Minggu, 18 Mei 2008

KEMATANGAN

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Ketika diminta oleh lembaga keuangan paling bergengsi di negara kita ini untuk mendefinisikan ‘maturitas’ alias ‘kematangan’, dalam rangka seleksi calon pimpinan, dengan fasih saya mendeskripsikan lima persyaratan kematangan pribadi yang saya pelajari dari almarhum dosen Psikologi Kepribadian di universitas, yaitu: berpikir obyektif, berpikir positif, mampu mengendalikan dan menyalurkan emosi, bertanggung jawab, serta mampu membina hubungan interpersonal yang harmonis dan konsisten dalam waktu yang relatif panjang. Bagi saya, materi ini adalah hafalan utama yang sudah tertanam sejak di awal bangku kuliah. Namun kemudian, saya berpikir sendiri, mengapa hal ini diangkat ketika ada pemilihan calon pemimpin? Ada apa dengan kematangan para eksekutif kita?

Dari hasil diskusi dan penggalian, maka kami dari Experd melihat bahwa kematangan pribadi akan dijadikan kriteria utama dalam pemilihan calon pemimpin.”Kita di lembaga ini pintar-pintar semua, namun justru yang sedang dicari adalah pemimpin yang punya ciri kematangan yang disebutkan tadi.”, tutur penanggung jawab seleksi tersebut. Konon ketidakmatangan ini sering terlihat pada ketidakberanian calon pemimpin untuk mengambil keputusan, memaksakan pendapat, meng-“abuse” kekuasaan, serta ketidakmampuan menbina hubungan antar manusia secara fair dan bertanggung jawab. Dari kenyataan ini, kita bisa belajar bahwa pada dasarnya pendidikan dan kepintaran tidak selamanya berkorelasi dengan kematangan pribadi, terutama kalau individu mengembangkan fungsi-fungsi di dalam dirinya secara berat sebelah, misalnya saja banyak berpikir tanpa mengembangkan kepribadian dalam kehidupan sehari-hari di organisasi.

Kematangan Bisa Terkikis dan Menular
Bagi kebanyakan orang, kematangan ditandai dengan kedewasaan yang diindikasikan dengan keberanian memasuki jenjang perkawinan, punya penghasilan sendiri serta lepas dari bimbingan orang tua. Namun, terutama dalam situasi menekan, kritis dan berisiko, kita sendiri kemudian dapat menyadari ataupun menyaksikan bahwa respons individu sering menunjukkan ketidakdewasaan. Seorang atasan bisa saja “mengecilkan” harga diri bawahannya sedemikian rupa, sehingga setiap individu yang menyaksikan kejadian tersebut bisa melihat bahwa sang atasan-lah yang tidak bijaksana. Seorang professional pun bisa tidak mengakui kesalahan yang dibuat, bahkan menuding orang lain yang perlu bertanggung jawab atas kesalahan yang dibuatnya. Bila dibahas lebih dalam lagi, maka kita bisa menyimpulkan bahwa tidak bijaksananya individu disebabkan karena ia belum mencapai tingkat kematangan yang diharapkan baik oleh lingkungan maupun oleh dirinya sendiri.

Kenyataan yang perlu kita simak bersama adalah bahwa kematangan tidak diturunkan, bukan bawaan sejak lahir, tetapi benar-benar dipelajari dan dilatih. Selain itu kematangan atau ketidakmatangan juga bisa terkikis dan menular. Bayangkan betapa menyedihkannya bila menyaksikan seorang yang sudah berangkat matang, kemudian merosot karena berada di lingkungan yang bobrok. Seorang ahli psikologi sosial bahkan menuliskan bahwa kematangan atau ketidakmatangan bisa merupakan ciri sekelompok orang, misalnya kelompok orang yang terlalu fanatik sehingga mempunyai keyakinan-keyakinan yang tidak obyektif lagi ataupun kelompok orang yang mempunyai norma yang jelas-jelas sudah tidak diterima masyarakat tetapi tetap membenarkannya. Bahkan bangsa tertentu juga bisa secara tidak matang menentukan arah politiknya, sehingga mengakibatkan penderitaan jutaan orang.

