Minggu, 27 April 2008

BERBURU KEPUASAN KERJA

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri


“Take this job and love it ……”

Klien saya, sebuah perusahaan yang sangat sangat sukses. Dalam rangka pembuatan sistem penilaian karyanya, mereka menolak ketika kami anjurkan untuk mengukur kepuasan kerja karyawan. “Mereka sih nggak ada puasnya….” Begitu ungkap salah seorang direktur, “Nanti malah seperti membangunkan macan tidur. Seperti tidak tahu saja, tuntutan karyawan ‘kan tidak pernah ada habisnya. Bagai diberi hati minta jantung”

Apakah benar begitu? Apakah penghayatan kepuasan ini begitu relatif, bahkan demikian ’licin’ dan sulit dipegang? Seorang direktur, di perusahaan lain, menganjurkan koleganya yang membawahi HRD untuk memberi imbalan (baca: uang) yang lebih lagi untuk karyawan, yang mulai kelihatan tidak bersemangat. Ini bisa jadi jalan pintas yang kerap dianggap solusi paling jitu. “Bukankah yang dicari oleh kita semua berbuntut UUD (ujung ujungnya duit)?”

Dalam sebuah pertemuan dengan sekelompok salesman yang memendam banyak ketidakpuasan, salah seorang salesman berkata, ”Sebenarnya yang kita minta tidak muluk-muluk. Kita happy bekerja dan mengejar klien. Yang kami inginkan adalah kejelasan peraturan dan perlakuan yang nice dari garis belakang perusahaan”.

Bila kita amati baik-baik, situasi ini sangat berbeda dengan apa yang dibayangkan sang direktur, yang menduga bahwa manusia pekerja memang tidak ada puasnya. Kenyataannya, ’salesman’ sekalipun, yang biasanya terkenal perlu diberi pancingan imbalan, bisa merasa bahwa ada pekerjaan yang membuatnya bergairah dan ada faktor lain yang membuatnya tidak happy.

Banyak orang bertanya kepada saya secara pribadi, tentang bagaimana saya menjaga stamina kerja dan enerji. Jawabannya hanya satu: ”Enjoy” pekerjaan Anda. Dengan menikmati pekerjaan, waktu serasa berlalu begitu cepat, masalah akan terlihat sebagai kesempatan dan tantangan, energi yang digunakan terasa hemat, dan yang paling penting, kita happy. Bila kita menyukai pekerjaan, menghadiri rapat evaluasi yang berkepanjangan, mengikuti seminar selama seminggu, berdiri mengajar selama 8 jam pun tetap tidak menurunkan gairah dan semangat berprestasi.

Bicara soal kepuasan, nyatanya hal yang intangible seperti emosi, moral, motivasi dan ’rasa’ karyawan memang lebih ’powerful’ ketimbang gaji sekalipun. Ada saja karyawan yang bisa tahan bekerja dengan gaji secukupnya asal ia menikmati tugasnya dan merasakan adrenalinnya mengalir untuk mencapai sasaran kerjanya. Apalagi bila hasil kerjanya tersebut diakui dan mendapatkan penghargaan yang layak dari perusahaan. Motivasilah yang bisa membuat karyawan berkomitmen, kreatif, hingga produktif di pekerjaan. Kita pun akan terpana dengan betapa “intangible assets” bisa membuat sebuah perusahaan sukses.

Bagaimana bila situasi terbalik? Saya pernah menghadapi sebuah perusahaan yang berisi profesional trampil, jago dalam bidangnya, pekerja keras, dan disiplin. Bila anda tanyakan kepada mereka pertanyaan standar: “Apakah anda PUAS?” Kebanyakan diantara mereka akan mencibir dan mengatakan:”Yaaah…, mau dibilang puas bisa, mau dikatakan tidak puas juga bisa. Singkatnya, saya tidak ’tidak puas’ ”. Situasi seperti ini sering ada di dalam perusahaan yang mementingkan imbalan, fasilitas, aturan main, struktur organisasi, kepangkatan karyawan, tanpa berfokus pada ’makna kerja’ dan pengembangan pribadi karyawan.

Faktor-faktor seperti gaji, aturan dan fasilitas diatas, disebut oleh Herzberg, seorang ahli kepuasan kerja, disebut sebagai ’faktor higienis’. Faktor-faktor ini, yaitu gaji, pangkat tinggi, jabatan yang ’wah’, kantor yang mentereng, memang bisa membuat orang bertambah puas. Namun, tanpa adanya fokus pada mutu pekerjaan, mustahil bagi individu untuk menjadi ’puas sekali’. Perusahaan seperti ini, tanpa disadari sudah meningkatkan biaya SDM-nya, tanpa memperoleh hasil produktivitas yang memadai. Padahal, motivatorlah yang perlu digarap agar menjadi landasan kepuasan kerja, karena hanya isu-isu seperti ’achievement’, pengakuan, tantangan, tanggung jawab dan kemajuan yang bisa dianggap sebagai pemicu kinerja.

Jadi, kabar gembiranya adalah bahwa kepuasan kerja sangat jelas dan terukur, asal urut-urutannya benar. Masing masing individu sebenarnya bisa bertanya kepada diri sendiri dulu mengenai situasi kerja mana yang membuat dirinya merasa ’asik’ dan bergairah. Dan, situasi kerja mana yang membuat dirinya lelah dan tidak bersemangat? Baru setelah paham benar faktor apa yang membangkitkan gairah kerjanya, ia bisa melirik faktor imbalan, menilai apakah penempatan jabatannya tepat atau tidak, kemudian menelaah soal faktor higienis apa yang bisa membuat dirinya sangat-sangat puas. Dengan kesadaran dan pendekatan seperti ini, perusahaan pun tidak akan terlampau sulit menegosiasikan imbalan atau fasilitas lainnya, karena imbalan ini toh diberikan kepada individu yang produktif dan bermotivasi.


Eileen Rachman & Sylvina Savitri

EXPERD

Minggu, 20 April 2008

GO GREEN

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri


Sebuah perusahaan telekomunikasi mengundang Experd untuk melaksanakan brief kepada para “frontliner” yang perlu dibekali ketrampilan menghadapi pelanggan, saat pelanggan menuntut pemahaman mengenai “green policy” yang baru diterapkan perusahaan. Misalnya saja, fakta bahwa semua onderdil produk mereka bisa di daur ulang dan pengenalan kepada pelanggan mengenai berbagai program ‘Green’-nya. Perusahaan ini tentunya termasuk pioneer dalam “green policy”, karena di Indonesia, pemerintah memang belum mengeluarkan peraturan konkrit apapun yang berkenaan dengan pelestarian lingkungan.

Upaya konservasi energi tentunya suatu saat akan menjadi bukan saja fitur bisnis dan “compliance “ ke aturan pemerintah, namun mulai nge-trend dan bahkan menjadi kebutuhan setiap perusahaan yang maju. Penggunaan bahan “daur ulang”, makan makanan organik, kegiatan “bike to work”, kesemuanya ini adalah antara lain upaya individu untuk mengejawantahkan gaya hidup baru yang lebih ‘hijau’.

Universitas Indonesia pun tidak tanggung-tanggung dalam “going green”. Di samping memantapkan keberadaan hutan-hutan mini di lingkungan kampus, jalur sepeda sudah hampir 100 % jadi dan di kampus pun sudah tersedia 1000 sepeda sumbangan pemerintah swedia untuk para mahasiswa yang dilarang berkendaraan dan parkir motor atau mobil di kampus. Teman saya berkomentar,”Wah bisa usaha parkir dong, di luar kampus.” Ia menyoroti keadaan di mana mahasiswa yang tidak terbiasa naik kereta, diperkirakan akan tetap membawa kendaraan sampai ke dekat kampus. Wah, ini artinya sikap hidup ”going green” sulit untuk diterapkan secara total. Bahkan, di negara-negara maju dengan rakyat yang individunya sudah berpikiran modern, ada hasil penelitian yang membuktikan bahwa individu yang sudah hidup ”hijau” di rumahnya tidak menjamin perilaku yang sama di kantor atau mengindahkan himbauan di hotel untuk menggantung kembali handuk yang dirasa tidak perlu dicuci. Bagaimana dengan bangsa kita untuk alih-alih “going green”, sementara es batu yang dibuat dari sungai kali ciliwung masih diminum tenang-tenang, pemanis buatan yang tidak terjamin mutunya masih marak dikonsumsi, begitu juga penggunaan zat warna untuk tekstil dalam makanan?


