pemetik buah sawit…??).

Hasil dari perubahan itu adalah kenaikan produktivitas yang tajam di perusahaan tersebut; dan tren angka kenaikan itu kelihatannya terus berlanjut. Sebab, keputusan kenaikan gaji ini juga segera disertai dengan perubahan yang menyeluruh dalam bidang lainnya, termasuk dalam sistem manajemen kinerja karyawannya. Hal ini penting untuk dicatat, sebab jika gaji dinaikkan secara dramatis tanpa diikuti dengan perubahan sistem penilaian kinerja, maka yang terjadi bisa sebuah malapetaka. Biaya gaji naik secara signifikan, namun produktivitas karyawan stagnan. Kalau begini, perusahaan kita justru bisa bangkrut.

Catatan lain yang layak dicatat dari fenomena PTPN diatas adalah ini : perusahaan yang berani memberikan gaji dan bonus yang besar biasanya adalah perusahaan yang berada pada sebuah industri yang tengah tumbuh pesat. Sektor perkebunan (dimana PTPN berada), pertambangan, dan juga telekomunikasi serta perbankan, adalah beberapa jenis industri yang tumbuh bagus dalam beberapa tahun terakhir. Karena itu, perusahaan dalam sektor itu cenderung lebih agresif dalam memberikan bonus dan kenaikan gaji bagi para karyawannya. Sebaliknya, jika Anda kebetulan bekerja pada sektor/industri yang pertumbuhannya pas-pasan, ya jangan berharap banyak untuk memperoleh kenaikan gaji dan bonus yang gede (masih untung gajinya ndak diturunkan….).

Namun faktor lain yang amat penting bagi besaran bonus dan gaji yang Anda terima adalah : filosofi dan komitmen top manajemen atau pemilik bisnis (business owner). Disini kita melihat ada pemilik perusahaan yang cenderung pelit dan serakah (maunya semua profit perusahaan dimakan sendiri, tak peduli karyawannya cuma bisa makan nasi + kerupuk). Namun ada juga pemilik perusahaan yang murah hati dan amat peduli pada kesejahteraan karyawannya. Saya pernah membaca ada pemilik sebuah perusahaan kelas menengah di Jakarta yang memiliki prinsip membagi 50 % profit perusahaan kepada segenap karyawannya. Betapa mulianya orang ini. Dan juga amat cerdas : sebab dari sejumlah riset empirik terbukti, pola profit sharing semacam diatas amat positif dampaknya bagi kemajuan kinerja bisnis.

So, kalau sekarang Anda masih jadi karyawan, ya berdoalah semoga pemilik atau top manajemen perusahaan Anda bisa memiliki prinsip seperti diatas. Mau berbagi dalam suka dan duka dengan segenap karyawannya.

Sementara kalau Anda sudah atau kelak ingin menjadi pemiliki usaha sendiri, maka peganglah prinsip berbagi profit dengan segenap karyawan Anda. Berikan mereka gaji yang amat layak dan tiap tahun alokasikan bonus yang besar sesuai dengan kontribusi mereka. Percayalah, praktek semacam ini akan membuat bisnis Anda langgeng dan kian menapak naik kinerjanya. Dan bukan itu saja : kelak kalau Anda meninggal, para karyawan Anda itu pasti akan mendoakan Anda dengan tulus ikhlas – dan bukan dengan nggrundel lantaran gajinya ndak pernah naik-naik !!

Human Capital Comments(21)

Manajemen SDM berbasis kompetensi

Merancang Manajemen SDM Berbasis Kompetensi
Yodhia Antariksa

Pengembangan pribadi yang bermutu unggul secara sistematis boleh jadi merupakan salah satu strategi yang mesti diusung ketika suatu perusahaan bemimpi menjadi yang terbaik. Dalam kaitannya dengan hal ini, beberapa tahun terakhir ini merebak satu pendekatan baru dalam menata kinerja manusia, yang acap disebut sebagai competency-based HR management (CBHRM), atau manajemen pengelolaan SDM berbasis kompetensi. Dalam pendekatan ini, kosa kata kompetensi menjadi elemen kunci.

Secara general, kompetensi sendiri dapat dipahami sebagai sebuah kombinasi antara ketrampilan (skill), atribut personal, dan pengetahuan (knowledge) yang tercermin melalui perilaku kinerja (job behavior) yang dapat diamati, diukur dan dievaluasi. Dalam sejumlah literatur, kompetensi sering dibedakan menjadi dua tipe, yakni soft competency atau jenis kompetensi yang berkaitan erat dengan kemampuan untuk mengelola proses pekerjaan, hubungan antar manusia serta membangun interaksi dengan orang lain. Contoh soft competency adalah: leadership, communication, interpersonal relation, dll. Tipe kompetensi yang kedua sering disebut hard competency atau jenis kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan fungsional atau teknis suatu pekerjaan. Dengan kata lain, kompetensi ini berkaitan dengan seluk beluk teknis yang berkaitan dengan pekerjaan yang ditekuni. Contoh hard competency adalah : electrical engineering, marketing research, financial analysis, manpower planning, dll.

Tahap pertama yang mesti dilakukan ketika suatu perusahaan hendak membangun competency-based HR management adalah menyusun direktori kompetensi serta profil kompetensi per posisi. Dalam proses ini, dirancanglah daftar jenis kompetensi – baik berupa soft dan hard competency – yang dibutuhkan oleh perusahaan tersebut; lengkap dengan definisi kompetensi yang rinci, serta juga indikator perilaku dan levelisasi (penjenjangan level) untuk setiap jenis kompetensi. Dalam tahap ini pula disusun semacam kebutuhan kompetensi per posisi, atau semacam daftar kompetensi apa yang dipersyaratkan untuk satu posisi tertentu, berikut dengan level minimumnya.

Tahap berikutnya merupakan tahap yang paling kritikal, yakni tahap asesmen kompetensi untuk setiap individu karyawan dalam perusahaan itu. Tahap ini wajib dilakukan sebab setelah kita memiliki direktori kompetensi beserta dengan kebutuhan kompetensi per posisi, maka kita perlu mengetahui dimana level kompetensi para karyawan kita – dan dari sini juga kita bisa memahami gap antara level kompetensi yang dipersyaratkan dengan level yang dimiliki oleh karyawan saat ini.

Terdapat beragam metode untuk mengevaluasi level kompetensi, dari mulai yang bersifat sederhana dan praktis hingga yang kompleks. Metode yang praktis adalah meminta atasan, rekan kerja dan mungkin juga bawahan untuk menilai level kompetensi karyawan tertentu, dengan menggunakan semacam kuesioner kompetensi. Kuesioner ini didesain dengan mengacu pada direktori kompetensi serta indikator perilaku per kompetensi yang telah disusun pada fase sebelumnya.

Metode lain yang lebih kompleks adalah dengan menggunakan teknik yang disebut sebagai competency assessment center. Dalam metode ini, karyawan diminta untuk melakukan bermacam-macam tugas seperti melakukan simulasi peran, memecahkan suatu kasus atau juga menyusun skala prioritas pekerjaan. Hasil kegiatan ini kemudian dievaluasi oleh para evaluator yang biasanya terdiri lebih dari satu orang. Meskipun obyektivitas dan validitasnya relatif tinggi, metode ini membutuhkan waktu yang cukup panjang (biasanya dua hari) dan biaya serta energi yang relatif besar.

Metode uji kompetensi lain yang kini juga banyak dilakukan adalah dengan menerapkan sertifikasi kompetensi yang dikeluarkan oleh suatu badan yang independen dan kredibel. Di Amerika Serikat misalnya, telah terdapat sertifikasi kompetensi untuk beragam profesi/posisi seperti untuk posisi marketing, HR, keuangan, engineering, dll. Dengan sertifikasi ini, maka seorang karyawan benar-benar telah teruji level kompetensinya.

Tahap berikut dari penerapan CBHRM adalah memanfaatkan hasil level asesmen kompetensi yang telah dilakukan untuk diaplikasikan pada setiap fungsi manajemen SDM, mulai dari fungsi rekrutmen, manajemen karir, pelatihan, hingga sistem remunerasi.

Memang, perjalanan penerapan metode CBHRM membutuhkan proses yang panjang nan berliku. Namun, manfaat yang akan diperoleh dari penerapan metode ini niscaya akan membuat sebuah perusahaan bisa makin melesat unggul dibanding para pesaingnya.

Communication Skill

Pelajaran Communication Skills dari Barack Obama
Yodhia Antariksa March,2008

Beberapa hari lalu, melalui layar CNN, saya menyaksikan debat calon presiden Amerika antara Hillary Clinton dengan Barack Obama. Dan selama hampir dua jam itu, saya terhenyak menyaksikan sebuah parade komunikasi yang amat menggairahkan, inspiratif dan sekaligus sarat dengan pertarungan gagasan nan mengesankan.

Dalam drama komunikasi itu, Barack Obama kiranya kian meneguhkan dirinya sebagai one of the most outstanding communicators on earth. Melalui aura kecerdasan dan keterampilannnya merajut kalimat, penampilan Barack Obama sungguh menawarkan sederet kisah pembelajaran yang amat kaya tentang apa itu manajemen komunikasi. Lalu, apa saja pelajaran tentang the art of communication yang disuguhkan oleh bekas anak Menteng ini? Mari kita nikmati bersama.

Sebelum mengeksplorasi elemen-elemen teknis tentang communication skills yang telah diperagakan oleh Obama, tampaknya ada dua karakter dasar yang sejauh ini amat membantu dirinya menjadi sang komunikator ulung.

Yang pertama adalah ini : Obama adalah seseorang dengan pribadi yang hangat, santun, dan selalu berpenampilan kalem. Ia nyaris tak pernah memperlihatkan sikap agresif dan menujukkan mimik muka yang terkesan “merendahkan” orang lain. Sebaliknya, ia selalu menawarkan aura kehangatan, rasa hormat pada mitra bicara, serta mampu menampilkan sosok yang tenang dan persuasif. Karakter semacam ini tak pelak, telah mampu menumbuhkan simpati orang lain bahkan sebelum ia mengeluarkan sepatah kata pun.