Pertajam Kesadaran
Seorang teman saya, membutuhkan waktu sangat panjang untuk meninggalkan pekerjaannya yang sangat nyaman namun tidak memancing tanggungjawab, bahkan memperlakukannya sebagai robot. Pekerjaannya demikian bertumpuk, sehingga selama lebih dari 5 tahun, ia tidak punya kesempatan menampilkan kemampuannya untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar. Ketika ia memberanikan dirinya untuk meninggalkan pekerjaan tersebut, ia merasakan banyak kekurangan dirinya, baik dalam ketrampilan teknis dan juga hubungan interpersonal. ”Saya merasa dibutakan dalam lingkungan yang nyaman. Saya merasa ketinggalan” katanya. Untung saja teman kita ini masih mempunyai kemampuan untuk menyadari kekurangan dan mempunyai hasrat untuk mengembangkan diri.

Hal yang sering terjadi adalah bahwa kenyamanan lingkungan kerja dapat menyebabkan orang tidak berani keluar dari lingkungan tersebut, memelihara sikap kebal dan pengecutnya, bahkan mengembangkan imaturitasnya sampai tua. Tumpulnya kesadaran yang dipelihara sering menyebabkan ketidakmampuan individu untuk berdialog dengan hati nurani atau katahatinya, sehingga ia kehilangan kacamata obyektif dan positifnya dan memang ”dibutakan” dari relitas.

Perkuat Sifat Ksatria
Tindakan ”hara-kiri” (bunuh diri demi kehormatan) memang sudah tidak banyak terjadi di Jepang, negara di mana kebiasaan itu dilakukan oleh para Samurai di jamannya. Di jaman modern ini, mungkin budaya seperti itu tampil dalam bentuk budaya ”shame and guilt” alias malu, seperti.tindakan mengundurkan diri pejabat yang bertanggung jawab terhadap kejadian yang merugikan atau mencelakakan orang lain atau negara, sekedar untuk membuktikan sikap ksatrianya . Seorang ”guru” mengatakan”Maturity is humility. It is being big enough to say, ‘I was wrong’. And, when right, the mature person need not experience the satisfaction of saying, "I told you so."

Berbeda dengan prestasi, individu memang tidak bisa ”pamer kematangan” dengan mudah, tetapi harus membuktikannya dengan tindakan yang teruji. Sikap obyektif, positif, bertanggungjawab dan matang emosi hanya bisa ditakar dalam hati. Bila seorang pimpinan ingin bersikap bijaksana, adil dan ”fair”, maka ia perlu menyelesaikan pergulatan dan konflik internalnya di dalam hati dan tidak menyatakan keras-keras,”Saya mengambil keputusan yang bijaksana, loh”. Kita, bangsa Indonesia, memang pintar-pintar, tinggal pe-er di depan mata adalah menjadi bangsa yang matang.

K A Y A

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri


Diuntungkan oleh adanya berbagai milis di internet, kita bisa “menonton” hal-hal yang oleh mayoritas kita tidak pernah kita alami. Salah satu kabar tergres dari sebuah milist menggambarkan:”Di tengah kemiskinan yg menggerogoti bangsa ini, tiga menteri dan ratusan pengusaha kakap hadir di Singapura untuk menghadiri acara pernikahan seorang konglomerat kelas kakap Indonesia. Daya pikat pesta tak sebatas lagu-lagu nostalgia, kristal, semerbak bunga dan kaviar hitam dari Laut Kaspia, tapi juga dengan diperlihatkannya berlian-berlian superlangka. Tak berlebihan kalau ada yang berbisik bahwa inilah pesta taipan terbesar di awal Tahun Tikus.” Entah bagaimana kita masing-masing menyikapi realita semacam ini. Mungkin ada yang merasa seperti seorang anak membaca buku princess dengan sepatu kacanya atau seperti seorang gadis remaja yang berada di depan etalage butik Hermes dan tidak berangan-angan apa pun, seperti memiliki tas, sepatu, baju puluhan juta rupiah itu, karena realita itu “terlalu jauh” dan tidak terbayangkan olehnya. Pertanyaannya, kalau kesenjangan sebegitu jauh, tidak mungkinkah kita yang biasa-biasa ini merasa kaya? Tentunya kita sama-sama mengerti bahwa kesenjangan kaya miskin di negara kita sangat besar. Tetapi bukankah itu hanya mengacu pada satu ukuran, yaitu finansial?