Gaya hidup ”Green” perlu Tindakan Komunal.

Saya ingat teman anak saya, yang berobsesi untuk menjual “green living”, di tahun 90-an, secara “kepagian”. Ia pun menerbitkan majalah gratis AIKON dengan cetakan di atas kertas daur ulang, yang mahal harganya. Ia juga melakukan gerakan pemilahan sampah di daerah Kemang yang tidak berbuah perubahan sikap sampai saat ini. Ujung-ujungnya dia tidak kuat mendanai semua “kemewahan” berpikirnya yang soliter, sendirian, padahal idealis dan penting. Kita-kita yang ada di dekat individu seperti ini sering kagum menyaksikannya, tetapi tidak bergerak mengikuti tindakannya.

Mengapa teman kita ini tidak berhasil? Alasannya banyak. Banyak orang yang tidak “walk the talk”, kuat berbicara tetapi tidak kuat bertindak. Banyak pula yang sangat ingin melakukannya, tetapi tidak kuat menahan “hambatan sosial”, ejekan teman, wajah bertanya-tanya, anggapan aneh dan kesulitan berubah yang menyebabkan hati kecut untuk meneruskannya. Di samping itu, yang lebih parah lagi adalah saat kita tidak mampu melakukannya karena tidak ada dana. Bisakah menanam padi tanpa pupuk buatan? Bisakah hidup tanpa kantong plastik? Bisakah menjual minuman sehat sekaligus kompetitif? Nampak jelas bahwa untuk benar benar ”going green” perlu ada ”power” yang kuat untuk merubah kebiasaan-kebiasaan. Otoritaslah yang mampu melakukan hal ini. Mungkin kita tidak usah mengharapkan otoritas yang super power seperti pemerintah, tetapi, orang tua, guru, kepala sekolah, RT, RW, lurah dan yang paling penting, pimpinan perusahaan dan para manajer-lah yang sebenarnya memegang kekuatan ”Reward & Punishment” yang jelas.

’Go Green’ Secara Bertahap

Di dalam toilet biasanya tertulis:”Jangan buang tissue ke dalam toilet”. Namun, di sebuah kantor, saya melihat tulisan yang berbeda:”Kesehatan Anda banyak bersumber di tangan Anda. Cucilah tangan Anda bersih-bersih. Gunakan tissue seperlunya”. Rupanya “campaign” di kantor ini dimulai dari hidup bersih, sehat, baru kemudian diikuti dengan keramahan lingkungan. Kita pun bisa menanamkan kesadaran akan energi tanpa langsung memerintahkan untuk mematikan lampu, komputer dan alat listrik, tetapi dengan mengajak bawahan dan para karyawan di bawah pengaruh kita untuk menghargai energi, misalnya mengkaitkannya dengan kebugaran fisik, pembakaran kalori dan kesehatan jiwa maupun raga.

Pemahaman mengenai konsumsi enerji secara bijaksana memang perlu dimulai dari lingkungan yang paling dini dan kecil, yaitu dari rumah dan sekolah. Tanpa pembahasan dan penyadaran akan manfaat dan dampak konsumsi bahan bakar, kita bisa menjadi masyarakat yang buta enerji. Salah satu contoh kecil, kita makin sibuknya menggunakan tissue dan piring styrofoam, karena ingin “praktis”, tanpa sadar bahwa lingkungan tambah menderita, badan bertambah malas dan tidak sehat. Gaya hidup “going green” pun jadi terlalu sulit dijangkau secara langsung. Jika kita mau sedikit memperhatikan hal di luar diri kita, kita bisa lihat bahwa kita banyak mengabaikan hal-hal di sekitar diri kita yang esensial tetapi tidak pernah dikelola secara serius, seperti air, angin, tanah, udara, dan kesehatan kita. Tanaman dan binatang sebenarnya adalah indikator yang baik tentang ketidakpedulian kita terhadap unsur-unsur alam tadi. Bila tanaman dan binatang saja tidak bisa tumbuh segar, bagaimana dengan kesehatan paru paru, ginjal, darah kita dan anak-anak kita?

Pikirkan Sejenak, Sebelum Bertindak

Tentu saja, kita tidak bisa berhenti total menggunakan plastik. Bahkan perusahaan seperti IKEA yang sangat percaya pada lingkungan tetap menggunakan kantong plastik. Hanya saja, kesadaran ditingkatkan dengan keharusan membeli kantong plastik senilai 500 rupiah, menjual tas blacu yang bisa dicuci, sehingga konsumsi tidak sembarangan dan dipikirkan sejenak. Bila kita stop berpikir sejenak sebelum menggunakan lift untuk pergi ke satu lantai diatas, mungkin kita akan memutuskan untuk menggunakan tangga saja, demi kebugaran dan penghematan enerji. Kita pun akan lebih bertanggung jawab dan lebih peduli sampah, bila sebelum membuang sampah, kita stop diri sedetik dan berpikir kemana sampah ini akan pergi. Hidup penuh kepedulian, akan membawa kita ke hidup yang lebih bermakna, dan dengan sendirinya memungkinkan kita lebih menikmati hidup yang memang sudah dan masih indah ini.

BUGAR KOGNITIF

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Bila kita mencari kesamaan antara Alan Greenspan, Warren Buffett, Sumner Redstone, Kartini Muljadi dan Emil Salim, maka dengan mudah kita akan mengatakan bahwa kelima tokoh ini sama-sama berusia 70-an. Kesamaan lain yang sesungguhnya paling menarik adalah bahwa ke semua tokoh ini masih berada pada puncak kekuatan intelektual di usia yang tidak bisa dikatakan senja lagi ini. Berada bersama dengan Emil Salim, kita yang masih muda-muda akan merasa kikuk karena ketajaman intelektual beliau sangat terlihat ketika membahas, mengingat-ingat, dan menerangkan suatu isu. Ini menandakan bahwa beliau masih sangat rajin belajar, meng-”update” pengetahuan dan beradaptasi. Situasi ini benar-benar bisa mempertanyakan teori tentang deteriorisasi kecerdasan yang biasanya sudah mulai terjadi mulai usia 45 tahun manusia normal.

Di situasi lain, kita banyak menyaksikan individu yang seolah terlena dengan deteriorisasi intelektualnya dan membiarkan dirinya terjebak pada ”kemanjaan” intelektual, misalnya, dalam diskusi-diskusi banyak individu yang tidak berusaha menyerap apa yang dikatakan orang lain, seolah-olah apa yang dibicarakan dan terjadi di luar dirinya adalah pengalaman yang tidak bermanfaat bagi kegiatan berpikirnya. Orang seperti ini tampil sebagai orang yang keras kepala, malas berpikir, dangkal dan tidak progresif. Bayangkan bagaimana jadinya kalau hal ini terjadi pada orang-orang yang produktif dan relatif masih muda? Dunia ini memang penuh masalah dan kesulitan, untuk itulah kita perlu melatih kegiatan pikir secara terus-menerus, bagaikan cara berlatih pelari maraton dalam menjaga kebugarannya.

Kebugaran Kognitif Tanggung Jawab Individu

Hal yang umum terjadi pada kita adalah bahwa kita tidak selamanya menyadari bahwa bukan saja fisik yang harus dijaga kebugarannya, tetapi daya pikir dan emosi pun perlu dipelihara dan ditumbuhkan. Tidak seperti banyak hal yang bisa kita serahkan pada asisten, pembantu rumah tangga atau pada bawahan, mengembangkan, menumbuhkan daya pikir dan mejaga kebugaran mental perlu kita upayakan sendiri, agar otak tidak kaku dan mampu menanggung beban yang berat.

Banyak situasi di mana individu tidak menyadari bahwa ia sedang tidak membugarkan daya pikirnya. Individu yang dalam pernyataannya banyak menggunakan kata ”selalu”, ”sering” dan mudah men-”cap” orang dengan kualitas tertentu, bisa dikatakan sedang menggunakan pendekatan”All or None”, alias ekstrim, mengeneralisasikan, menyimpulkan dan meramalkan terlalu cepat dan sering tidak menyadari bahwa ia menggunakan pendekatan yang salah. Tak jarang pula kita menemukan individu yang tidak berupaya mengungkapkan realita dengan tepat, seperti membesar-besarkan angka, tidak menghafal nama orang lain dengan tepat, sampai tidak memelihara upaya untuk bersikap obyektif.