Yang kedua, well, Obama memang orang yang cerdas. Ia lulusan dari Harvard Law School dan bekas Pemred majalah mahasiswa prestisius di kampusnya itu. Dengan kata lain, Obama bukan komunikator asbun, atau hanya pandai beretorika layaknya penjual obat di pinggir jalanan. Obama pandai dan ia sangat menguasai tema-tema yang dibicarakannya. Dan oh ya, dua bukunya yang indah itu, The Audacity of Hope: Thoughts on Reclaiming the American Dream dan Dreams from My Father: A Story of Race and Inheritance dengan jelas juga menunjukkan kapasitas intelektual dia.

Kini kalau kita coba menelisik ketrampilan komunikasi Barack Obama secara lebih detil, maka setidaknya ada 5 elemen pelajaran yang bisa kita petik darinya. Lima elemen itu dalam manajemen komunikasi acap disebut sebagai 5 C : Complete, Concise, Consideration, Clarity, dan Courtesy.

Complete. Dalam debat menegangkan itu, Obama selalu mampu menyuguhkan gagasannya secara lengkap dan koheren; tidak parsial atau sepotong-potong. Elemen ini mengindikasikan bahwa kesempurnaan komunikasi yang kita bangun hanya bisa dicapai jika kita menyampaikannya dengan lengkap, dan tidak sepotong-potong. Mari kita ingat, berapa kali kita mengalami mis-komunikasi hanya gara-gara kita tidak menyampaikan informasi kepada rekan kerja atau kepada bos, dengan lengkap.

Concise. Ringkas dan padat. Tidak bertele-tele. Sadar bahwa efisiensi waktu amat penting, malam itu Obama selalu bisa menyampikan esensi gagasannya dengan ringkas namun padat. Audiens senang karena dengan demikian mereka mudah mencernanya, dan tidak bosan mendengar kalimat yang bertele-tele. Kita sama. Kita akan senang kalau mendengar orang lain menyampaikan gagasannya dengan ringkas dan jelas. Sayang, dimana-mana kita melihat orang acap melupakan elemen penting ini. Banyak orang bicara dengan boros, tidak efisien, mengulang-ulang, bertele-tele, dan membosankan lagi. Pliss deh…….

Consideration. Consideration means that you prepare every message with the recipient in mind and try to put yourself in his or her place. Dalam debat itu Obama tampil dengan sudah mengetahui apa yang ada dibenak rakyat Amerika. Apa yang mereka butuhkan, dan apa yang mereka dambakan. Ketika kita membangun komunikasi, kita mestinya juga melakukan hal serupa. Selalu berusaha memahami apa kebutuhan orang lain – dan bukan melulu minta dipahami. Selalu membangun empati pada apa yang dirasakan oleh mitra bicara kita dan mau mendengarkan isi hati orang lain.

Clarity. Obama mampu mendemonstrasikan elemen ini dengan amat memukau. Ia mampu memilin kata dan merajut kalimat dengan penuh presisi. Ia mampu mengartikulasikan gagasannya dengan jelas dan mengalir. Kita mungkin tak mesti harus seperti Obama. Namun alangkah eloknya, jika kita juga bisa mengekspresikan setiap jejak gagasan dan keinginan kita dengan penuh kejelasan. Dengan itu, sebuah relasi yang produktif mungkin bisa kita pahat dengan penuh keberhasilan.

Courtesy. Santun. Persuasif. Menumbuhkan respek. Elemen ini juga diperagakan dengan nyaris sempurna oleh Obama. Ia menawarkan gagasannya dengan santun dan elegan. Alunan kalimat yang membasahi bibirnya sungguh persuasif dan menumbuhkan respek. Kita kagum dan menaruh hormat dengan orang-orang yang seperti ini. Kita mungkin juga pernah menjumpainya. Inilah orang-orang yang selalu bisa berbicara dengan santun (tidak kasar), persuasif (tidak memaksa), dan menumbuhkan respek (dan bukan merendahkan).

Itulah pelajaran the art of communication a la Barack Obama. Bravo Obama. Viva for US President 2008.

Senin, 17 Maret 2008

POWER

by: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Kalau kita seolah merasa “jijik” atau “bergidik” melihat gejala “bullying”, alias senior menekan junior, baik di kantor maupun di dunia sekolahan, kita perlu melakukan “surfing” di dalam benak kita seputar pengalaman sehari-hari yang kita amati. Di dunia paling intelek , misalnya di dunia kedokteran senioritas profesi sangat diamalkan. Tentunya hal ini sangat dimengerti karena si junior memang harus “angkat topi” pada para senior yang sudah banyak makan asam garam dan perlu betul-betul di “benchmark”. Di dunia pendidikan, pembedaan antara seorang profesor dan junior juga jelas dan ini termasuk semua perlakuan dan perilaku sehari-hari, baik dari jatah mengajar sampai kepada kekuatan didengar di dalam rapat, misalnya.

Pertanyaan selanjutnya: “Apakah budaya senioritas ini perlu di ikuti dengan “power corrupt”, “power abuse” atau bahkan pelecehan, baik fisik maupun psikologis? Seorang awak kabin cantik maskapai penerbangan ‘luar’ yang terkenal dengan servisnya, mengatakan bahwa seorang junior mempunyai tugas menelpon seniornya yang berjumlah tidak kurang dari 30 orang ke kamar hotel satu persatu untuk mengajak kumpul pada jam makan. Saya pernah mengenal seorang dokter junior yang memilih hotel berbeda dari para seniornya untuk menghindari “suruhan-suruhan” para senior. Dalam suatu diskusi di pelatihan kepemimpinan, dulu sekali, peserta dari lembaga keuangan paling bergengsi di negeri kita mengeluh soal “abuse” yang dilancarkan para atasan. Baru-baru ini, anak buah dari peserta itu mengeluhkan sikap “bossy” tidak keruan dari peserta yang dulu pernah mengeluh itu.
Kita jadi berpikir, apakah “senioritas” yang diwariskan dalam suatu lembaga adalah satu-satunya “power” yang diperkenalkan dalam “drilling” dan “coaching” sosial disamping fisik (menguatkan otot perut). “Kamu junior, jadi kamu selama setahun tidak boleh pakai toilet”, demikian senior sekolah ternama dalam “drilling”-nya. Anak yang berstatus junior, selain was-was takut di-”hukum”, tidak bisa berkonsentrasi pada pelajaran, menahan kencing, juga berpikir: ”kapan aku jadi senior, ya?” Pada saat itulah semangat senioritas tumbuh secara “melenceng”.

Mengisi Power Memang Sangat Perlu!
Kita memang tidak bisa bertahan menjadi bangsa yang “letoy”. Kita memang perlu mendidik adik, anak, bawahan kita agar ber-“energi”, ber-“power”, kuat dan tegar. Di masa perploncoan jaman tahun 60-an, ada deraan-deraan baik mental dan fisik juga. Saat itu, para mahasiswa baru perlu mengumpulkan banyak sekali tandatangan, bahkan tandatangan para ketua panitia, pelaksana harian senat dan dewan mahasiswa harus didapatkan. Tuntutan untuk bertemu muka dengan para senior penting itu, bila kita tinjau lebih lanjut merupakan upaya networking paling singkat yang sangat berguna di kemudian hari. Saat sekarang di dunia bisnis kita sangat sadar bahwa kenal dengan pejabat ini, atau dengan pengusaha anu, bisa membuat kita tiba-tiba sangat ber-”power”, hanya karena ada akses.
Kita juga sangat sadar bahwa informasi sangat “powerful” di jaman digital seperti sekarang. Tidak sulit sebenarnya untuk memaksa para junior untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai dunia profesi maupun nonprofesi, sehingga ia dapat membuka wawasan dan mendapatkan ide bahwa mengumpulkan informasi itu asik. Tentunya, bawahan atau junior akan merasa lebih “powerful” lagi bila ia di-“reward” dengan semangat, dan “support” sehingga ia merasa lebih berisi.

Memberdayakan, bukan Menjadikan Tidak Berdaya
Tindakan mendera yang mengatasnamakan “drilling”, “coaching” hanya bisa efektif bila yang didera juga mempunyai motivasi untuk menjadi lebih baik. Bila yang didera merasa tidak berdaya, tidak mempunyai pilihan, tersiksa bahkan terancam, maka deraan yang sudah susah payah dilancarkan senior akan sia-sia belaka. Apa gunanya menghajar orang yang sudah berada di sudut dan tidak mampu melawan atau bahkan bergerak, tidak kuasa berkata apa-apa, bahkan tak sanggup melarikan diri?

Mainkan Power dalam Berbagai Bentuk
Kita semua memuji-muji cara bicara Bung Karno yang disebut sebagai orator ulung. Pertanyaannya, apakah kuatnya “Power of Talk” seperti itu tidak bisa dikembangkan oleh kita–kita ini? Di dalam suatu pelatihan, seorang peserta menanyakan bagaimana bisa membuat atasannya mendengar idenya. Ia mempunyai masalah bahwa atasannya, belum-belum sudah tidak mendengar. Sebetulnya pertanyaan itu bisa dijawab dengan pertanyaan lagi, “Apakah kita sudah mempelajari betul teknik bagaimana caranya supaya didengar?”. Ini cuma salah satu contoh dari kurang sadarnya kita bahwa “power” itu bisa kita simpan dan “main”-kan dalam berbagai bentuk.
Sekarang ini, organisasi semakin tidak hirarkis, orang-orang di lapangan diberi tanggung jawab dan wewenang lebih besar, sehingga keinginan untuk memegang “power” yang besar berdasar status dan pangkat sudah kuno. Tentunya seorang manajer yang ingin sukses selalu ingin membuat “impact”, berpengaruh dan kuat. Tetapi, mencari “power” tidak lagi identik dengan mendapatkan kemenangan atau berada “di atas”. Begitu juga mencari “power” juga bukan menebarnya (menebar kekuasaan di mana-mana). “Power” yang keren di masa sekarang lebih mengarah pada kemampuan komunikasi, persuasi, pengetahuan, pemecahan masalah dan kesuksesan.

PROFESIONAL

Profesional
by: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Seorang teman saya betah bekerja untuk sebuah perusahaan keluarga selama 20 tahun. Kita kenal bahwa perusahaan keluarga sering mempunyai kebijakan yang “ajaib” berdasarkan filosofi dan prinsip keluarga, atau bahkan lebih sulit lagi, berdasarkan mood-nya owner perusahaan. Ketika ditanya, apa yang bisa membuatnya bertahan di lingkungan “family business” begitu, dia menjawab santai: “Profesional aja...”. Saat digali lebih jauh, apa maksud istilah profesional, ia menjawab: ”Semua yang saya lakukan, baik pemecahan masalah, penilaian, pengambilan keputusan, tetap saya dasarkan pada kaidah profesi saya, kode etik, keahlian terkini, dan integritas yang kuat”.
Pertanyaan seputar definisi atau ukuran yang tepat dari “being professional” banyak sekali beredar. Di seminar - seminar, seringkali saya perlu bernafas dalam sebelum mendeskripsikan profesionalitas dengan tepat, karena sulitnya mencari dasar penilaian profesional atau tidak.