Seorang psikolog tua Abraham Maslow pernah mengemukakan teori pemuasan kebutuhan, yang menggambarkan hirarki kebutuhan manusia dari yang paling rendah, yaitu sandang pangan papan, ke level berikutnya yaitu rasa aman, lalu dilanjutkan dengan kebutuhan sosial, lalu “self esteem’ dan terakhir aktualisasi diri. Dalam teorinya, Maslow mengemukakan bahwa kebutuhan di tingkatan yang lebih bawah perlu dipenuhi dulu, sebelum kebutuhan di tingkat selanjutnya dirasakan mendesak. Jadi kalau belum cukup makan, maka individu tidak akan terdorong memenuhi kebutuhan untuk ”gaul”. Tentunya teori ini hanya berlaku bila ukuran ”cukup” bagi individu jelas. Individu yang tamak, tentunya ukuran “cukup”-nya berbeda dengan individu yang merasa “puas” dengan hal-hal yang sedikit dan lebih sederhana. Yang jelas, tidak semua kebutuhan yang dirasakan oleh individu perlu diakomodir oleh uang. Ini tentunya ”good news” bagi kita yang kebetulan tidak berkesempatan mempunyai akses ke ”kelebihan finansial” yang berlimpah, tetapi ingin juga merasa ”kaya”.

Merasa Kaya melalui Kontribusi

Dalam sebuah pertemuan yang diadakan oleh almamater saya, Fakultas Psikologi, beberapa dari kami, terhenyak ketika diminta menjawab pertanyaan: “Apa yang sudah Anda sumbangkan pada almamater?” Ada teman yang spontan menjawab bahwa ia giat mengupayakan pembangunan gedung fakultas, ada yang mengarang hymne dan adapula yang aktif dalam kegiatan kegiatan dies natalis. Saya pribadi merasa tertampar dan sangat menyadari betapa selama ini belum ada kontribusi signifikan yang saya sumbangkan ke fakultas. Apapun kontribusinya, seberapa pun besarnya, kepada lembaga, mulai dari yang sekecil apapun, baik keluarga, rukun tetangga, almamater, perusahaan bahkan negara, bila kita sudah melakukannya, sebenarnya bisa membuat kita berjalan lebih tegak dan ”merasa kaya”.

Beberapa waktu yang lalu, di harian Kompas, diceritakan kisah seorang bernama Yadi, guru olahraga di daerah sukabumi yang bergaji 100 ribu sebulan dan rela mengajar, mengawasi murid dengan penuh tanggung jawab. Pak guru tadi mungkin perlu memutar otak dan tenaga untuk menjawab pertanyaan, ”makan apa esok hari”. Namun, sumbangannya dalam dunia pendidikan, dengan semangat menggebu-gebu, ambisi dan misi yang jelas dan di-”enjoy”-nya, bisa membuatnya merasa ‘kaya’ dengan cara yang berbeda.

“Mengisi” Diri dengan Aspek Kehidupan Lain

Teman-teman saya di milist ”penggemar makan” adalah orang-orang istimewa. Meski latar belakang pendidikan dan pekerjaannya beragam, mereka punya kebiasaan yang kurang lebih sama. Di samping membahas, mengupas dan men-share pengalaman mengenai makanan, pengalaman hidup yang signifikan seperti perjalanan, kamera baru, pernikahan ataupun situasi ”menjadi ibu baru” pun ditulis. Dalam milist itu, kita pun saling membahas apresiasi kita terhadap persahabatan dan kekeluargaan di antara kita, sehingga terasa sekali bahwa setiap individu anggotanya masing-masing ”enjoy”, merasa bahagia dan ’berisi’. Ternyata, dari pertemanan sederhana ini kita bisa belajar bahwa tidak selamanya harta yang berlimpah membuat orang merasa kaya. Kekayaan pengetahuan, perasaan, reaksi emosi, kreativitas, struktur kepribadian yang demokratis dan terbuka menyebabkan orang merasa bebas, tidak terkungkung dan bisa menjangkau apa yang diinginkannya secara realistis.