Kita juga mudah menemukan paradigma dan ungkapan seperti: ”Saya sudah tua”, ”Otak sudah tidak kuat”, ”Telmi (baca: telat mikir)”, seolah-olah adalah pernyataan ”kalah” pada situasi dan keinginan mengatakan bahwa ”otak saya tidak bugar lagi”. Padahal, pikiran positif dan kepedean bahwa kita kuat sangat berpengaruh pada kebugaran pikiran kita, sementara para ahlipun berpendapat bahwa kebugaran mental mempengaruhi kebugaran fisik pula. Ahli sejarah berpendapat bahwa usia Winston Churchill sampai 90 tahun bukan berkorelasi dengan kebiasaan menghisap cerutunya , melainkan kegemarannya pada informasi.

Pentingnya Hubungan Interpersonal bagi Kebugaran Mental

Kebugaran mental sebenarnya berasal dari kapasitas dan kebebasan individu untuk mengelola masalah, emosi, situasi sehari-hari dengan daya pikir yang benar. Kemampuan menggunakan daya pikir yang benar ini akan berpengaruh pada kebahagiaan seseorang, sehingga individu akan merasa lebih nyaman, kuat, bebas dan berani menghadapi realita. Hanya dalam kondisi nyamanlah seseorang bisa fokus pada keinginan dan baru bisa memanfaatkan potensi kecerdasannya alias IQ-nya untuk pemecahan masalah.

Tidak seperti kebugaran fisik yang sering membutuhkan acara dan alat-alat khusus, latihan kebugaran mental, untungnya, bisa kita lakukan setiap saat, dimana saja dan dalam situasi apapun. Hal yang mungkin kita tidak sadari adalah bahwa interaksi dan hubungan interpersonal kita berfungsi memperkuat ’social support’ yang merupakan landasan untuk menjaga kebugaran pikiran. Sepintar dan sehebat apapun kita, bila tidak memiliki hubungan interpersonal yang baik, bisa-bisa kita ’end-up’ men jadi profesor ling-lung. Karenanya, kita bisa membugarkan pikiran kita dengan sengaja menumbuhkembangkan hubungan baik, misalnya melakukan silaturahmi, menolong, aktif berperan dalam organisasi, bercanda dan mengembangkan ”sense of humor”, sehingga kita bisa ”stay positive”, merasa ”kaya dan kuat” menahan beban dan menghadapi perubahan.

Lakukan Akrobat Mental dengan Sengaja!

Kegiatan mengeksplorasi dalam pikiran sering ditangkap salah oleh sebagian orang, seolah-olah mengeksplorasi memerlukan waktu khusus dan serius. Padahal, kita bisa melakukan eksplorasi dalam setiap kegiatan kita, asalkan kita dengan sengaja menangkap, menyerap, memotret situasi dan menjaganya untuk berada dalam perspektif yang obyektif.

Di samping sudoku, ”puzzle” dan teka-teki silang yang kita kenal sebagai media ”sport otak” yang baik, kita juga bisa menjaga ”ketajaman” otak dengan meningkatkan rasa ingin tahu dan memberi variasi rangsangan otak. Kegiatan seperti mematikan telepon, TV, komputer dan melakukan ”walk about” di sekeliling kita bisa memunculkan ide cemerlang. Kita pun bisa membuat eksperimen-eksperimen kecil sehingga mental kita mengalami stres yang kita sengaja. Perubahan beresiko yang dirancang dengan sengaja dan dimonitor dengan cermat, merupakan ”sport mental dan jantung” yang baik. Belajar hal baru, dilakukan kakak saya yang 3 tahun lalu genap berusia 65 tahun, dengan memulai tertatih-tatih belajar bahasa Spanyol dari nol. Sekarang ia sudah menikmati liburannya di Spanyol, terutama karena bisa mengobrol dengan penduduk di kampung-kampung dan menemukan hal-hal mengejutkan yang tidak ada di buku-buku.

Kita lihat, kebugaran kognitif ternyata bisa mempengaruhi setiap aspek kepribadian kita baik emosi maupun fisik. Bisa kita bayangkan, bila manusia Indonesia yang mendekati 240 juta jiwa ini mengembangkan kebugaran kognitif. Bukankah kita bisa menghindari kelesuan, kemalasan, dan kebodohan tanpa ongkos yang besar?

Rabu, 09 April 2008

Segar Dalam Sekejab

By: Emilia Jacob, EXPERD Consultant

Apakah anda belakangan ini mulai sering merasa tidak bersemangat berangkat kerja di pagi hari, bosan maupun letih meskipun sebenarnya telah tidur cukup semalam? Bisa jadi ini adalah gejala-gejala anda mulai mengalami stress awal dengan rutinitas maupun beban kerja anda. Seberapapun menariknya pekerjaan yang anda miliki saat ini, ada saat-saat di mana anda mulai merasa bosan sehingga performa kerja anda menurun. Apalagi jika dalam pekerjaan anda sehari-hari, anda lebih banyak melakukan tugas-tugas rutin. Sebelum kebosanan ini begitu menguasai Anda sehingga performa kerja anda dinilai jelek oleh atasan Anda, ada baiknya Anda melakukan beberapa hal di bawah ini yang dapat mendorong Anda untuk kembali bersemangat.

Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan beberapa aktivitas ini boleh dibilang singkat namun hasilnya cukup menjanjikan. Beberapa aktivitas yang dapat anda coba antara lain :

1.Terapi ala Srimulat
Yang dimaksud dengan terapi Srimulat di sini adalah Tertawa. Semua bentuk tertawa adalah terapi. Mudah, murah, meriah dan menyehatkan. Menurut sejumlah peneliti, tertawa dapat mengurangi peredaran dua hormon dalam tubuh yaitu efinefrin dan kortisol yang bisa menghalangi proses penyembuhan penyakit. Dr. William Frey, pakar biokimia dan direktur Dry Eyes and Tears Research Center di Mineapolis, AS menyatakan bahwa tertawa dapat mengaktifkan sistem endokrin yang dapat mendorong penyembuhan penyakit. Tertawa terbahak-bahak juga berfungsi untuk menjadikan otot lebih rileks dan tenang, sama seperti orang yang baru saja selesai berolahraga.

Karena itu bagi Anda yang sedang mengalami kebosanan, cobalah mencari media-media yang bisa mendorong Anda untuk tertawa sekeras-kerasnya dengan sepenuh hati Anda. Bisa tontonan film yang lucu, buku humor, komik ataupun berkumpul dengan teman-teman yang biasanya sanggup mengocok perut Anda dengan segala banyolan mereka.

2. Mendengarkan musik
Sebagian kalangan mengenal musik dalam kaitannya untuk mencerdaskan anak; sehingga di toko-toko musik saat ini banyak terdapat berbagai jenis musik klasik bagi ibu-ibu hamil. Padahal sebenarnya bukan musik yang membuat seorang anak menjadi cerdas. Musik menstimulasi kemampuan otak dalam imajinasi ruang. Untuk menjadi cerdas, seorang anak perlu dilatih kemampuan imajinasi ruang ini yang akan meningkatkan kecerdasannya dalam bidang matematika, teknik mesin, catur dan iptek. Mendengarkan musik saja berjam-jam tidak akan langsung menjadikan seorang menjadi pintar.Musik memang membuat individu menjadi lebih rileks, menjadikan ibu hamil lebih tenang dan juga merangsang otak kanan bayi. Menurut Dr. Joanne Loewy di Beth Israel medical Center, NY, musik mampu membantu pasien untuk mengelola rasa sakitnya karena saraf untuk mendengarkan musik dan saraf perasa sakit itu sama. Jika pasien menjalani pembedahan dan saat itu juga diajak untuk mendengarkan musik, saraf perasa sakit ini menjadi “sibuk” antara merasakan sakit dan mendengarkan lagu. Karena tiap individu unik, maka terapi musik pun sangat individualistic. Pilihan musik yang memberikan efek yang menyenangkan bagi tiap-tiap orang bisa berbeda-beda. Untuk itu Anda perlu menemukan sendiri, musik apa yang membuat Anda merasa paling rileks dan segar kembali setelah mendengarkannya.

3. Meditasi
Belakangan ini aktivitas meditasi mulai digemari oleh masyarakat luas; terutama orang-orang dari kota besar yang kadang merasa hidup ini selalu dikejar-kejar dengan berbagai macam hal: pekerjaan, tagihan, urusan keluarga dan lainnya. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa meditasi dapat menurunkan tekanan darah, depresi dan gelisah pada pasien jantung. Saat bermeditasi, rangkaian kalimat yang teduh, musik yang tenang, serta suasana yang hening, dapat menekan produksi hormon adrenalin, si pemicu kecemasan. Sebaliknya, produksi hormon epinefrin, yang meredakan stress, akan semakin banyak.