Mencetak Seorang ‘Pro’
Kita sama – sama tahu pendidikan di Indonesia berusaha mencetak para profesional semenjak D1, D2, D3, Sarjana, bahkan Sarjana Plus alias sarjana profesi. Sayangnya belum ada data berapa banyak lembaga yang menyadari bahwa profesionalitas itu juga menyangkut sikap dalam berpraktek, cara mengambil keputusan, cara berpraktek dalam kegiatan kerja sehari – hari, di samping ketrampilan standar. Pada beberapa profesi yang menyangkut keselamatan jiwa manusia langsung seperti kedokteran, kode etik profesi memang sangat rinci, sehingga kita mudah memisahkan antara dokter profesional dan tidak. Di lain pihak, bagaimana menentukan manajer, sekretaris, penyiar radio, yang profesional?

Bila kita diminta menyebutkan spesifikasi manajer yang profesional, kita bisa segera menyebutkan kemampuan menjalankan suatu proses, secara “compliant”, gesit dan tidak ragu – ragu, selain juga tahu bagaimana “fixing problem” bila terjadi kemacetan di dalamnya. Berarti, untuk menelurkan seorang profesional, seorang pendidik yang baik perlu menyempatkan diri untuk meng-”coach”, memoles “trik”, mengetes integritas, dan melatih keteguhan hati di samping mengembangkan ketrampilannya.

Ujian Profesionalitas
Bila kita menemukan situasi di mana profesionalitas di uji, rasa kagum pastilah akan tumbuh di benak kita. Katakanlah seorang sopir, yang trampil sekali mencari celah atau jalan tikus, hafal jalanan, tidak pernah lupa mengisi oli, senantiasa memakai seat belt, mesin mobilnya bersih, melakukan kir dan servis pada waktunya, dan tidak “kumaha juragan wae” bila berbantah tentang sesuatu berkenaan dengan mobil, rambu jalan, dan penyetiran.
Sikap profesional sopir ini tentu saja tidak cukup di dapat dari ketrampilan atau sertifikasi, dalam hal ini SIM-nya. Profesionalisme terasa betul diselimuti oleh sikap positif dan tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan secara benar dan beretika, memberi ‘nilai tambah’, berseni, menimbulkan kepuasan dan kenyamanan pada orang lain yang bekerja dengannya atau berada di sekitarnya. Hanya bila individu siap dan terlatih berbenturan dengan berbagai situasi sulit, tidak lari dari tantangan dan terbuka untuk belajar dan mengasah dirilah sikap bisa tertanam.

Memenangkan Kode Etik
Hal yang tidak ketinggalan penting dalam profesionalitas adalah apakah setiap individu bisa menjalankan profesinya dengan etis. Tahu apa yang tidak boleh dilakukan, walaupun dia bisa. Sebut saja contoh, seorang akuntan yang mengganti angka atau tanggal pemasukan data, seorang ahli hukum bernegosiasi dengan pengacara lawan untuk “memenangkan” pihak tertentu, seorang dokter “coba-coba” dalam mengobati pasien, seorang bankir melewatkan salah satu persyaratan “risk management” dalam pelepasan kredit. Profesionalitas itu semakin teruji justeru ketika individu mempunya otonomi di tempat kerja dan bebas melakukan keputusan dan gerak geriknya, atau bahkan ketika individu, tergoda, “diperintah” atau “dipaksa” keadaan untuk berbelok dari kaidah profesi yang benar.
Semangat korps profesi, rasanya bagaimanapun masih tetap tertanam dalam benak setiap professional, sehingga kita sering sedih kalau teman seprofesi kita tiba – tiba melakukan tindakan yang tidak profesional. Seorang dokter, misalnya, akan seolah patah hati bila mendengar bahwa temannya melakukan malpraktek. Demikian pula para arsitek, akan segera membicarakan teman yang salah desain atau men”charge” terlalu mahal, atau apapun yang sebetulnya di”rasa”kan menyalahi kode etik profesi. Dengan demikian, setiap pertimbangan untuk mengambil tindakan, memang perlu memenangkan kode etik, yang akan membangkitkan kebanggaan dari rasa profesionalisme.

Harga dari Profesional
Pertanyaan tentang apakah seorang individu pekerja “pantas dibayar” atau tidak, dapat kita “benchmark” dari para petenis, pebasket dan pemain bola. Dia akan disebut ‘pro’, bukan amatir, bila “ada harganya” dan dibayar karena kejagoan atau “showmanship”nya oleh komunitas bisnisnya. Seorang dokter bisa saja amatir, “underpaid”, sebaliknya juga bisa “worthpaying” atau “overprized”. Ini semua ditentukan oleh pelanggan, “employer”, komunitas profesinya sendiri dan masyarakat yang lebih luas. Rasanya ini berlaku bagi setiap profesi : perlu ada bukti nyata untuk membuat harga.

Langkah Kanan Memasuki Dunia Kerja

”LANGKAH KANAN” MEMASUKI DUNIA KERJA

by: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Dalam beberapa bulan terakhir, saya menyaksikan presentasi beberapa “Management Trainees” di beberapa perusahaan. Saya melihat ada trainees yang begitu cepat “masuk” dalam dunia kerja, langsung “berkeringat” dan tahu caranya menghadapi “dirty work”. Namun, ada juga yang ‘berat langkah’-nya, terlalu kaku membawa pengetahuan teoritis dari bangku kuliah. Ada pula yang mulai menganalisis tetapi belum benar-benar “berenang” di dunia kerja.
Banyak sekali perusahaan yang sadar perlunya berinvestasi besar untuk mendapatkan tenaga-tenaga yang mumpuni dari luar perusahaan. Namun, banyak perusahaan tidak mempersiapkan ‘landasan’ lewat “induction program” yang mantap, sehingga banyak karyawan baru merasa “dibiarkan”. ”Saya jenuh dan bingung karena sepanjang hari dalam seminggu cuma disuruh membaca katalog”. Atau komentar karyawan baru lainnya, ”Memang ada orientasi berupa pengarahan dari pucuk pimpinan perusahaan yang membuat kami bersemangat dan terinspirasi. Tetapi, ketika menghadapi pekerjaan, banyak sekali hal yang tidak saya ketahui. Walaupun bersikap ramah, semua orang sibuk, dan saya merasa takut mengganggu bila saya bertanya”.

Sebuah hasil penelitian terhadap fresh graduate beberapa perusahaan mulitnasional mengatakan bahwa hanya sekitar 20% dari para fresh graduate yang “dicemplungkan” tanpa bimbingan dapat bekerja dan berkinerja sesuai harapan perusahaan. Sejumlah 30% lainnya butuh waktu lebih lama untuk beradaptasi, sedang 50% sisanya akan jadi karyawan yang tidak berkinerja optimal, setidaknya satu tahun atau bahkan selamanya. Bayangkan kerugian yang diderita perusahaan bila ternyata para karyawan baru ini kemudian mencari peluang lain, hanya karena menemui jalan buntu dalam beradaptasi di pekerjaan. Segagal-gagalnya program orientasi, masih lebih baik program orientasi diadakan, daripada tidak sama sekali.

‘Ilmu’ yang Tidak Didapat di Bangku Kuliah
Saya teringat saat-saat pertama kali memasuki dunia kerja, bahkan langsung bekerja sebagai manajer di sebuah bank. Sistem dan prosedur, proses bisnis, etik, ‘unggah-ungguh’, efisiensi, cara berkomunikasi, sampai praktik-praktik yang tampak sederhana seperti “filing” , penomoran surat, standar kinerja, ternyata adalah hal “kantoran” yang benar-benar baru bagi saya. Rahasia budaya kerja seperti “jangan anda yang berjalan, biarkan dokumennya berjalan sendiri (dibawa office –boy)” atau pengamalan “clean desk policy” sulit dibayangkan dari bangku kuliah. Untung saja sekretaris, bawahan, teman kerja, atasan kebetulan rela mau memberi pengarahan.
Kalau memang demikian penting, mengapa banyak perusahaan menyepelekan “induction program” ini? Selain biaya dan enerji, ada juga perusahaan yang beranggapan bahwa beradaptasi adalah kompetensi setiap manusia normal, ”Ah, tidak ada yang membimbing saya ketika pertama masuk kerja, buktinya ‘survive-survive’ juga...” Atau, ”Kalau kita mesti memberi pendidikan juga, apa dong yang mereka pelajari di perguruan tinggi?” Padahal, inilah yang melatarbelakangi perlunya dilaksanakannya “induction program”. Perguruan tinggi mana yang mengajari bagaimana layaknya menyampaikan “copy” memo intern? Atau kapan kita perlu menyampaikan “blindcopy” saat mengemail dan kapan “copy”. Bagaimana seorang karyawan segera tahu trik-trik memuaskan rasa lapar diluar jam makan, sementara ia dilarang membawa makanan di meja kerjanya? Apa yang boleh saya fotokopi dan apa yang tidak boleh? Ternyata pengajaran yang seolah sederhana mengenai "How to" dan "Where to go" dalam menghadapi tugas bisa efektif untuk masa kerja selanjutnya dan membuat karyawan bisa lebih segera meng-‘enjoy’ pekerjaan dan lingkungan kerja barunya.