Menjadi ”Kaya” melalui Pilihan

Sebagai bangsa yang merdeka, setiap individu sebenarnya bisa memanfaatkan kebebasan memilih jalan pikir, rasa dan tindakannya. Setiap pilihan yang cermat akan membuat individu puas dan merasa hidup lebih baik. Bila kita kurang menyadari bahwa pilihan pengalaman dan perasaannya dalam interaksi dengan orang lain bisa ’memperkaya’ diri kita, maka pengalaman dengan orang tertentu sering ”lewat begitu saja” dan tidak dihayati dengan mengerahkan seluruh penginderaan sehingga pengalaman tidak terpotret kemudian terserap secara optimal, di samping tidak terintegrasi dengan perasaan yang menyertainya. Ketidaksadaran dan ketidakmampuan inilah yang sering menyebabkan orang yang kaya uang makin berusaha menimbun kekayaanya atau orang yang tidak mempunyai cukup uang merasa miskin.

Andaikata saja tiap individu menyadari bahwa ia juga bisa mendapatkan kepuasan bahkan penghargaan dirinya melalui pilihan dan optimalisasi fungsi pikir, pekerjaan tangan, ketrampilan dan karyanya, apakah sebagai konglomerat, guru atau bahkan tukang sapu, rasanya setiap orang berhak dan tidak sulit untuk merasa ”kaya”.

PEREMPUAN

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri


Lima belas tahun lalu seorang teman saya, yang sekarang sudah menjadi Doktor, Kristi Purwandari, secara menggebu-gebu mengutarakan obsesinya dalam menggalakkan, mempermudah, men-“support” dan memajukan perempuan. Ketika itu saya tidak terlalu berempati padanya karena saya beranggapan bahwa ke-”kalah”-an atau kelemahan perempuan dilatarbelakangi oleh persepsi diri dan masyarakat saja, sehingga otomatis akan berkembang sesuai jamannya. Saat sekarang, di mana dunia kerja begitu membutuhkan orang-orang pintar dan professional, terasa bahwa anggapan saya tidak 100% benar. Ternyata, kita memang perlu sekali menaruh perhatian pada wanita, dalam hal ini tenaga kerjanya, yang bila tidak hati hati akan terbuang percuma.

Bayangkan data yang dicatat oleh departemen tenaga kerja di Amerika: 22% wanita yang bertitel dan berpendidikan tinggi tidak bekerja, sementara 66% wanita yang tidak bekerja penuh sebenarnya mendambakan kerja “full time” dan “all out”, tetapi terhambat oleh peraturan perusahaan dan kewajiban rumah tangganya. Bukankah kenyataan ini berarti membuang-buang tenaga kerja potensial dan intelektual pula? Nampaknya, diam-diam, baik laki laki maupun perempuannya sendiri, baik perusahaan sebagai otoritas atau bahkan pemerintah, belum menaruh perhatian detil dalam mengoptimalkan potensi perempuan dalam industri, sehingga potensi wanita ini tetap tidak tergarap.

Ketimpangan yang Terus Berlanjut

Tidak hanya disuarakan oleh wanita, para CEO, DPR, menteri, bahkan presiden setuju bahwa wanita perlu perhatian khusus dan mendapatkan hak yang lebih setara dengan pria. Dalam realitas, kita sama-sama tahu bahwa gaji wanita rata-rata lebih rendah daripada pria untuk pekerjaan yang sama. Bahkan tercatat di golongan top eksekutif yang berpenghasilan tertinggi, jumlah wanitanya hanya 6,4%. Pria pun tercatat lebih tinggi 2,5 kali kemungkinannya untuk menduduki posisi manajer. Dalam pembagian tugas di kantor, tugas yang menantang tanpa sengaja lebih banyak dilimpahkan pada pria. Pemimpin wanita yang dominan, tegas, dan ambisius dinilai tidak feminin dan dianggap tidak wajar.

Sebaliknya dalam rumah tangga, wanita sebagai ibu memang tetap memegang peran penting, ketimbang pria sebagai ayah. Bila ada masalah dengan anak sakit, pembantu mudik, maka wanitalah yang akan minta ijin untuk mengelola rumah tangganya. Secara signifikan wanita tetap dominan dalam membantu peer anak, mengatur aktivitas anak di rumah atau di luar rumah, membersihkan rumah, menyediakan makanan dan berbelanja. Tentunya kenyataan ini juga melatarbelakangi alasan mengapa wanita masih kurang mendapat kesempatan berkarir secara “all out” di pekerjaannya.