Ada bermacam-macam jenis meditasi yang dapat diikuti oleh Anda sekalian. Ada yang berorientasi pada agama, kesehatan dan lainnya. Tergantung pada preferensi Anda dengan metode yang ditawarkan melalui meditasi tersebut. Ada yang salah kaprah dengan mengira bahwa meditasi dapat membuat kita kesurupan/kemasukan karena terjadi pengosongan pikiran. Menurut salah satu ahli meditasi, Bapak Merta Ada pendiri Meditasi Bali Usada, dalam meditasi justru kita melakukan konsentrasi penuh, sadar dengan apa yang kita rasakan, sehingga dalam proses meditasi yang baik tidak mungkin terjadi kesurupan. Dalam menjalani kehidupan kita sehari-hari seringkali kita tidak sadar dengan apa yang kita lakukan. Kita lupa di mana kita meletakkan kunci rumah, lupa apakah kita sudah mematikan kompor atau tidak dan lainnya. Dalam meditasi, kita diminta untuk menyadari setiap tarikan nafas yang kita lakukan. Kita sadar dengan setiap perubahan yang terjadi pada tubuh kita. Melalui proses kesadaran itulah kita akan memperoleh ketenangan dan kedamaian.

4. Mandi
Setelah anda lelah beraktivitas seharian, tubuh terasa penat dan kotor, berendam di dalam bathtub dengan air hangat, dicampur dengan garam mandi akan terasa sangat menyegarkan. Anda perlu meluangkan waktu yang cukup sehingga tidak melakukan mandi dengan terburu-buru. Boleh juga mandi sambil diiringi musik yang menyenangkan buat Anda. Efeknya akan terasa sangat luar biasa.

5. Pijat
Tubuh yang pegal, otot-otot yang kaku akan dapat dilemaskan kembali dengan pijatan lembut pada otot yang tepat.

6. Bersantai bersama dengan keluarga
Saat yang paling menyenangkan adalah ketika kita dapat berkumpul bersama dengan keluarga dan berbagi keceriaan bersama. Sebagai pekerja seringkali kita lupa bahwa kita mencari uang untuk kebahagiaan keluarga kita. Begitu sibuknya kita sehingga kita tidak lagi dapat menikmati waktu santai bersama keluarga dan hubungan dengan orang-orang yang kita cintai itu makin lama malah semakin merenggang. Tidak ada uang yang dapat meraih kemesraan itu kembali.
Bermain bersama dengan anak-anak, berada bersama dengan keluarga yang kita cintai dapat membuat kita kembali segar, siap menghadapi tantangan berikutnya di pekerjaan kita sehari-hari.

7. Jalan-jalan
Ada yang senang berjalan-jalan di mall, ada yang senang berjalan-jalan di alam terbuka, di pantai, di pegunungan dan lainnya. Di manapun tempat yang menyenangkan bagi anda, jalan-jalan dapat mengalihkan sementara pikiran Anda dari rutinitas pekerjaan sehari-hari. Tidak perlu jalan-jalan ke Luar kota atau luar negeri jika memang dana yang dimiliki tidak mencukupi. Anda juga bisa merasakan kesenangan dengan jalan-jalan ke tempat yang mungkin belum pernah Anda kunjungi di kota Anda sendiri. Daerah kota tua Jakarta misalnya, perkampungan Nelayan, museum yang biasanya enggan Anda lihat, tempat-tempat yang unik seperti gereja, klenteng tua, mesjid besar dan lainnya. Selain menyegarkan pikiran, Anda juga bisa menambah wawasan pengetahuan Anda.

8. Mengobrol
Berbincang-bincang dengan teman yang dapat memahami Anda, dengan keluarga Anda, akan membantu Anda untuk melepaskan sebagian dari beban pikiran Anda. Mulai dari bincang-bincang santai mengenai kehidupan sehari-hari, apa saja yang Anda alami dalam pekerjaan anda hari itu, sampai pada diskusi mendalam mengenai masalah Anda. Tentu saja Anda harus pandai-pandai memilih siapa lawan bicara Anda, sehingga Anda tidak menjadi semakin stress setelahnya.

Jika berbagai cara ini telah Anda coba namun Anda masih tetap merasa tidak bergairah dalam menghadapi hari-hari Anda, tidak ada salahnya Anda mencoba untuk berkonsultasi dengan pihak yang lebih professional seperti psikolog.

Selamat mencoba!!

BUGAR KOGNITIF

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Bila kita mencari kesamaan antara Alan Greenspan, Warren Buffett, Sumner Redstone, Kartini Muljadi dan Emil Salim, maka dengan mudah kita akan mengatakan bahwa kelima tokoh ini sama-sama berusia 70-an. Kesamaan lain yang sesungguhnya paling menarik adalah bahwa ke semua tokoh ini masih berada pada puncak kekuatan intelektual di usia yang tidak bisa dikatakan senja lagi ini. Berada bersama dengan Emil Salim, kita yang masih muda-muda akan merasa kikuk karena ketajaman intelektual beliau sangat terlihat ketika membahas, mengingat-ingat, dan menerangkan suatu isu. Ini menandakan bahwa beliau masih sangat rajin belajar, meng-”update” pengetahuan dan beradaptasi. Situasi ini benar-benar bisa mempertanyakan teori tentang deteriorisasi kecerdasan yang biasanya sudah mulai terjadi mulai usia 45 tahun manusia normal.

Di situasi lain, kita banyak menyaksikan individu yang seolah terlena dengan deteriorisasi intelektualnya dan membiarkan dirinya terjebak pada ”kemanjaan” intelektual, misalnya, dalam diskusi-diskusi banyak individu yang tidak berusaha menyerap apa yang dikatakan orang lain, seolah-olah apa yang dibicarakan dan terjadi di luar dirinya adalah pengalaman yang tidak bermanfaat bagi kegiatan berpikirnya. Orang seperti ini tampil sebagai orang yang keras kepala, malas berpikir, dangkal dan tidak progresif. Bayangkan bagaimana jadinya kalau hal ini terjadi pada orang-orang yang produktif dan relatif masih muda? Dunia ini memang penuh masalah dan kesulitan, untuk itulah kita perlu melatih kegiatan pikir secara terus-menerus, bagaikan cara berlatih pelari maraton dalam menjaga kebugarannya.

Kebugaran Kognitif Tanggung Jawab Individu
Hal yang umum terjadi pada kita adalah bahwa kita tidak selamanya menyadari bahwa bukan saja fisik yang harus dijaga kebugarannya, tetapi daya pikir dan emosi pun perlu dipelihara dan ditumbuhkan. Tidak seperti banyak hal yang bisa kita serahkan pada asisten, pembantu rumah tangga atau pada bawahan, mengembangkan, menumbuhkan daya pikir dan mejaga kebugaran mental perlu kita upayakan sendiri, agar otak tidak kaku dan mampu menanggung beban yang berat.
Banyak situasi di mana individu tidak menyadari bahwa ia sedang tidak membugarkan daya pikirnya. Individu yang dalam pernyataannya banyak menggunakan kata ”selalu”, ”sering” dan mudah men-”cap” orang dengan kualitas tertentu, bisa dikatakan sedang menggunakan pendekatan”All or None”, alias ekstrim, mengeneralisasikan, menyimpulkan dan meramalkan terlalu cepat dan sering tidak menyadari bahwa ia menggunakan pendekatan yang salah. Tak jarang pula kita menemukan individu yang tidak berupaya mengungkapkan realita dengan tepat, seperti membesar-besarkan angka, tidak menghafal nama orang lain dengan tepat, sampai tidak memelihara upaya untuk bersikap obyektif.

Kita juga mudah menemukan paradigma dan ungkapan seperti: ”Saya sudah tua”, ”Otak sudah tidak kuat”, ”Telmi (baca: telat mikir)”, seolah-olah adalah pernyataan ”kalah” pada situasi dan keinginan mengatakan bahwa ”otak saya tidak bugar lagi”. Padahal, pikiran positif dan kepedean bahwa kita kuat sangat berpengaruh pada kebugaran pikiran kita, sementara para ahlipun berpendapat bahwa kebugaran mental mempengaruhi kebugaran fisik pula. Ahli sejarah berpendapat bahwa usia Winston Churchill sampai 90 tahun bukan berkorelasi dengan kebiasaan menghisap cerutunya , melainkan kegemarannya pada informasi.