Kancah Menemukan ‘Selera’ Bekerja
Agar cepat dapat menjadi bagian dari perusahaan, mewakili bahkan mengambil keputusan demi kepentingan perusahaan, individu perlu tahu persis mengenai organisasi, sejarah, aspirasi, pelanggan, kebiasaan, dan apa yang diharapkan perusahaan dari dirinya. Karyawan baru perlu tahu betul apa yang dinamakan sukses atau gagal oleh perusahaan, do’s dan don’t’s, dan kapan bisa berkata “ya” atau “tidak”, beserta alasan yang tepat sesuai kebijakan perusahan. Tuntutan perusahaan, terutama di organisasi komersial yang selalu mengacu pada laba perusahaan melalui budaya tertentu, juga perlu dijadikan “mindset” yang mendasari perilaku para fresh graduate. Nilai-nilai sederhana seperti “Di sini berlaku quick response, tidak ada orang berjalan di tangga...semua orang lari” “Pelanggan harus keluar dari kantor kita dengan tersenyum”, akan berpengaruh pada etos kerja individu dan akan dibawa pada perilaku bekerjanya di masa mendatang.
Hal seperti kegiatan administratif dan operasional sangat mudah dinilai dan dipahami, tetapi tidak mudah dilakukan dengan cermat, tepat dan konsisten. Seorang fresh graduate, perlu mencapai taraf “penghayatan” kerja untuk bisa dilepas bekerja sendiri. Individu juga perlu diperkenalkan dengan beban kerja, baik yang normal maupun yang berat. Teman saya, seorang direktur pengembangan SDM di sebuah perusahaan, selalu mengingatkan para “management trainee”-nya, ”Anda akan saya bebani pekerjaan yang paling berat dan kotor. Bila Anda melewati masa ini, maka pekerjaan akan terasa mudah karena Anda sudah menemukan ”selera” bekerja untuk seterusnya”.

Peran Aktif Dua Belah Pihak
Dalam dunia kerja yang kompetitif ini, individu yang akan memasuki dunia kerja, tetap perlu sadar bahwa ia harus mengerjakan pe-ernya dengan cepat dan tangguh. Tidak sekedar menunggu untuk dibimbing atau diarahkan. Ia perlu cepat menyerap dasar-dasar manajemen kerja yang ditunjang oleh manajemen dirinya sendiri, komunikasi formal & informal, etik dan cara bekerja tim. Individu perlu mengembangkan kebiasaan mengatur hidupnya dengan agenda, melakukan tindak lanjut tanpa ditagih, melapor tanpa merasakan keharusan, berpartisipasi aktif dalam rapat-rapat, dan banyak ketrampilan kantoran lain. Selain itu masih ada ketrampilan dasar lain seperti mengembangkan rasa percaya, membina hubungan pertemanan, dan penajaman “common sense” serta sistematika berpikirnya. Proses integrasi antara individu dan perusahaan ini perlu dimotori oleh kedua belah pihak secara aktif, sebagaimana halnya dua orang yang menjalin ikatan perkawinan.

Selasa, 04 Maret 2008

UU RI No.23 Thn 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2004

TENTANG

PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang

:

a.bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafat Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945;
b.bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus;
c.bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan;
d.bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga;
e.bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;

Mengingat:
Pasal 21, Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J dan Pasal 29 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
2. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, memindahkan pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
3. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman dalam lingkup rumah tangga.
4. Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga, sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik secara sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
5. Perlindungan Sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
6. Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban.
7. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan.



Pasal 2
(1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi :
a. suami, isteri, dan anak;
b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinann, pesusunan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan atau
c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

BAB II

ASAS DAN TUJUAN

Pasal 3

Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asa :

a. Penhormatan hak asasi manusia;
b keadilan dan kesetaraan gender;
c. nondiskriminasi; dan
d. perlindungan korban.

Pasal 4

Penghapusan Kekerasan dalam rumah tangga bertujuan :

a. mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
b. nelindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
c. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
d. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

BAB III

LARANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Pasal 5

Setiap orang dilarang kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lingkup rumah tangganya dengan cara :

a. kekerasan fisik;
b. kekerasan psikis;
c. kekerasan seksual; atau
d. penelantaran rumah tangga.

Pasal 6

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perubahan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Pasal 7

Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Pasal 8
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi :
a.pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang menetapkan dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b.pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertantu.

Pasal 9
(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atua pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

BAB IV

HAK-HAK KORBAN

Pasal 10

Korban berhak mendapatkan :
Korban berhak mendapatkan :
a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kerahasiaan korban;
c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. pelayanan bimbingan rohani.

BAB V

KEWAJIBAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT

Pasal 11

Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.

Pasal 12
(1) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, Pemerintah :
a. merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;
b. menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga.
. c. menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga, dan
d. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sesitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sesitif gender.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.
(3) Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 13

Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsinya dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya;
a. penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian;
b. penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani;
c. pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan dan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan
d. memberikan pewrlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga dan teman korban.

Pasal 14

Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing, dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya.

Pasal 15

Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk :

a. mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. memberikan perlindungan kepada korban;
c. memberikan pertolongan darurat; dan
d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

BAB VI

PERLINDUNGAN

Pasal 16
(1) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, Kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban.
(2) Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani.
(3) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagai mana dimaksud pada ayat (1), Kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.

Pasal 17

Dalam memberikan perlindungan sementara, Kepolisian dapat bekerja sana dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban.

Pasal 18

Kepolisian wajib memberikan keterangan pada korban tentang hak korban untuk pendapatan pelayanan dan pendampingan.

Pasal 19

Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Pasal 20

Kepolisian segera menyamaikan kepada korban tentang :

a. identitas petugas untuk pengenalan kepada korban
b. kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan; dan
c. kewajiban kepolisian untuk melindungi korban.

Pasal 21
(1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus :
a memberikan kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya;
b. membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.
(2) pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.

Pasal 22
(1) Dalam memberikan pelayanan, pekerjaan sosial harus:
a. melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban;
b. memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan menetapkan perintah dari pengadilan;
c. mengantarkan korban kerumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan
d. melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban.
(2) Pelayanan pekerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.

Pasal 23
Dalam memberikan pelayanan, relawan pendamping dapat :
a. menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping;
b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntunan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan pembimbing korban untuk secara obyektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya;
c. mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman didampingi oleh pendamping; dan
d. memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.

Pasal 24

Dalam memberikan pelayanan, pembimbing rohani harus memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban.

Pasal 25
Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib :
a. memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan;
b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntuan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau
c. melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.

Pasal 26
(1) Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik ditempat korban berada maupun ditempat kejadian perkara.
(2) Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tyempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.

Pasal 27

Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orantg tua, wali, pengasuh atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 28

Ketua pengadilan dalam tenggung waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi pewrintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut.

Pasal 29

Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh :

a. korban atau keluarga korban;
a. teman korban;
b. kepolisian;
c. relawan pendamping; atau
d. pembimbing rohani.

Pasal 30

Pasal 30
(1) Permohonan perintah perlindungan disampaikan daqlam bentuk lisan atau tulisan.
(2) Dalam hal permohonan diajukan secara lisan, panitera pengadilan negeri setempat wajib mencatat permohonan tersebut.
(3) Dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan
(4) Dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban.

Pasal 31
(1) Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan untuk:
a. menetapkan suatu kondisi khusus;
b. mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlindungan.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan bersama-sama dengan proses pengajuan perkara dalam rumah tangga.

Pasal 32
(1) Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Perintah perlindungan dapat di perpanjang atas penetapan pengadilan
(3) Permohonan perpanjangan Perintah Perlindungan diajukan 7 (tujuh) hari sebelum berakhir masa berlakunya.

Pasal 33
(1) Pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan perintah perlindungan.
(2) Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.

Pasal 34
(1) Berdasarkan pertimbangkan nahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan kondisi dalam perintah perlindungan
(2) Dalam pemberian tambahan kondisi dalam perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.

Pasal 35
(1) Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas.
(2) Penangkapan dan penahan sebagaimana di maksud pada ayat (1) wajib diberikan surat perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 x 24 (satu kali dua puluh empat ) jam.
(3) Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2)

Pasal 36
(1) Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah perlindungan.
(2) Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilanjutkan dengan penahanan yang disertai sutat perintah penahanan dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh emapt ) jam.

Pasal 37
(1) Korban, kepolisian atau relawan pendamping dapat mengajukan laporan secara tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan.
(2) Dalam hal pengadilan mendapatkan laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3 x 24 ( tiga kali dua puluh empat) jam guna dilakukan pemeriksaan.
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pengadilan di tempat pelaku pernah tinggal bersama korban pada waktu pelanggaran diduga terjadi.

Pasal 38
(1) Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah perlindungan dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka Pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan.
(2) Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30 hari.
(3) Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan surat perintah penahanan.

BAB VII

PEMULIHAN KORBAN

Pasal 39

Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari :

a. tenaga kesehatan;
b. pekerja sosial;
c. relawan penda,ping; dan/atau
d. pembimbing rohani.

Pasal 40
(1) Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya
(2) Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.

Pasal 41

Pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani wajib memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling untuk menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi korban.

Pasal 42

Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja sama.

Pasal 43

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya pemulihan dan kerja sama diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII

KETENTUAN PIDANA

Pasal 44
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah)
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapatkan jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan panyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencarian atau kegiatan sehari-hari, dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau dendan paling banyak Rp. 45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah)
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencarian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta) rupiah.

Pasal 45
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 9.000.000,- (sembilan juta rupiah )
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimna dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah).

Pasal 46

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas ) tahun atau denda paling banyak Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 47

Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah.).

Pasal 48

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kewajiban sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

Pasal 49

Dipidana dengan pidana paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah), setiap orang yang :
a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).

Pasal 50

Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa :
a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjatuhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
b. penetapan pelaku mengikuti program konseling dibawah pengawasan lembaga tertentu.

Pasal 51

Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan.

Pasal 52

Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan.

Pasal 53

Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan.

BAB IX

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 54

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

Pasal 55

Sebaga salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.


BAB X

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 56
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penetapannya dalam Lambaran Republik Indonesia.




Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 September 2004

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 September 2004

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd


BAMBANG KESOWO


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOM

Masalah......, Siapa Takut ?

Masalah..., Siapa takut?

by: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Dengan berlimpahnya informasi dan akses ke berbagai media, mata kita betul-betul jadi semakin terbuka lebar terhadap adanya berbagai masalah. Kita semakin menyadari bahwa tiada hari di mana kita terbebaskan dari ‘masalah’, baik yang baru mencuat atau ‘cerita lama’ yang tidak kunjung terselesaikan. Mulai dari masalah politik, sosial, budaya, ekonomi, juga hankam. Mulai dari yang ringan sampai yang pelik. Mulai dari yang ‘lokal’ seperti pembangunan jalur busway, angin puting beliung, konglomerasi, monopoli, lumpur lapindo, sampai yang ‘global’, seperti melonjaknya harga minyak, politik dunia, juga perubahan cuaca akibat pemanasan global. Akibatnya, masyarakat kita kini semakin waspada dan sadar tentang transparansi, juga semakin mendesak menyuarakan urgensi terhadap penyelesaian berbagai masalah yang ada.
Komentar di milis, blog, koran bermunculan, bahkan demo. Apakah kita lihat masalahnya selesai? Tidak juga. Sebaliknya, bila kita sejenak “masuk kedalam sepatu” dan berempati pada para pejabat dan pengambil keputusan, kita juga sebenarnya akan mengerti betapa ribetnya situasi karena banyaknya masalah yang bermunculan, terbengkalai, terlupakan, disembunyikan atau sengaja terabaikan sehingga tiba-tiba ‘meledak’, tidak tergarap, tercatat, atau terkontrol.