Bertahan di Pekerjaan dan Sukses

Ketika saya menanyakan apa alasan seorang teman wanita yang sukses di pekerjaannya, ia mengatakan bahwa ia selalu membayangkan apa yang terjadi pada usia 45 tahun bila ia tidak bertahan dalam pekerjaannya. Bayangan ini menyebabkannya bertahan dan berusaha bernegosiasi, berkompromi baik dengan manajemen perusahaannya maupun dengan keluarga. Ia bahkan mengatakan bahwa ia sangat sadar bahwa dunia ini memang berpihak pada kaum pria. Ia tetap mengakui bahwa hidup memang tidak “fair” dan sangat sadar bahwa menunggu uluran tangan untuk dibela atau ditolong adalah hal yang mustahil. “Kitalah yang perlu memelihara ambisi untuk survive dan sukses”, ujarnya. “Kita sendiri pun perlu membuktikan bahwa sebagai individu, lingkungan tidak bisa menganggap diri kita tidak komit, tidak mampu melakukan “problem solving” dan tidak tertarik pada kepemimpinan dan uang”.

Mengikis Stereotipe dan Memperjuangkan Potensi

Ketika teman saya dan pacarnya yang sekantor harus memilih salah satu dari mereka harus mengundurkan diri, karena akan menikah dan terkena peraturan dilarangnya suami istri sekantor, si pria berinisiatif untuk berwirausaha dan mengasuh anak, sementara si wanita bertahan bekerja di kantor. Pilihan ini ternyata merupakan cikal bakal suksesnya usaha suami dan menciptakan banyak kemudahan untuk pengasuhan anak, karena kebebasan waktu sang suami dan ketrampilan suami mengurus anak. Dari kejadian ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa keputusan untuk mengurus rumah tangga, tetap bertahan di pekerjaan sering kali didasarkan pada stereotip pembagian peran pria wanita, dan bukan pada potensi dan kebutuhan. Bila seorang wanita memang mempunyai prospek dan potensi untuk berkarir di kantor, dan suami memang sanggup mengelola rumah tangga, mengapa tidak suami yang tidak ngantor?

Perusahaan Bisa lebih ”Untung”

Para pimpinan perusahaan biasanya belum “walk the talk” dalam mengangkat potensi wanita. Tidak ada kebijakan khusus yang dibuat untuk menghindari wanita berhenti bekerja karena tuntutan perannya sebagai ibu. Kondisi seperti ini tentunya membuat ketimpangan antara pria dan wanita serta penghambatan potensi wanita berlanjut terus.

Sebenarnya perusahaan perlu lebih cermat menghitung seberapa banyak biaya yang dikeluarkan untuk merekrut dan mengembangkan profesionalnya bila tidak berhasil mengoptimalkan talenta yang ada. Keponakan laki-laki saya yang bekerja di sebuah perusahaan asuransi besar di Negeri Belanda, mempunyai hak yang sama untuk bekerja 4 hari dalam seminggu dengan alasan mengurus anak. Dengan demikian, perusahaan, yang berprinsip ”membela kepentingan keluarga”,bisa mempunyai kesempatan menggali potensi karyawan wanitanya, yang kebetulan tidak memerlukan pengurangan waktu kerja. Banyak juga perusahaan yang memberlakukan penghitungan masa kerja yang lama, terhadap profesional wanita yang kembali bekerja setelah berhenti beberapa saat karena alasan keluarga. Dengan upaya-upaya yang cerdik ini perusahaan justru bisa mengambil keuntungan dari potensi yang lebih besar baik secara kuantitas maupun kualitas dari para wanita.

Pelajaran Leadership dari Vladimir Putin

by Yodhia Antariksa

Bravo Rusia. Bravo Vladimir Putin. Itulah dua kalimat yang terlintas dalam hati ketika saya membaca edisi akhir tahun majalah TIME. Melalui serangkaian proses yang ekstensif, tim redaksi majalah TIME akhirnya menobatkan Presiden Rusia, Vladimir Putin sebagai Person of the Year 2007 – sebuah penobatan prestisius yang telah dilakukan oleh majalah TIME sejak tahun 1927.