Pentingnya Hubungan Interpersonal bagi Kebugaran Mental
Kebugaran mental sebenarnya berasal dari kapasitas dan kebebasan individu untuk mengelola masalah, emosi, situasi sehari-hari dengan daya pikir yang benar. Kemampuan menggunakan daya pikir yang benar ini akan berpengaruh pada kebahagiaan seseorang, sehingga individu akan merasa lebih nyaman, kuat, bebas dan berani menghadapi realita. Hanya dalam kondisi nyamanlah seseorang bisa fokus pada keinginan dan baru bisa memanfaatkan potensi kecerdasannya alias IQ-nya untuk pemecahan masalah.

Tidak seperti kebugaran fisik yang sering membutuhkan acara dan alat-alat khusus, latihan kebugaran mental, untungnya, bisa kita lakukan setiap saat, dimana saja dan dalam situasi apapun. Hal yang mungkin kita tidak sadari adalah bahwa interaksi dan hubungan interpersonal kita berfungsi memperkuat ’social support’ yang merupakan landasan untuk menjaga kebugaran pikiran. Sepintar dan sehebat apapun kita, bila tidak memiliki hubungan interpersonal yang baik, bisa-bisa kita ’end-up’ men jadi profesor ling-lung. Karenanya, kita bisa membugarkan pikiran kita dengan sengaja menumbuhkembangkan hubungan baik, misalnya melakukan silaturahmi, menolong, aktif berperan dalam organisasi, bercanda dan mengembangkan ”sense of humor”, sehingga kita bisa ”stay positive”, merasa ”kaya dan kuat” menahan beban dan menghadapi perubahan.

Lakukan Akrobat Mental dengan Sengaja!
Kegiatan mengeksplorasi dalam pikiran sering ditangkap salah oleh sebagian orang, seolah-olah mengeksplorasi memerlukan waktu khusus dan serius. Padahal, kita bisa melakukan eksplorasi dalam setiap kegiatan kita, asalkan kita dengan sengaja menangkap, menyerap, memotret situasi dan menjaganya untuk berada dalam perspektif yang obyektif.
Di samping sudoku, ”puzzle” dan teka-teki silang yang kita kenal sebagai media ”sport otak” yang baik, kita juga bisa menjaga ”ketajaman” otak dengan meningkatkan rasa ingin tahu dan memberi variasi rangsangan otak. Kegiatan seperti mematikan telepon, TV, komputer dan melakukan ”walk about” di sekeliling kita bisa memunculkan ide cemerlang. Kita pun bisa membuat eksperimen-eksperimen kecil sehingga mental kita mengalami stres yang kita sengaja. Perubahan beresiko yang dirancang dengan sengaja dan dimonitor dengan cermat, merupakan ”sport mental dan jantung” yang baik. Belajar hal baru, dilakukan kakak saya yang 3 tahun lalu genap berusia 65 tahun, dengan memulai tertatih-tatih belajar bahasa Spanyol dari nol. Sekarang ia sudah menikmati liburannya di Spanyol, terutama karena bisa mengobrol dengan penduduk di kampung-kampung dan menemukan hal-hal mengejutkan yang tidak ada di buku-buku.

Kita lihat, kebugaran kognitif ternyata bisa mempengaruhi setiap aspek kepribadian kita baik emosi maupun fisik. Bisa kita bayangkan, bila manusia Indonesia yang mendekati 240 juta jiwa ini mengembangkan kebugaran kognitif. Bukankah kita bisa menghindari kelesuan, kemalasan, dan kebodohan tanpa ongkos yang besar?

Sabtu, 05 April 2008

MENCETAK MANAGER

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri


Sebuah perusahaan mitra Experd, pada suatu waktu, menyadari situasi kritis yang terjadi di perusahaan, yaitu kenyataan bahwa mereka mencetak banyak laba, mengembangkan bisnis dan menjadi pemain terpenting di industrinya, tetapi tidak punya banyak calon penerus, baik di tingkat direksi sampai supervisor. “Pelatihan manajemen tidak pernah terlupakan. Kami juga sudah menjalankan manajemen kinerja dengan baik, tetapi mengapa kita tidak kunjung berhasil meng-‘kloning’ diri kita-kita ini? Berkaca pada pengalaman saya, kami juga dulu tidak dicekoki dengan pengajaran pengajaran istimewa selagi muda?”
Apapun argumentasinya, kita perlu segera menyadari bahwa bila di organisasi kita tidak terdapat cukup banyak suksesor, cepat atau lambat perusahaan akan bermasalah. Pada kenyataannya kita juga melihat bahwa semakin tidak banyaknya calon-calon manajer atau pemimpin, maka organisasi semakin tidak diminati, karena calon karyawan maupun karyawan yang sudah bekerja tahu dan sadar tentang tidak adanya prinsip suksesi yang jelas.

Nampaknya, argumentasi “Perusahaan kita bukan universitas tempat belajar”, sudah tidak bisa dijalankan pada perusahaan yang ingin menjaga kontinuitas bisnisnya. Bukti menunjukkan bahwa kualitas manusia beserta prinsip dan spirit perusahaan, tidak bisa “dibeli” atau “ditempel” begitu saja dari luar. Mungkin ini juga sebabnya penemu Mc Donald, Ray Kroc, mengatakan: “If we are going to go anywhere, we’ve got to have talent. And, I’m going to put my money in talent”, ketika membangun “hamburger university”-nya. Mc Donald sejak awal berdirinya sudah menyatakan bahwa mereka ingin menjadi “talent developer” terbaik, agar mempunyai “manpower” yang sepenuhnya berkomitmen ke QSC&V (Quality, Service, Cleanliness dan Value).

Turunkan Prinsip sampai Mendarah Daging
Toyota yang sangat terkenal berhasil mencetak manajer yang mumpuni sesuai kebutuhan, sangat percaya bahwa prinsip yang dipegang dalam menjalankan tugas jauh lebih penting daripada segala macam “tools” manajemen dan proses. Prinsip di sini, tidak sebatas yang berbau teknis namun juga dalam proses mencetak suksesor, salah satunya prinsip bahwa coaching perlu dilakukan dengan penuh keyakinan dan obsesi yang kuat. Mungkin ini sebabnya mengapa perusahaan yang “tidak percaya” pada proses “coaching” akan sulit menerapkan teknik-teknik “coaching” walaupun teknik ini diajarkan dalam pelatihan, bila pada prinsipnya, keyakinan manajemen memang tidak di situ. Dengan demikian, sebelum mempelajari teknik, prinsiplah yang terlebih dulu harus dibangun dan diyakini, kemudian perlu turun temurun diwariskan dalam organisasi yang kuat, karena pengambilan keputusan dan pemecahan masalah akan didasarkan pada “benang merah” yang sudah menjadi landasan keberhasilan perusahaan.

Tajamnya Penginderaan menghasilkan “sense of precision”
Kita tahu bahwa strategi itu penting, tetapi strategi yang tepat hanya bisa dilakukan berdasarkan fakta yang tepat. Seringkali, di dunia yang serba instan begini, kita berharap manajer muda kita yang cemerlang secara instan akan mampu membuat strategi yang cemerlang. Hal inilah yang sering membuat kita frustrasi karena kita lupa bahwa hal yang sangat mendasar, yaitu kemampuan dan cara individu memperoleh fakta, terlewatkan. Bagaimana seseorang menemukan kejanggalan suatu proses, bagaimana ia marasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres, bagaimana ia mencium adanya potensi di situasi tertentu, bagaimana ia melihat “talenta” pada bawahannya , dan juga bagaimana ia meraba “timing” dari suatu tindakan tertentu adalah hal hal penting yang perlu dikuasai, bila ingin menjadi pengambil keputusan yang handal. Saya teringat kata-kata ayah saya yang senang sekali melakukan kontrol langsung dalam menjalankan tugasnya sebagai GM:” There’s no substitute for direct observation.” Dengan keyakinan ini, calon pemimpin bisa didorong dan didampingi untuk banyak-banyak turun ke lapangan, sehingga ia tidak saja pandai menganalisa mengapa gejala tertentu “sudah” terjadi, tetapi justru juga akan mendapatkan nilai tambah lain bila menyaksikan sendiri kesalahan, kegagalan ataupun kesuksesan terjadi. Pendekatan melalui laporan, interviu, data, dan statistik nampaknya memang menghasilkan sesuatu yang berbeda dan memberi dampak yang berbeda terhadap kompetensi seorang pemimpin. Bahkan pendekatan yang hanya mengandalkan laporan bisa dikatakan adalah sumber kegagalan tercetaknya pemimpin. Melalui observasi dan “merasakan langsung”, seorang calon pemimpin bisa mengembangkan “sense of precision”-nya yang senantiasa akan diperlukannya dalam memimpin tim.