Jangan Menutup Mata akan Adanya Masalah
Memang ada masalah yang sudah bisa diantisipasi, seperti banjir yang merendam jalan tol menuju bandara sebagai akibat upaya reklamasi yang tidak bertanggung jawab, namun banyak sekali situasi di mana para eksekutif dan pejabat dihadapkan pada situasi yang bukan saja tidak teramalkan, tetapi juga sangat dinamis. Meledaknya konsumerisme, urbanisasi, merendahnya martabat, turunnya mutu pendidikan, adalah sebagian contoh dari hal-hal yang tidak teramalkan secara normal, tidak dapat dianalisa melalui rumus-rumus yang sudah ada, apalagi di kendalikan. Hal yang sebenarnya di atas kertas bisa diramal, seperti korelasi antara jumlah kursi di seluruh perguruan tinggi dengan penyediaan tenaga kerja profesional, pada kenyataannya, sulit diterangkan dengan analisa biasa. Rasanya tidak “fair” bila kita beranggapan bahwa hal ini hanya dialami di negeri kita. Beragam masalah ”ill-defined” (tidak terumuskan dengan peta yang matematis), ambiguous, novel atau baru, yang kita tengah hadapi, pun dihadapi oleh beberapa eksekutif, pejabat dan pembuat keputusan di tempat dan negara lain.

Tantangan kita, yang bisa kita kerjakan sekarang sesungguhnya adalah peningkatan kesadaran tentang adanya masalah. Bila masalah belum selesai, ini akan tetap menjadi pe-er dari tim atau eksekutif yang bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. Sayangnya, masalah sering dilihat oleh berbagai pihak di dalam organisasi sebagai sesuatu yang perlu dijauhi. ”Nanti kalau saya buka mulut, dianggap ‘rese’ lagi”, atau ”Nanti kalau saya angkat masalah ini, saya disuruh menggambarkan secara detil, bahkan dibebani pekerjaan tambahan...” . Sikap seperti ini menyuburkan terkuburnya masalah, dihalalkannya ter-pending nya suatu keputusan, dan tidak tuntasnya implementasi dari suatu keputusan. Komunikasi mengenai identifikasi masalah yang masih “pending” dan keberadaan masalah baru rasanya masih bisa ditingkatkan di setiap instansi. Dengan demikian ”sense of urgency” dan akuntabilitas setiap anggota tim pun tetap terjaga. Andaikata saja setiap instansi di negara ini mempunyai kesadaran untuk bersikap “alert” begini, pasti sikap kita lebih percaya diri, gesit dan optimis.

Kita bisa mengambil perumpamaan dari lini produksi di Toyota. Toyota adalah perusahaan yang tidak takut salah, tetapi percaya bahwa masalah adalah kesempatan untuk berkembang. Dalam produksi, ada sistem di mana setiap karyawan boleh menarik ‘andon cord’, yaitu semacam alarm, untuk menandakan adanya masalah. Hanya dengan cara inilah setiap orang dalam tim meningkatkan “alertness” terhadap bahaya turunnya kualitas dan mengantisipasi munculnya masalah yang lebih besar lagi. Hal yang paling penting di sini, adalah bahwa setiap individu diajarkan untuk mengidentifikasikan masalah dan kemudian mengontrol penyelesaiannya.

Mengambil Tindakan dengan Belajar dari Pengalaman Masa Lalu
Banyak yang berkomentar, “Ke mana sih para ahli kita?”, ”Bukankah kita sudah ”benchmark” dari negara lain? Sarjana kita sudah belajar di luar negeri, melakukan studi banding ke negara lain?”. Memang, ada ungkapan ”easier said than done”, lebih mudah bicara daripada mengimplementasikannya. Namun, antara kemampuan analisa dan belajar tentang hal baru dengan tindakan mengimplementasikan solusinya adalah ’cerita’ lain.

Inteligensi praktis biasanya tidak didapatkan di bangku kuliah. Seseorang yang memiliki kemampuan praktislah yang bisa memanfaatkan sumberdaya yang ada, sehingga mendapatkan hasil yang optimal. Pertanyaan kita adalah, apakah kita menyadari bahwa pengambilan keputusan, pemecahan masalah juga memerlukan latihan dan praktek? Bisa saja kesalahan, pengalaman masalah-masalah serupa yang lalu, tidak diolah dan tidak dianggap sebagai ”cues” untuk menemukan pola pemecahan masalah yang akan datang. Singkatnya, kita mungkin sekali tidak ”belajar” dari masa lalu pengalaman sendiri, sehingga kapasitas untuk meramal, me –rabarasa, mengantisipasi, membuat taktik menjadi lebih tajam dan tepat tidak keluar dengan optimal. Sebagai akibat kita cenderung mengandalkan ”orang luar” , konsultan atau ahli yang belum tentu juga berpengalaman, dan menunda penyelesaian masalah yang menjadi tanggung jawab dan akuntabilitas kita sendiri.

Bergerak, Lakukan Sesuatu!
Tak jarang kita lihat digelar khusus forum-forum di media yang tujuannya untuk menyuarakan masalah, menampung masalah, mendengarkan masukan, namun ujung-ujungnya menjadi forum yang mencaci maki dan menyudutkan suatu pihak, sehingga segera saja juga forum itu pun menjadi forum bela diri, bahkan forum cuci tangan.
Memang, bila kita melihat masalah sebagai ’masalah’, segera saja tubuh kita berespons negatif dan menjadi lemah lunglai. Namun, bila kita optimis memandang masalah sebagai ’tantangan’, ’alarm’, maka segera saja tubuh kita menciptakan energi yang membuat langkah kita lebih ringan. Kita memang tidak bisa menutup mata bahwa pemecahan masalah itu sulit, tapi kita tidak boleh membiarkan diri kita tidak bergerak. Pilihan terbaik kita adalah mengambil tindakan, mengembangkan intuisi, penginderaan, berlatih dan senantiasa bergerak. Ingat-ingat saja kalimat ini: Jika tidak dimulai, tidak akan pernah tercapai/terselesaikan. Jika bukan sekarang, kapan? Jika bukan di sini, di mana? Jika bukan Anda, siapa lagi?

It's a Wonderful Life

It’s a Wonderful Life

by: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Teman saya pernah mengajarkan, “Bila menghadapi kehilangan, kematian dan suasana duka, ucapkanlah ‘Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun’. Sebaliknya, bila takjub dengan keajaiban dan keindahan alam, menghadapi situasi dan pengalaman yang menyenangkan, ucapkan juga kalimat tersebut, yang berarti, “Segala yang berasal dari Allah yang Maha Kuasa, akan kembali kepada Allah”. Bagi saya kalimat ini sangat membantu di saat-saat sangat susah atau sangat senang, karena pada saat itulah kita seakan diingatkan kembali bahwa adik, kakak, anak, pasangan, rizki, keindahan alam, jabatan, karir, dan sehebat-hebatnya ikhtiar kita, adalah “pinjaman” dan “amanah”.

Meski sadar bahwa roda kehidupan memang harus berputar, namun begitu cepatnya dan semakin sulitnya kita memprediksi ‘future’ benar-benar bisa membuat kita panik, kehilangan pegangan. Kematian Benazir Bhutto, banjir yang melanda kota-kota yang biasanya tidak kenal banjir, air pasang yang menyebabkan bisnis pariwisata sekitar Kuta terpuruk, global warming, dan belum lagi ramalan-ramalan mengenai semakin ‘edan’-nya dunia di masa mendatang, benar benar membuat hati galau. Bagi saya, kata ‘change’ yang dikumandangkan para ahli manajemen dan futuris mulai terdengar basi. Baru saja merencanakan “action” perubahan, lapangan dan pasar seakan belut, licin dan sudah berubah lagi. Tak bisa menghindar, kita memang sudah berhadapan dengan hal-hal tak terduga. Dalam situasi serba tak terprediksi, bahkan kekacauan yang mengerikan begini, bisakah dan bagaimanakah kita bisa bersikap positif pada dunia kehidupan kita?

Be “Present”
Kata ‘Present’, berarti ’hadiah’ dan juga berarti ’saat ini’. Seorang ahli time management, mengatakan bahwa ‘being present’ (keberadaan kita saat ini) adalah ‘present’ (hadiah) terbesar dalam hidup kita. ‘Being present’ berarti realistis dan sadar apa yang ada dihadapan kita, menghargai dan memanfaatkan semua ‘resources’ yang kita miliki. Being present atau ‘Live your Life’, adalah nasihat Richard Branson, pemilik Virgin Group pada putra-putrinya ketika ia tengah menghadapi maut, agar mereka menghayati betul kehidupan yang tengah dilalui sekarang, tidak menyesali masa lalu dan tidak kuatir akan masa depan. Tidak pelak lagi inilah pilihan sikap yang paling sehat dalam menghadapi hidup ini.
Memilih sikap ‘being present’ memang mudah dikatakan, tetapi tidak mudah dilakukan. Berapa sering pikiran kita melayang dan tidak “konsen” bila sedang rapat, mengikuti pelatihan, menghadapi klien, bahkan menghadapi anak sendiri? Kita sangat sadar bahwa orang yang paling penting adalah orang di hadapan kita, tetapi berapa sering kita menerima panggilan telpon genggam ketika menghadapi orang secara tatap muka? Rasanya kita memang masih bisa lebih menghargai momen-momen yang sebenarnya sudah diberikan kepada kita dan lebih memanfaatkan sebaik-baiknya .