Melalui beragam sepak terjangnya yang menggetarkan dan acap menuai kontroversi, Putin memang telah berhasil membawa kembali Rusia sebagai sosok disegani dalam panggung geopolitik dunia. Ia berhasil membawa kemakmuran bagi segenap rakyat Rusia, dan yang terpenting, berhasil menegakkan rasa bangga dan martabat bangsa Rusia ditengah blantika ekonomi global. Lalu pelajaran manajerial dan leadership apa yang bisa dipetik dari bekas Komandan KGB ini?

time-cover-story.jpg Ketika membaca kisah kepemimpinan Vladimir Putin, saya jadi teringat dengan salah satu pendekatan populer dalam teori kepemimpinan – yakni, pendekatan contingency model of leadership. Ide dasar dari pendekatan ini adalah : efektivitas leadership seseorang akan amat bergantung pada kombinasi gaya kepemimpinan yang bersangkutan dengan situasi atau konteks tantangan yang dihadapi lingkungannya. Efektivitas hanya akan mekar secara optimal jika terjadi sinergi yang pas antara gaya kepemimpinan yang dilakoni dengan karakteristik tantangan yang dihadapi.

Dan persis itulah yang terjadi pada Putin. Gaya kepemimpinan Putin yang cenderung otoriter, amat menekankan stabilitas dan kontrol, tegas dan penuh disiplin ternyata amat cocok dengan konteks situasi dan tantangan yang dihadapi Rusia saat ia maju sebagai presiden pada tahun 2000. Saat itu, ekonomi Rusia hancur, berpotensi terbelah-belah, dan berada dalam situasi chaos akibat dijarah oleh para baron mafia dukungan “kebijakan Barat”. Dan saat itu pula, Putin datang dengan membawa kepastian, kontrol dan ketegasan. Hasilnya : keteraturan dan stabilitas yang penuh kepastian, dan ini ternyata mujarab untuk menggelindingkan roda ekonomi serta kemakmuran bagi segenap rakyat Rusia.

Saya berpikir, jenis tantangan dan kompleksitas masalah yang dihadapi Indonesia sejatinya mirip-mirip dengan Rusia (paling tidak dari segi skala luas negara dan jumlah penduduk, kedua negara cukup memiliki kesamaan). Karena itu, saya membayangkan gaya kepemimpinan seperti Putin boleh jadi akan lebih pas untuk membawa efektivitas pada manajemen pemerintahan di negeri ini.

Sayangnya, yang menjadi CEO negeri ini adalah bapak SBY – dan disitulah mungkin letak masalahnya. Leadership style dari pak SBY yang cenderung soft, penuh pertimbangan, dan too conceptual boleh jadi tak pas benar dengan jenis dan kompleksitas tantangan yang dihadapi negeri ini. Dengan kata lain, gaya kepemimpinan pak SBY tidak begitu kompatibel dengan karakteristik tantangan yang tengah mendera penduduk tanah air.

Mengikuti alur pendekatan contingency model of leadership, gaya memimpin dari pak SBY tersebut mungkin akan lebih pas untuk konteks negara semacam Denmark atau Swedia dimana lingkungannya sudah serba teratur, semua sistem telah berjalan dan kondisi masyarakatnya sudah sangat well-educated. Sebaliknya, di negera semacam itu, gaya kepemimpinan Putin mungkin justru akan membawa petaka – sebab ia mesti berhadapan dengan situasi dan konteks tantangan yang berbeda sama sekali dengan Rusia.

Bagi Anda para praktisi pengelola SDM, uraian dari pendekatan contingency model diatas membawa pesan yang jelas : dalam proses memilih dan mengembangkan para future leaders and managers, langkah identifikasi mesti ditembakkan pada dua arah : gaya kepemimpinan para kandidat dan juga konteks tantangan masa depan yang akan dihadapi. Harapannya akan bisa terbangun senyawa yang sinergis antara leadership style sang calon dengan dinamika tantangan yang akan dihadapi.

Dengan kombinasi yang pas itulah, Anda baru bisa berharap memunculkan bintang-bintang pemimpin masa depan seperti Vladimir Putin. Dan dengan itu pula, Anda bisa menebarkan kejayaan nan mengesankan layaknya kebangkitan Rusia Raya.