Obsesi untuk “menjadikan” pemimpin
Kita pasti sudah menyadari bahwa hampir semua organisasi berusaha meng-”karbit” karyawan-karyawan yang cemerlang untuk dijadikan calon pimpinan perusahaan, misalnya.melalui program ‘management trainee’. Namun demikian, masih saja banyak keluhan mengenai kematangan dan kesiapan para calon ini untuk menjadi pemimpin. Pertanyaannya, apakah kita sudah secara optimal meluangkan waktu untuk melatih mereka secara keseluruhan, mencakup hati, tangan, kepala dan cara komunikasinya? Kita sadar bahwa pemimpin yang kita idamkan adalah pemimpin yang mampu membuat terobosan dan perbaikan, namun sudahkan kesempatan latihannya dirancang sedemikian rupa sampai ia sempat bereksperimen di lapangan?

Bisa jadi, selain kurangnya kesempatan bereksperimen, disadari atau tidak, banyak organisasi yang tidak subur menumbuhkan manajer baru mempunyai kebiasaan “membabat” orang yang berbuat salah. “Ya, pastilah…kesalahan yang dibuat itu merugikan perusahaan bermilyar-milyar, yang tidak bisa dibayar dengan seumur hidup gajinya”, demikian komentar salah seorang pimpinan perusahaan terhadap kesalahan anak buahnya. Mungkin ada saja pemimpin yang bisa tumbuh di lingkungan yang tidak memperhitungkan pengembangan “self esteem” para calonnya, tetapi jumlah hasilnya tentu lebih sedikit daripada situasi yang memang dengan “sengaja” dan serius menyediakan kesempatan bagi para calon pemimpin ini untuk bereksperimen. Perubahan memang sering tidak bisa di coba-coba, padahal seorang yang ‘belajar’ memang harus banyak memperhatikan dan melakukan “testing’ bahkan berbuat kesalahan. . Satu-satunya jalan agar seorang calon pemimpin bisa melalui proses belajar yang efektif adalah memberinya tugas yang bertahap dan sudah diperhitungkan resikonya bila kesalahan terjadi. Satu hal yang juga tidak pernah bisa terlewatkan adalah pembahasan mendalam antara atasan atau ’coach’ dengan ”trainee” tentang tindakan, kesuksesan dan kegagalannya. Pemimpin yang tumbuh sebagai hasil dari pengajaran memerlukan proses coaching, bukan “fixing”, perlu di “enabled” bukan di “disabled”.

Values: Bukan BasaBasi

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri


Semenjak 1994, ketika Jim Collins dan Jerry Porras mempublikasikan buku ‘Built to Last’, banyak CEO dan top manajemen merasa kurang ‘greget’-nya bila tidak menggambarkan “values” perusahaannya. Saat itulah para manajemen puncak mulai tergugah tentang efektifnya kekuatan “internal” yang ada di dalam diri individu pekerja . Bila “values’ perusahaan ikut dihayati karyawan secara tepat, perusahaan bisa menghasilkan “nilai lebih” dari pada sekedar uang, karena “core values” memberikan “sense of identity” ,kelanggengan dan “daya juang plus” perusahaan dalam menghadapi badai kompetisi ini. Tidak heran saat sekarang, hampir selalu , bila kita berkunjung ke ruang rapat di perusahaan perusahaan, terpampang poster dengan gambaran “values” perusahaan. Bila diperhatikan baik baik, sering terlihat kesamaan antara values yang digariskan satu perusahaan dengan yang lain. Tidak hanya di Indonesia, namun data di majalah Fortune, menunjukan 55% dari 100 perusahaan terbaik versi Fortune menyatakan bahwa integritas adalah value utamanya, di samping rangking kedua: kepuasan pelanggan, dan yang ketiga: kerja tim. Pertanyaannya, bila semua perusahaan bernuansa ”values” yang sama, apa pula yang membuat mereka berbeda dari kompetitornya? Dengan kesamaan ini, apakah sosialisasi “values” yang mewabah ini masih akan menjadi “value adding” dalam bisnis?

Salah seorang teman saya juga terkena wabah penyusunan “value statement”. Beliau serta merta mempekerjakan konsultan untuk menggambarkan values perusahaannya. Ketika saya tanyakan mengapa beliau tidak menggambarkannya sendiri, beliau berujar bahwa sesungguhnya ia sendiri tidak bisa mengidentifikasikan values perusahaannya. Ketika “values” sudah terdeskripsikan, beliau langsung menyetujui dan memujinya. “Nothing to loose” juga, bila tidak dijalankan, begitu komentarnya, seolah-olah sosialisasi values adalah program yang bisa jalan bisa tidak, dan tidak melekat dengan dirinya sebagai CEO dan si empunya perusahaan.

Menurut ”feeling” saya, bukan perusahaan ini saja yang memperlakukan values dengan cara seolah-olah ”values” sekedar hiasan organisasi. Ini tentunya tidak disengaja, tetapi upaya mengkaitkan dan menterjemahkan “values” ke dalam perangai dan perilaku sehari-hari setiap karyawan tidak mudah, apalagi kalau proses pengkaitannya tidak dihayati, ditekuni sendiri oleh tim manajemen .. Malahan , bila tidak hati hati bisa saja ternyata perilaku karyawan bertentangan dengan ”values” yang terlanjur dikumandangkan ke masyarakat. Mungkin kita masih ingat, skandal Enron, di mana ”annual report” tahun 2000-nya menuliskan “Communication, Respect, Integrity, Excellence”, sebagai ”core values”-nya, sementara kecurangan besar-besaran terjadi.

Values Bukan Impian atau Visi

Sebuah perusahaan yang saya kenal sangat dinamis, menempatkan ”continuous learning” sebagai salah satu ”core values”-nya. Ketika saya tanyakan pada pimpinannya, tentang apa contoh atau bentuk kebiasaan pembelajaran di perusahaan itu, dengan santai beliau berkata,” Belum jelas, itu kan aspirasi saya saja”. Meski kita sadar bahwa aspirasi memang positif, namun kesenjangan antara values yang mendasari perilaku saat ini dan aspirasi masa depan juga perlu diperhatikan dan di desain dengan cermat. Misalnya saja, di saat sekarang , perusahaan banyak beraspirasi untuk memiliki “value” yang sedang populer yakni ”work life balance”, apa jadinya bila value ini dicantumkan dalam value perusahaan sementara semua karyawannya sedang gila-gilanya bekerja keras penuh dedikasi, pulang malam bahkan bekerja di akhir minggu? Karenanya, pembentukan ”values” baru, benar-benar perlu disadari, ditekuni dan dirancang prosesnya, diperhitungkan dampak bisnisnya , sehingga semua individu dalam organisasi berupaya untuk mendukung jalannya perubahan.

Values adalah “Bagaimana Tampil Beda”

Kita, sebagai individu sering bingung bila ditanya tentang apa keunikan diri kita sebagai manusia dibandingkan dengan individu lain, terutama bila kita jarang berlatih untuk menerima feedback dan berkontemplasi mengenai kekurangan dan kelebihan kita. Hal yang sama juga terjadi pada perusahaan. Values yang dikumandangkan semestinya memang menggambarkan “apa yang beda di perusahaan ini”, dan ”apa yang membuat perusahaan ini menonjol kesuksesannya”. Intel, perusahaan yang bermukin di Silicon Valley, menyatakan bahwa mereka adalah “manusia-manusia pengambil risiko dan gemar menyambut tantangan”. Hal ini memang dibuktikan dari cara atasan mempertanyakan ide bawahan, cara debat yang keras tanpa “hard feeling”. Inilah yang membuat Intel beda dari perusahaan Silicon Valley lainnya. Sekali kita bersama sama tampil beda secara positif, motivasi karyawan pun otomatis akan meningkat.