Kita Dibutuhkan oleh Orang Lain
Teman saya yang bermukim di Inggris, tiba-tiba mencari pekerjaan di Indonesia. Ketika saya tanyakan alasannya, ia berkata bahwa ia menemani ibunya, yang semakin meningkat percepatan “layu”-nya sepeninggal ayahnya. Keluarga, teman yang bahkan sudah lebih dekat daripada anggota keluarga, kolega yang sudah bersusah-senang bersama kita, adalah “kekuatan” bahkan “mistik” tersendiri yang membuat kita bisa menikmati hidup dan menjadikan kita bisa lebih kokoh berdiri menghadapi kekacauan, badai, serta cobaan.
Kita sebenarnya bisa menghitung betapa beruntungnya kita bila masih ada teman, kakak, adik, suami, istri, anak, atau tetangga yang bisa kita ajak merapatkan barisan atau bahkan “holding hands” di kala gundah. Sebaliknya, kesadaran bahwa kita bisa memberi support mental kepada anggota keluarga lain, saudara, teman, tetangga, akan membuat kita mendapatkan kekuatan dan semangat menolong dobel karena keyakinan bahwa kita dibutuhkan.

Niat Baik adalah Pondasi
Dalam suatu pertemuan, saya mengajak para peserta yang hadir untuk mengungkapkan misi dan niat utama dalam bekerja dan dalam hidupnya. Saya cukup terkejut, karena ternyata sangat sedikit yang bisa dengan lantang menyebutkan niatnya. Entah karena malu, jarang melakukan introspeksi diri atau sekedar tidak ingin terbuka. Yang jelas, bila niat kita tidak terbaca, tidak jelas atau tidak dimengerti, maka gerak dan langkah kita pasti juga tidak jelas dan mengambang.
Niat seperti, ”Saya ingin belajar terus sampai usia 70 tahun”,”Saya ingin anak buah saya sukses”, ”Saya ingin jadi orangtua yang baik, ketimbang jadi profesional yang sukses”, atau ”Saya ingin berwirausaha bila tabungan saya cukup”, sebenarnya tidak perlu disembunyikan atau ditutup-tutupi. Asalkan niat kita lantang, lurus, bersih dan tidak diwarnai dengan “vested interest”, maka biasanya kita akan punya pengikut, mendapatkan kawan seperjuangan, bahkan bisa melihat persamaan arah dengan orang lain, perusahaan, bahkan Negara. Niat yang baik dan kuat bisa menjadi pondasi kita agar tetap berdiri bagai batu karang dalam hempasan ombak. Apalagi kalau kita betul-betul berniat untuk mencerdaskan, membersihkan dan membela lingkungan, apalagi bangsa.

Jatuh, bangun, terpuruk, sukses akan selalu kita alami sepanjang perjalanan hidup kita. Tapi, masih ingatkah Anda film getir “Life is Beautiful” (La vita รจ bella) karya sutradara dan aktor kondang Roberto Benigni? Kalau dalam keadaan terjepit, hampir terbunuh begitu, ia masih bisa melihat indahnya kehidupan, kita pun pastinya bisa menghadapi kompleksitas situasi dunia kita dengan sikap yang lebih optimis dan menghayati betapa berharganya hidup ini.

“Just open your eyes. And see that life is beautiful.”(Roberto Benigni)

ETIKA BISNIS

Etika Bisnis

by: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Sebuah diskusi seru terjadi saat kami membicarakan perlunya karyawan menampilkan ’professional honesty’. Dalam bisnis di mana semua orang punya tujuan yang sama, yaitu laba dan ada kelaziman untuk menghalalkan berbagai cara demi laba, kami mendiskusikan, bisakah perusahaan menggariskan dan menegakkan ’professional honesty’ dengan tegas? Sejauh manakah individu dapat mengatakan hal yang sebenarnya, tanpa takut dipecat atau tidak mendapatkan proyek? Bila seorang salesman ditanya oleh kliennya, apakah ia bisa menjamin bahwa barang akan terpasang dalam 1 bulan, haruskah ia mengatakan bahwa ia ragu? Bagaimana menyatakan “tidak” untuk proyek yang menggiurkan namun berpotensi untuk melakukan hal yang merugikan masyarakat luas, lingkungan , bahkan negara? Kita lihat bahwa praktik menjunjung tinggi etika memang berat, apalagi untuk orang atau organisasi yang tidak meyakininya.
Kita sadari bahwa standar tinggi dalam panduan perilaku organisasi atau profesi sering jadi sulit diyakini dan dianggap tidak memadai karena seseorang hanya bisa dianggap menjunjung tinggi etika profesi kalau ia berlaku konsisten setiap saat. Buat seorang profesional yang bekerja sendirian, seperti dokter, ahli hukum, psikolog, insinyur, dan arsitek, menjaga etika memang sedikit lebih mudah, karena “Do‘s” dan “Don’ts” yang sudah digariskan sudah berbentuk perilaku yang dihalalkan dan tidak. Saat menghadapi situasi ‘abu-abu’, seorang professional juga lebih mudah bisa mengira-ngira, apakah tindakannya professional atau tidak, dengan bertanya pada diri sendiri: “Apa yang akan terjadi bila semua orang dengan profesi yang sama seperti saya melakukan hal ini?” Dengan demikian, “rem” untuk melakukan hal yang tidak terpuji dan melanggar hak asazi manusia lain akan dengan sendirinya terpelihara.

Bagaimana dengan kita yang bergerak di dunia bisnis dan organisasi? Apakah mungkin kita menegakkan etika bisnis, di mana kita semua tahu bahwa semua orang mengejar tujuan yang sama yaitu laba. Kita tahu bahwa pekerjaan pebisnis sulit dikatakan sebagai profesi dan seringkali tidak memerlukan lisensi. Bila hari ini kita mau menjadi agen koran, maka kita tinggal mencari sedikit modal dan mengumpulkan beberapa calon loper dan menjajakannya, maka kita sudah jadi pebisnis. Begitu juga, kalau kita mau berdagang apa saja. Apakah kita mau mengambil untung yang pas-pasan atau mengambil untung banyak dan mencari pasar yang tidak kenal barang, itu semua pilihan. Kalau bisnis tidak berlanjut dan kita bankrut, tak ada orang yang mengevaluasi apakah binis itu dijalankan menurut etika atau tidak. Bila demikian halnya, seberapa pentingnya urgensi kita menegakkan bisnis yang beretika?

Nikmatnya Menjaga Etika
Pada suatu hari saya bertemu dengan kenalan saya, seorang mantan konglomerat yang masih “bermasalah” dengan utang BLBI. Terlepas bahwa teman kita ini masih “berduit”, bahkan masih mengembangkan usaha yang tidak kecil, tergambar kesuraman pada raut wajahnya. Tampak jelas bahwa Bapak ini tidak “happy”, mungkin karena tidak bisa mengangkat muka dengan tegar. Dari sini kita membuktikan bahwa bersikap etis itu membawa makna, rasa ”nyaman” dan kebahagiaan dalam kehidupan, dan sebaliknya, sikap tidak etis yang pernah dilakukan akan menimbun beban dalam diri seseorang.
Di sisi lain, kita sama sama sadar bahwa bila dalam berbisnis kita ingin menjunjung tinggi etika maka kita bisa jadi sulit berkompetisi. Banyak sekali orang yang menjadi ”pemain besar” dengan berkiprah di area praktik ”legal tetapi tidak etis”, misalnya saja “memotong” kompetitor, menjelekkan kompetitor, atau berusaha memperoleh keterangan yang sebenarnya adalah data yang rahasia. Orang- orang ini tentunya memang jagoan dalam memenangkan bisnis, tetapi jelas sulit untuk menepuk dada dan menyatakan “Saya dan perusahaan kami menjunjung tinggi etika”.
Kita mengenal betapa banyak pebisnis yang mempunyai “kekuatan” melakukan praktek – praktek yang secara legal sulit dibuktikan kesalahannya, tetapi mematikan pedagang kecil, merugikan negara, dan jelas tidak “fair”. Namun sebaliknya tidak jarang juga saya mengenal secara pribadi beberapa pebisnis, skala kakap ataupun teri, yang bisa dikatakan tetap menjunjung tinggi etika. Bahkan tanpa pendidikan formal yang hebat, teman – teman pebisnis ini merasa “malu” bila tidak menepati janji, berhutang ataupun membangga-banggakan kehebatannya. Jadi ada juga kalangan pebisnis yang entah darimana belajarnya, sudah menjunjung tinggi harga dirinya dan berusaha untuk percaya, dipercaya, berkooperasi, tidak oportunistis, dan mati-matian menjaga “nama baik” dirinya dan perusahaan”. “Nama kan tidak bisa diganti. Sekali rusak, seumur hidup kita tidak dipercaya.”, demikian ujar teman saya seorang pebisnis.

Integritas sebagai Fitur Bisnis
Menciptakan perusahaan yang memanfaatkan etika bisnis sebagai aset dan daya tarik perusahaan tentunya tidak gampang dan jarang terjadi. Di tengah gaya kompetisi “red ocean” yang nyata-nyata membuat para kompetitor saling tiru, saling membunuh, banting harga sehingga berdarah-darah, CEO Mandiri, Agus Martowardoyo menekankan “values” sebagai prioritas perusahaan dan meyakini bahwa “value-creating strategy” adalah strategi yang menyebabkan perusahaan tidak bisa di “copy” oleh pihak lain. Dengan menekankan perilaku berbasis etika ini, perusahaan bisa men-”deliver” servis dengan cara yang lebih tulus, jujur dan tepercaya. Selain itu tempat kerja yang semakin “fun” dan “bersih” juga “menjual”, karena orang senang berbisnis dengan orang-orang bersih.
Dengan meyakini dan berbekal ke-”pede”-an, kerja keras, ”play by the rule” serta kesungguhan hati untuk berbisnis secara etis, maka setiap individu di perusahaan akan tertantang untuk mencari solusi kreatif dan berinovasi agar tetap kompetitif di pasaran. Bukankah hanya kreasi dan inovasi membuat semangat kita tetap hidup dan bugar?