”Value Statement” bisa Jadi Pendorong sekaligus Bumerang

Pada perusahaan dengan”value statement” yang tajam dan tepat, karyawan akan lebih mudah menentukan sikap dan membuat keputusan. Dampaknya pasti terasa pada produktivitas. Tingkat keraguan dan kesalahan akan menurun, sementara kepuasan pelanggan pasti meningkat, karena karyawan meyakini dan tahu betul ”mengapa” mereka bekerja keras di lingkungan kerja bersama ini. Di sinilah ”value statements” tidak hanya menjadi pemersatu, bahkan bisa menjadi daya jual bagi perusahaan.

Di perusahaan yang tidak menguasai apa, bagaimana dan mengapa ”value statement” dibuat, banyak orang bersikap masa bodoh terhadap penyusunan dan sosialisasinya, karena beranggapan bahwa bila sosialisasi dan implementasinya tidak sesuai pun, perusahaan toh tidak akan menanggung kerugian. ”Paling-paling values itu meaningless”, demikian ungkap mereka. Ini sama sekali tidak benar, karena values yang disebut-sebut dan dislogankan akan ”mengganggu” individu yang melihat dan merasakan ketidakcocokannya. Values yang tidak tepat dan bahkan bertentangan dengan situasi riilnya, tidak sekedar tidak bergigi atau tidak jujur, tetapi bahkan sering dipandang dan disikapi individu secara sinis, sehingga dapat berakibat sikap yang kontra produktif, mendemotivasi dan akhirnya terbaca oleh pelanggan dan orang luar.

Pentingnya Mengumandangkan Values dengan Efektif

Mengumandangkan values memang perlu dicari efektivitasnya, karena seringkali bukan cukup dengan cara menulis slogan di dinding dinding,T-shirt dan Mug atau bahkan buku panduan ”do’s & don’ts” yang tebal. Nordstorm, perusahaan yang sudah banyak dibahas oleh para ahli manajemen karena berhasil dalam menggerakkan karyawannya melalui values, tidak pernah berhenti mengguncang para karyawannya melalui upaya-upaya seputar praktik nyata seperti membahas kasus-kasus sukses dan ”brutal facts” dari lapangan. Contoh klasik di lingkungan Nordstorm yang diceriterakan pada setiap orang yang direkrut adalah cerita seorang frontliner yang tanpa ragu-ragu melakukan penggantian klaim terhadap blus yang sudah dibeli pelanggan 2 tahun yang lalu untuk membuktikan ”value” ”customer satisfaction ” perusahaan. Nordstorm juga mempunyai kebiasaan untuk membacakan semua masukan pelanggan, baik atau buruk, melalui pengeras suara perusahaan sebelum toko buka, sehingga setiap karyawan sadar akan apa yang dipentingkan dalam mengambil sikap dan keputusan.

Membangun Mentalitas Pembelajaran

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri


Kenalan saya, melakukan upaya lebih hebat dari psikolog sosial manapun yang saya kenal. Ia mendapat tugas untuk menaikkan tingkat kualitas nenas kalengan di pabrik yang ia pimpin dan memutuskan untuk menaikkan tingkat kebersihan gaya hidup para karyawannya. Riset dilakukan ke rumah-rumah karyawan dan upayanya kemudian berkisar antara pembersihan rambut, dapur di rumah, pakaian para karyawan dan banyak hal lain yang menyangkut gaya hidup karyawan secara keseluruhan. Upaya pembelajaran itu juga tertular ke rumah-rumah karyawan dan akhirnya membuahkan hasil yang sangat signifikan bagi pabrik. “Tidak mudah merubah cara hidup, persepsi dan nilai individu. Namun, bila melihat hasilnya, kita tak akan mundur. Kita akan terus berusaha melakukan pembelajaran, karena peningkatan harkat hidup merupakan keindahan yang tidak ada duanya” demikian komentar teman saya itu.



Meskipun pendidikan dan pembelajaran adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan bagai 2 sisi dalam satu koin logam, kita sering terjebak pada paradigma yang yang tidak komplit. Kita sering mengkonotasikan tidak lancarnya pendidikan dengan gaji guru yang kurang, sekolah yang kurang dana, sekolah yang rubuh, ataupun kurikulum yang cenderung tidak berubah. Sementara proses pembelajarannya sering tertinggal dan tidak didalami.

Kita pasti bisa mengenali betapa banyaknya hambatan yang menyebabkan proses pembelajaran tidak berjalan lancar dan betapa kita sering menutup mata pada keluarannya. Kita sering tidak mempelajari ”kondisi lapangan” beserta kompleksitasnya sehingga kita tidak tahu apakah pembelajaran ”kena” atau tidak. Belum lagi, kesempatan ”benchmark” atau ”studi banding” sering tidak kita manfaatkan betul sebagai ”pelajaran”. Kita pasti sadar betapa sering kita membuang muka, dan pura-pura tidak tahu mengenai kesalahan pemahaman, persepsi, ketidakjelasan dalam proses pembelajaran yang tidak kita benahi sampai tuntas. Bahkan, hal yang paling mudah dipersalahkan adalah programnya, pelatih, guru atau dosennya, atau sekalian saja lembaganya.

Ketika Peter Senge (1990) mengeluarkan bukunya Fifth Discipline banyak organisasi terhenyak dan menyadari betapa mereka hanya berkonsentrasi pada upaya mengajar tetapi tidak berfokus pada pembelajaran. Kita pun, di Negara tercinta ini juga terhenyak bila melihat bahwa pembelajaran yang kita hasilkan sesudah merdeka ini kalah oleh negara tetangga yang pernah mengimpor guru dan dosen dari Indonesia. Kita sangat menyadari bahwa sebenarnya pembelajaran, yang tidak selamanya merupakan hasil dari sekolah dan universitas, banyak gagal ketika kita tahu bahwa mayoritas penduduk masih mau menelan nilai-nilai yang tidak produktif dan positif, serta “awareness” yang kurang terhadap kemanusiaan, lingkungan, moral yang pada akhirnya membawa perlambatan pembelajaran, kalau tidak sampai pada pembodohan.

Peter Senge berpendapat bahwa pembelajaran terjadi bila individu secara teratur diberi ruang untuk menemukan dan mengkreasikan realitas yang dihadapi atau dipelajarinya. Dengan demikian, individu dalam setiap tahapan menjadi manusia yang baru, bisa melakukan, memahami atau menghayati sesuatu yang sebelumnya belum dialaminya, bisa mempunyai persepsi yang berbeda terhadap realita yang dihadapinya, dan menjadi bagian dari terbentuknya generasi yang punya paradigma baru.

Untuk menjadikan sebuah organisasi atau bahkan negara pembelajar, kita memang perlu meninjau dan membangun kembali beberapa aspek sikap mental. Hal-hal ini perlu kita tekuni dan yakini dengan penuh kesabaran, sehingga menjadi sebuah kumpulan keyakinan dan obsesi kita:

Jangan Meraba-raba

Secara “back to basic” marilah kita tinjau sikap kita mengenai akurasi dan presisi. Kita perlu belajar untuk tidak asal cuap, ngawur, atau mengira-ngira data dan fakta yang sebenarnya bisa dicari dan dibuktikan. Sudah banyak contoh membuktikan bahwa ketidakakuratan dalam pencarian fakta menyebabkan negara rugi bermilyar-milyar US dollar. Dan, karena mayoritas masyarakat sudah terbiasa hidup dalam ketidakakuratan, menyukai “plesetan”, tidak ada pihak tertentu yang berobsesi untuk memperoleh data yang benar.

Eksperimen dan Riset Tidak Selalu di Laboratorium

Dari seorang eksekutif yang berhasil, saya belajar bahwa dalam kegiatan sehari-harinya ia banyak memberi judul “riset” atau “eksperimen” terhadap kegiatan-kegiatan ”mencari tahunya”. Misalnya,”Saya sedang meriset, kamera mana yang paling baik di beli Canon atau Nikon” atau “Saya sedang melakukan eksperimen, apa efeknya kalau saya makan sawi saja selama seminggu”. Tanpa disadari, eksekutif ini melakukan pembelajaran yang sistematis dan meningkatkan kesadarannya dalam memperoleh pengetahuan baru. Ini sangat berguna bagi kita yang memang selalu harus memperluas cakrawala, mendapat ide-ide baru melalui kesulitan dan kesempatan yang kita alami.

Belajar di Mana Saja, Pada Siapa Saja

Dalam budaya paternalistik yang kita pegang, paradigma bahwa otoritas adalah yang paling tahu, paling bijak dan paling menguasai masalah, tentunya harus kita hapus cepat-cepat, karena menghambat pembelajaran. Sudah waktunya kita mengerahkan siapa saja untuk belajar dari mana saja dan siapa saja, serta menguakkan, mengadopsi, menganalisa, menemukan persepsi dari sisi lain ”best practise” dalam implementasi, penyelesaian pekerjaan, sikap kerja. Best practice yang sangat bisa kita tiru adalah banyak organisasi yang kini komit untuk menerapkan sistem ’lesson learnt’, di mana kesalahan dan perbaikan sistem akan disebarluaskan ke seluruh organisasi dan diperlakukan sebagai studi kasus, sehingga setiap individu yang tidak mengalaminya akan belajar dari kejadian ini juga. Beberapa organisasi menyebutkan kegiatan ini sebagai ”Santayana Review” yang berasal dari ahli filsafat George Santayana yang pernah menyatakan: “Those who cannot remember the past are condemned to repeat it.”.

Kita juga bisa belajar kembali, bagaimana cara kita mengajukan pertanyaan dalam mengambil keputusan, menggali pendapat dan masukan orang lain, apakah bawahan, atasan, para ahli bahkan para remaja. Pengetahuan sudah bukan milik elite tertentu lagi. Kita bodoh kalau menghambat tersebarnya segala macam pengetahuan di organisasi kita. Tentunya cara yang ”friendly” untuk menyebarkannya perlu dicari dan disesuaikan dengan situasi massanya.

Mengelola Waktu atau energi

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri


Dalam sebuah pertemuan bertemakan kepemimpinan, seorang GM dari perusahaan properti raksasa mengeluhkan pekerjaannya yang “overloaded”. Tantangan kerjanya dirasa bertambah memusingkan karena ia harus menservis beberapa atasan dengan kemauan yang berbeda-beda dan berubah-ubah, sementara bawahan pun tidak bisa dilepas. Di balik keluhan teman kita mengenai beban dan tanggung jawab yang bertumpuk ini, sesungguhnya ia mengemukakan pula rasa frustrasi atas tidakberhasilannya mengelola waktu yang hanya 24 jam, agar semua pekerjaan tuntas.

Saat sekarang, di mana hampir semua pekerja dan manajer tidak bisa menghindar dari tuntutan pasar, persaingan dan beban kerja yang bertumpuk, rasanya masalah ‘time-management’ semakin usang untuk dibicarakan, karena hanya orang-orang dengan load sedang saja yang masih bisa memikirkan pengelolaan waktu yang normal. Di jaman “hectic” begini, hampir tidak ada lagi pekerjaan yang bisa dilaksanakan santai-santai. Jam kerja yang seringkali terpaksa diperpanjang pada akhirnya memunculkan gejala jenuh, lelah, letih dan sakit pada para professional di perusahaan yang justru produktif. Saat waktu semakin sulit dikelola, sementara tantangan di depan mata wajib kita garap, di manakah ruang bagi kita untuk menjaga bahkan meningkatkan produktivitas?

Jangan Lupakan Sumber Enerji Paling Canggih: Manusia

Di saat banyak perusahaan menuntut karyawan untuk memperpanjang jam kerjanya di jaman ‘hectic’ begini, teman dekat saya, seorang pimpinan perusahaan, membuat kebijakan mematikan lampu dan pengatur suhu ruangan tepat pukul 8 malam. Jadi, silakan pulang sebelum jam 8 malam. Komentar teman saya, “Waktu tidak akan berubah jumlahnya, tetap 24 jam, tapi enerji manusia berubah-ubah. Energi kita bisa berkurang, bisa berlipat ganda, tergantung pintar-pintar kita mengaturnya.”

Kalau dipikir-pikir, kita umat manusia yang bersibuk dengan konservasi enerji, penghematan enerji dan berinovasi dengan pemanfaatan tenaga surya, panas bumi, nuklir, dan lain-lain, seringkali lupa pada sumber enerji yang paling canggih dimuka bumi ini, yaitu ’MANUSIA’-nya sendiri. Betapa kita tahu bahwa enerji bisa berlipat kalau kita bersemangat, tetapi juga akan kendor bila berada dalam situasi yang tidak kondusif. Betapa banyak “jokes” dan ejekan sinis terhadap manusia Indonesia yang katanya hemat kerja otak dan hemat tenaga karena banyaknya orang upahan, sehingga pemikiran mengenai enerji pribadi termasuk dalam urutan “buntut”.

Bicara enerji pribadi, kita pasti pernah mengenal seseorang yang ‘tidak ada matinya’ dalam bekerja, berstamina kuat, daya pikir tajam, emosi stabil dan tetap ”enjoy” berkarya di tengah pekerjaannya yang menggunung. Ibarat mesin, kapasitasnya besar dan produktivitasnya tinggi. Teman saya, ketika ditanya darimana saja datangnya enerji tersebut, mengatakan bahwa enerjinya datang dari “passion” dan “keharusan” untuk menggarap hal-hal yang belum selesai atau tidak beres. Semua “pending matters”, tugas, tantangan, dan permintaan dianggap proyek yang harus dituntaskan. “Karena saya betul-betul ingin menuntaskannya, maka saya bergerak”.

Seorang ahli yang memang menyetujui bahwa enerji pribadi memang perlu dikelola, di ‘strategize’ dan diatur mengatakan bahwa sumber enerji pada manusia ada pada fisik, emosi, pikiran dan spiritnya. Dalam tiap unsur ini enerji dengan mudah bisa direntang tidak berbatas. Agar tidak mudah kehilangan spirit, kita rasanya perlu untuk selalu bertanya pada diri sendiri mengenai apa yang paling penting dalam hidup kita, yaitu nilai-nilai pribadi. Dengan memahami hal yang penting dalam hidup kita, rasanya kita tidak perlu didorong-dorong untuk melakukan tugas kita, sehingga akan lebih hemat enerji.

Enerji Bisa ’Diisi Ulang’

Hal yang saya amati adalah bahwa gejala lesu dan lemah justru sering dialami dan diderita oleh mereka yang tidak rajin berolah raga, tidak gesit dan tidak senang bergerak. Gelaja sering menguap, tidak tenang, sulit berkonsentrasi ini disebabkan karena reservoir enerji kita sedang terkuras. Masalahnya adalah bahwa sebenarnya reservoir ini bisa diisi terus kalau individu menyadari bahwa ia mampu mengisi ulang enerjinya. Kebiasaan seperti berdiri dan menghentikan pekerjaan beberapa menit, sebenarnya melemaskan tidak saja otot tubuh tetapi juga otot-otot yang berada di dalam otak. Itulah sebabnya mengapa ide-ide kreatif biasanya justru muncul pada saat kita tidak menghadapi layar komputer atau kertas kerja kita.

Beberapa teman yang tiba tiba “dicopot” dari jabatannya saya amati bagai orang yang menjadi tidak sabar dan cepat marah. Di sini terbukti bahwa suasana hati atau emosi yang positif benar-benar memproduksi enerji lebih. Ini juga alasan mengapa banyak orang berusaha untuk membina hubungan dengan bawahan dan teman kerja secara lebih kental, agar juga mendapat kesempatan untuk melihat masalah dari berbagai persepsi dengan lebih jelas, logis, dan reflektif.

Waspadai dan Optimalkan Teknologi

Budaya telpon genggam dan pengelolaan beberapa telpon sekaligus tanpa kita sadari membuat “alertness” kita dituntut 24 jam /7 hari. Ini baik untuk beberapa situasi, misalnya budaya servis yang memang dituntut untuk waspada 24 jam. Namun, bagi individu yang kurang mampu mengelola enerjinya melalui media lain, hal ini bisa menyebabkan daya pikirnya tidak pernah beristirahat, sehingga ia sulit berfokus lagi. Ada penelitian yang mengatakan bahwa rapat-rapat yang memperbolehkan pesertanya menghidupkan email dan ponsel akan berlangsung 1-2 jam lebih lama dari yang seharusnya. Jadi sebetulnya, tidak ada salahnya kita meninjau kembali penggunaan ponsel dan komputer kita, misalnya tidak membawa komputer dalam rapat dan tidak menyalakan ponsel selagi bertatap muka. Selain hal ini meredakan fungsi pikir, situasi ini juga membuat kita bisa lebih menikmati tatap muka dan berfokus pada situasi, body language dan proses merespek lawan bicara dan menyimak yang lebih baik.