NO '" No Way Out "

No ‘No Way Out’

by: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Sekarang, jalur pantura tidak hanya macet pada saat mudik lebaran saja. Tanggal 17 Februari 2008, Kompas mencatat kemacetan lalu lintas sepanjang 34 km di jalur pantura, di mana kendaraan hanya bergerak 1 – 5 meter setiap 15 – 30 menitnya. Di halaman lain, digambarkan betapa sopir dan kenek sabar menunggu dan saling berbagi pisang goreng untuk mengisi waktu. Dari pemberitaan media, kita melihat bahwa belum habis satu masalah dituntaskan dengan memuaskan, sudah datang lagi secara bertubi-tubi keterpurukan yang lainnya. Mulai dari korupsi yang merugikan negara ratusan trilyun, banjir yang senantiasa menghantui warga Jakarta, pemakaian zat pengawet beracun dalam makanan, ujian negara yang semestinya tidak bermasalah tetapi menjadi masalah besar, dan banyak lagi hal lainnya. Dalam hati saya berkomentar, “Memang ‘nggak ada mati’-nya Bangsa Indonesia ini.” Mungkinkah bangsa kita akhirnya ditumbuhi sikap frustrasi menghadapi ‘pukulan’ yang tak kunjung berhenti ini?
Hal yang paling berbahaya, saat kita menghadapi keterpurukan yang bertubi-tubi adalah bahwa kita, baik para intelek maupun invidu yang biasa-biasa saja, kemudian memaknai dan melihat bahwa kesalahan, keterpurukan dan kondisi alam, ekonomi dan cuaca yang tidak menguntungkan ini sebagai situasi yang ‘no way out’; tak ada jalan keluarnya. Bila sense ‘no way out’ bertumpuk, menimbulkan frustrasi dan mulai menjadi sikap mental, maka segera saja diri kita bisa mensahkan rasa ‘tidak berdaya’ dalam menghadapi berbagai situasi yang tidak menguntungkan. Ini bisa tercermin dari malasnya individu mencari solusi, pasif, pasrah, nrimo, dan tidak mau repot-repot berupaya. Bahayanya, Dr. Martin Seligman, seorang psikolog, mengatakan bahwa rasa helpless (ketidakberdayaan) ini, terbukti dipelajari. Artinya, kita mengkondisikan diri dan belajar untuk tidak mau repot-repot berusaha. Fatalnya lagi, kita bisa menurunkan ‘ketidakberdayaan’ ini pada generasi mendatang. Atau, dalam kata lain, generasi mendatang bisa belajar untuk menjadi ‘letoy’ dan tidak bertindak.

Tumbuhkan Tanggung Jawab Diri Sendiri
“Ya, mau bagaimana, peraturannya sudah begitu.”, “Seharusnya pemerintah-lah yang…”, Yaaah, kita kan hanya orang kecil…”. Komentar – komentar yang menyiratkan bahwa otoritas tidak ada di tangan diri sendiri, terasa semakin mendukung dan semakin men-sah-kan ketidakberdayaan individu. Kita bisa rasakan bahwa masih banyak di antara kita yang beranggapan bahwa jalan keluar, kendali, tanggung jawab atau kekuatan tidak berada di tangannya tapi di tangan pihak lain. Semakin hasil akhir tidak berada di tangan individu, semakin sikap mental ini tumbuh dengan subur dibenak masing masing individu. Semakin besar harapan individu akan munculnya pihak lain, ‘pahlawan’, atau ‘penyelamat’, seperti manajemen perusahaan ataupun pejabat pemerintah yang akan membenahi keadaan, semakin besar juga rasa ‘ketidakberdayaan’ individu untuk mencari solusi; tidak hanya untuk permasalahan yang ‘besar’, kompleks dan menyeluruh, namun justru juga masalah yang sebenarnya sangat bisa digarap individu di depan matanya. Kondisi seperti ini tentulah merupakan kerugian perusahaan, bahkan kerugian bangsa, karena potensi dari masing masing individu sudah tidak bisa produktif lagi. Tidak ada kekuatan individual, yang ada hanya komunal.
Berpikir positif memang lebih enak diucapkan daripada menjalankannya. Namun demikian, bila kita benar benar khawatir bahwa kita akan tumbuh menjadi orang yang “letoy” dan tidak bertenaga melakukan perubahan, kita lebih baik menyusun niat untuk belajar. Daripada menunggu ‘penyelamat’, kita bisa dan perlu memikirkan bagaimana menggalang “power” di dalam diri sendiri dan menyadari “Apa yang kita bisa lakukan?”. Setidaknya, kita bisa lakukan pembenahan di sekitar lingkungan kita sendiri, seperti ungkapan popular dari A’a Gym, yaitu, ”3 M: mulai dari hal kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai dari sekarang”.

Sadari bahwa Kita Harus ‘Tumbuh’
Mantan atasan saya sering menekankan bahwa orang bisa ingat pada kekuatannya bila ia menanamkan dalam pikirannya bahwa ia dan lingkungan di sekitarnya harus “tumbuh”, setua apapun dia. Di setiap diri manusia memang ada naluri untuk tumbuh dan menjadi matang, tetapi naluri ini pun perlu disadari, dikembangkan, diperkuat dan tidak boleh dikekang baik oleh sistem, otoritas atau bahkan oleh diri sendiri. Kita memang bisa melihat diri kita sendiri seolah-olah ‘work on progress” yang sedang kita garap secara terus menerus.
Kenalan saya, seorang pengusaha coklat dan kacang mede, mengeluh betapa pemerintah daerah tempat ia berusaha, tidak mendukung usaha pertaniannya yang padat karya dengan kelancaran prosedur.”Bukannya saya minta fasilitas, tetapi saya hanya ingin tidak dihambat”. Namun ia tidak pernah putus asa. “Motivasi kita harus jernih, kuat dan jelas” demikian ungkapnya. Pengusaha yang masih muda ini sangat jelas menyusun “Do’s dan Don’t’s” di perkebunannya yang mencakup kehidupan sosial, finansial, tradisi dan manajemen di kalangan karyawannya, yang tanpa disadari menjadi “kekuatan” bisnisnya. Dengan tujuan yang jelas, menurut teman saya ini, daya tahan terhadap rasa sakit, kesulitan dan tekanan jadi lebih besar, bahkan kita mempunyai tambahan “power” untuk memecahkan masalah. Seperti yang sering diungkapkan para olahragawan “martial arts”: Know what to do; learn the skills; remove the blocks.

Temukan ‘Power’ Dahsyat dalam Diri Kita.
Kalau kita sedikit “Back to Basic” dan melihat betapa sebuah pohon secara “powerful” berkelit menghindari rintangan dan mencari jalannya sendiri untuk tumbuh, maka kita pun bisa menghilangkan semua kekuatan yang bisa kita sandari seperti kekuatan pemerintah, manajemen, orangtua, keluarga, guru, pasangan untuk menanggulangi kesulitan dan masalah yang kita hadapi di depan mata. Tidak akan ada pencerahan atau mujizat, yang ada adalah realita. Yang jelas, realitas yang nyata adalah adanya “power” dahsyat yang tersembunyi dalam diri kita.

JANJI SURGA

Janji Surga

by: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Kalau mengalami banyaknya janji yang tidak “bisa dipegang”, maka kita bisa jadi memandang kata “janji” sebagai hal yang negatif. Saat teman saya mengalami kesulitan dalam proses melahirkannya, atasannya menjanjikan bantuan dana dari manajemen. Namun, sampai bayinya berusia 5 bulan, bantuan tersebut tidak kunjung “keluar”. Ia lalu mulai menyindir-nyindir atasannya karena hanya mengucapkan “janji - janji surga”.
Bagaimana dengan pengusaha kondang dan terkenal bijaksana yang berjanji untuk menanam hutan bakau dan ketapang di lahan pengganti, setelah menutup lahan seluas 1.154,49 hektar, yang konon tadinya bisa menampung 16 juta meter kubik air sebelum masuk ke laut di lingkungan bandara Soekarno-Hatta? Tampaknya menagih janji di lingkungan kita sering tidak sekeras intensitas mengucapkannya. Penagih janji juga sudah frustrasi dan tidak yakin akan kesungguhan pengucap janji dan keberhasilan menagihnya. Seorang teman berkomentar pesimis:” apakah bangsa kita sedang berkembang menjadi bangsa yang bisa hidup bersama tanpa mengindahkan janji lagi?”
Saking banyaknya ‘janji surga’ yang kita dengar, kita bisa rasakan bahwa banyak dari kita meremehkan, mengolok-olok dan tidak menganggap penting saat mengucapkan atau mendengar ‘janji’. Lihatlah betapa kita sering ‘menganggap angin’ dan apatis terhadap janji-janji yang diucapkan saat seorang tokoh atau partai dalam berkampanye. Padahal ‘janji’ sangatlah penting. Janji adalah ‘kontrak’, tanpa landasan hukum. Kalau kita sama-sama membuang konsep dan kata “janji” dari khasanah perbendaharaan kata kita, maka kita akan kehilangan cara untuk membina kepercayaan satu sama lain di luar kontrak yang tertulis, berdasarkan hukum. Misalnya jam bertemu, proposal diserahkan, menolong teman dan masih banyak lagi hal yang sering kita kembangkan dengan dasar janji.

Bahayanya Bila Kita Tak Lagi Percaya ‘Janji’
Saat lulus sebagai sarjana, otomatis kita mengucapkan janji sebagai professional .Saat “diangkat” sebagai pejabat, kita pun mengucapkan janji jabatan untuk bersikap jujur dan etis sesuai kaidah – kaidah profesi dan jabatan yang dijalankan. Janji profesi bisa menyangkut harkat kemanusiaan secara langsung, seperti dokter dan psikolog, maupun tidak langsung, seperti insinyur, wartawan, pejabat, duta besar, pengacara, ahli lingkungan dan semua profesi lainnya. Kalau ‘janji’ atau sumpah profesi dan jabatan seperti ini kita sikapi dengan berolok – olok, maka tentunya kita juga tidak punya komitmen untuk berpegang teguh pada janji tersebut. Akibatnya, kita tidak saling mendorong teman – teman kita yang berusaha berpraktek secara benar. Tanpa menyadari bahayanya, hilanglah sudah arti janji profesi itu.
Kita sebagai orang tua juga selalu menanamkan keyakinan pada putra – putri kita: ”Mamah janji untuk bertindak adil”, “Papah janji untuk tidak meninggalkan kamu sendirian”. Janji yang sungguh – sungguh dan ditepati akan membangun rasa percaya. Rasa percaya anak pada orang tua, otoritas, akan menumbuhkan keberanian dan akhirnya kepercayaan pada kekuatan dirinya sendiri.

Janji: Esensi dari Eksekusi
Kita sama – sama menyadari bahwa dalam manajemen banyak sekali hal – hal penting yang sudah direncanakan, tidak terlaksana secara tepat waktu dan tidak sesuai dengan kualitas yang direncanakan. Banyak sekali penyebab dari tidak terlaksananya suatu rencana, misalnya bahwa si pelaksana tidak mem”buy – in” rencana tersebut atau tidak yakin, sehingga ia pun tidak terlibat secara emosional atau kurang adanya komunikasi antardepartemen sehingga koordinasi tidak mulus. Singkat kata, organisasi memang adalah sekumpulan rencana proyek, atau sejumlah garis dan kumpulan job description yang akan semakin tidak “bernyawa” bila tidak diwarnai jaring “janji & komitmen” yang dinamis.
Bukankah dalam setiap rapat mingguan, bulanan, kita mensahkan janji-janji kita dalam rencana “action” yang akan ditagih minggu atau bulan depannya? Organisasi dengan individu yang tidak kuat menepati janji pasti akan menjadi organisasi yang melempem, yang hanya pasrah dan tersenyum sinis bila sesuatu yang sudah dijanjikan tidak berjalan sesuai rencana.

”Manajemen Janji”
Dalam “speech act theory” yang ditegakkan di jaman Romawi, dikatakan bahwa bicara itu bukan “omdo” (baca: ‘omong doang’), karena dikatakan: orang tidak bisa komit bila tidak melakukan penegasan, pertanyaan, permintaan, deklarasi dan segala macam cara dalam “bicara”.
Janji yang bermutu, bisa membuat salesman mencapai target, seorang periset menepati deadline penelitiannya, dan seorang manager menyemangati anak buahnya. Bahkan pemahaman bersama tentang sasaran dan target perusahaan tidak mungkin tanpa janji setiap pihak untuk memenuhinya, melalui partisipasi dan kontribusinya. Justru dengan adanya manajemen janji yang baik, akuntabilitas individu terpacu. Janji juga memacu setiap individu dalam organisasi untuk menimbang – nimbang kekuatan dan situasi pekerjaannya, sehingga masih ada kesempatan menegosiasikannya dengan anggota tim lain agar sasaran bersama akhirnya tercapai. Ini jauh lebih baik daripada kalau individu bersikap “iya…iya, tetapi tidak” sehingga atasan juga perlu menagih – nagih “follow up”.

Mari “walk the talk”
Kalau kita tinjau:”talk “ apa yang sering tidak di-“walk” maka kita perlu menelaah apakah “bicara” kita sudah lengkap atau sekedar bunyi. Bicara untuk memancing komitmen memang perlu mengakomodasikan “a meeting of minds” dulu, saling pengertian, saling paham. Selain itu, “bicara” perlu realistis sehingga memang memungkinkan untuk diaplikasikan, baru kemudian kita bisa meminta anggota tim kita agar secara aktif berjanji untuk mengakomodasikan pencapaian sasaran.
Kita tahu bahwa janji yang diungkapkan di depan banyak orang biasanya memancing komitmen yang lebih besar, itu gunanya mengadakan rapat dalam merencanakan koordinasi. Selain itu, janji – janji juga perlu dibuat kuantitatif, bisa dihitung dan dibuktikan. Janji manajemen perlu menggambarkan “who will do, what for, whom, by when”. Dengan demikian seorang pemimpin bisa menganyam janji – janji bawahan sehingga menjadi manajemen yang dinamis, dan penuh komitmen. Menagihnya pun tidak sulit, karena janji diucapkan dengan kongkrit dan sudah diwarnai “buy in” individu sendiri.

Pemimpin Yang Sempurna

Pemimpin yang Sempurna

by: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Isu mengenai kepemimpinan selalu menarik. Baru-baru ini saya bertemu dengan seorang pimpinan perusahaan yang oleh teman-temannya disebut sebagai ”orang besar”. Beliau sangat berhasil, banyak teman, aktif dan ’terpandang’ di kalangan organisasi profesinya dan sangat pandai menggolkan proyek jutaan US dolar. Ketika beliau berkesempatan untuk meninjau kembali gaya kepemimpinannya dan membandingkan kekuatan dan kelemahan dengan koleganya, sesama pimpinan perusahaan tersebut, ada yang berkomentar, ”Bapak tuh rabun dekat, sementara teman Bapak rabun jauh”. Maksudnya, beliau sangat visioner, berpikiran jangka panjang, sementara koleganya lebih memperhatikan detil yang ada di depan mata. Lah, kalau para pemimpin di perusahaan itu ’rabun’ semua, kok perusahaan bisa sehebat itu?
Harapan terhadap seorang pemimpin ideal memang banyak sekali. Saking banyaknya sehingga bahkan bisa berbentuk mitos, karena hampir tak pernah kita lihat terealisasi. Ada pemimpin yang pada tahap awal kepemimpinannya memunculkan konsep-konsep baru dan cemerlang, tetapi selanjutnya tidak mampu mengontrol situasi. Ada pemimpin yang kita tahu sebagai “slow starter”, sehingga setelah lama menjabat terasa tetap tidak melakukan “perbedaan” atau perbaikan keadaan. Tampaknya memang jarang terealisasi ada pemimpin yang mendekati kriteria ”sempurna”; ”No one person could possibly stay on top of everything”.

Pemimpin juga Manusia
Kita tampaknya memang sudah perlu berganti ”mindset” dan realistis melihat bahwa kepemimpinan memang sulit. Adanya pemimpin akan memudahkan situasi, karena si pemimpin sekedar sedikit lebih pintar, bijak, dan ber-”power” untuk menemukan dan menggerakkan ”expertise” anak buah, menggambar dan menjual visi yang realistis, menggalang tim untuk menghasilkan ide dan solusi baru, serta menggerakkan teman – temannya agar menjalankan upaya menuju sasaran bersama dengan penuh komitmen.
Mau tidak mau, seorang pemimpin tidak bisa ”menggarap” semua hal dengan kongkrit. Di lain pihak, paling tidak ia bisa memberdayakan kekuatan, memanfaatkan dan mengembangkan sumberdaya yang ada di areanya. Pemimpin adalah manusia biasa yang tidak sempurna, tetapi dengan ”terpilihnya” ia sebagai pemimpin, ia perlu menjadi manusia yang paling tidak bisa mendobel kekuatan timnya berdasarkan semua kekuatan dan sumberdaya yang ada. Dalam keterbatasannya ia tetap perlu menjadi “the flawless person at the top who’s got it all figured out”.

Mengakali Kekurangan dengan Menajamkan ’Sensemaking’
Teman saya adalah seorang pebisnis sekaligus CEO yang ”penuh kekurangan”. Ia, menurut anak buahnya, ”hanya” mengurusi hal yang tidak penting seperti kebersihan toilet dan ”clean desk policy”. Namun kenyataannya, ia tidak tergantikan. Visi bisnisnya yang tidak mampu ia deskripsikan sendiri dengan kata-kata, sudah membuat perusahaan berkembang terus selama 30 tahun, tidak pernah usang bahkan berkembang secara drastis.
Teman saya ini sering mengatakan bahwa dirinya punya ”Indera ke enam”. Ungkapan yang dinyatakan secara bergurau itu sebenarnya, kalau dipikir-pikir sangat benar. Tepatnya, ia selalu bisa melihat apa yang orang lain tidak lihat. Ia adalah seorang yang ”super observant” dan punya ”radar” yang tajam dalam melihat peluang dan produk baru, serta melihat kesalahan operasional sehari-hari. Ketajaman ”sensing” ini disertai ”sensemaking” yang sangat kuat. Dengan cara inilah ia mencari kebenaran dan pemahaman tentang duduk perkara situasi sehari-hari secara simpel namun tajam, memahami konteks sekaligus inti permasalahan dengan tepat.
Teman kita ini memang tidak pernah kehilangan “kerendahan hati” untuk memahami situasi sekitar dengan kerajinannya mengajukan pertanyaan, walaupun ia sangat sibuk. Tetapi, bukankah kita sama - sama bisa membayangkan, betapa sulitnya pemimpin yang tidak mempunyai ”sense” tentang organisasinya, karena tidak berusaha mencari tahu, bahkan hanya menerima laporan, dalam mengambil keputusan atau membuat kebijakan? Bukankah pemahaman ini yang diperlukan seorang pemimpin untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi, perubahan budaya, lingkungan, kebijakan, politik dan globalisasi yang sekarang sulit ditebak?

Pentingnya Pemimpin Menjadi ’Konektor’
Konon, seluruh manajemen pemerintahan di Indonesia pun sekarang sudah berkomunikasi dengan ”blackberry”, benda kecil yang menjamin ”real time communication” berbentuk apa saja, gambar, data, berita atau video sekalipun. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa gejala komunikasi satu arah, tidak adanya keseimbangan antara ”memberi pengarahan” dan ”mendengar secara seksama”, masih mewarnai gaya kepemimpinan di sekitar kita. Bahkan, banyak kita dengar bahwa anggota tim sering seolah-olah rukun satu sama lain, tetapi tidak ”berbicara’ dalam proporsi sesuai yang dibutuhkan. Padahal kita sama-sama sadar bahwa gaya kepemimpinan yang tidak mengutamakan penggalangan spirit, optimisme, dan konsensus sudah tidak mempan di dunia yang sudah semakin kompleks dan membutuhkan keputusan yang tajam dan cepat ini.

Lee Iacocca, misalnya, menyatakan bahwa ketika mulai membenahi Chrysler, perusahaan tersebut bagai sekumpulan kerajaan kecil yang tidak berhubungan satu sama lain. Dan prioritas utamanya kemudian adalah mempersatukan tim. Seorang pemimpin justru butuh menyadari kesenjangan dan dengan cepat menghubungkan antara satu departemen dengan departemen lain, antara masa lalu, sekarang dan masa depan, serta antara ”concern” internal organisasi dengan pihak eksternal untuk memecahkan masalah , dan bahkan ”menemukan” solusi yang unik . Ia pun perlu berani pasang badan untuk menjadi konektor diantara koleganya, bukan saja dalam masalah rasional tetapi juga emosional. Kreativitaslah yang menyebabkan seorang pemimpin yang penuh kekurangan bisa ”survive”, baik dalam memecahkan masalah dan juga pada cara berhubungan dan menghubungkan orang di sekitarnya.
Kepekaan, kemampuan menjadi konektor, ”passion” dan kreativitas tidak membutuhkan pendidikan khusus, setiap pemimpin dapat berlatih dan meningkatkan kompetensi-kompetensi dasar ini asalkan ada keteguhan hati.