Seberapa Effektif Training ESQ dan sejenisnya ?

by Yodhia Antariksa

Dan pelan-pelan lampu disegenap sudut ruangan diredupkan. Lalu lamat-lamat terdengar alunan musik yang menyentuh hati. Suasana sejenak kemudian menjadi senyap. Dalam desau keheningan, sang instruktur lalu melantunkan kalimat demi kalimat nan syahdu tentang kebesaran Sang Ilahi, sembari mengingatkan deretan dosa yang telah dilakukan kepada orang tua, kerabat dan sahabat.

Perlahan-lahan, isak tangis terdengar di segenap sudut ruang, dan kemudian puluhan atau bahkan ratusan peserta training itu tenggelam dalam raungan tangis, dalam sembilu kepedihan dan penyesalan atas segenap dosa yang telah mereka perbuat selama ini.

Itulah salah satu segmen yang akan kita temui jika kita mengikuti training ESQ atau training sejenisnya yang mengusung tema tentang spiritualitas dan etos kerja. Ribuan peserta – termasuk para pejabat BUMN dan pemerintah daerah – telah mengikuti training itu, dan ribuan orang itu selalu tenggelam dalam apa yang saya sebut sebagai momen pengakuan dosa massal dalam haru biru penuh tangisan penyesalan.

Pertanyaannya : kenapa beberapa bulan sesudah itu, para peserta kembali melakoni ritus lama, kembali melakukan suap menyuap, praktek kolusi, dan sejenisnya; dan juga kenapa kinerja perusahaan atau organisasi mereka tak kunjung meningkat secara dramatis. Tanya, kenapa?

Salah satu sebab yang paling fundamental adalah ini : para peserta atau organisasi penyelenggara training semacam ESQ itu malas melakukan pengukuran efektivitas training (pelatihan) secara tuntas dan sistematis.

Dan akibatnya adalah sebuah tragedi : segenap training yang telah menghabiskan anggaran milyaran rupiah itu hanya terpelanting menjadi “tangisan sesaat” saja. Hanya heboh saat training. Lalu setelah tiga – enam bulan, dilupakan begitu saja. Duh.

Harus diakui proses mengukur efektivitas training secara komprehensif memang bukan hal yang mudah. Namun itu bukan berarti kegiatan pengukuran ini tidak bisa dikerjakan dengan baik dan benar. Hanya sayangnya, masih banyak praktisi SDM yang alpa melakukannya dengan tuntas. Mereka lebih bersemangat saat melakukan proses analisa kebutuhan training. Mereka juga antusias ketika melakukan proses training – persis seperti yang mereka alami ketika tenggelam dalam “tangisan massal” a la training ESQ itu.

Namun sayangnya, antusiasme dan semangat itu seperti mendadak lenyap ketika sudah tiba pada fase pengukuran efektivitas training secara sistematis. Mereka mungkin mengira bahwa proses training sudah selesai sesaat setelah sang trainer menyudahi sesi mereka. Padahal sesi training itu sendiri sesungguhnya justru merupakan awal – bukan akhir – dari sebuah proses belajar yang berkelanjutan dan berjangka panjang.

Jadi, bagaimana mungkin gemuruh semangat training itu akan dapat memberikan impak yang signifikan, jika proses pengukuran efektivitasnya tak pernah dilakoni dengan penuh kesungguhan?

Problem seperti diatas mungkin akan segera dapat diatasi dengan hadirnya sebuah buku tentang proses pengukuran efektivitas training. Buku yang ditulis oleh Teguh Satriono dan Andree MKP ini, bertajuk “How To Measure 5 Levels of Training Evaluation” (meski judulnya memakai bahasa Inggris, namun seluruh isinya menggunakan bahasa Indonesia).

Dalam buku ini, secara runtut kedua penulis menyajikan lima tahapan pengukuran efektivitas training: mulai dari tahap pengukuran kepuasan peserta training, tahapan implementasi materi training hingga tahapan untuk mengukur dampak pelatihan terhadap kinerja bisnis perusahaan. (Penjelasan mengenai pengukuran efektivitas training pernah saya ulas secara rinci disini).

Melalui buku ini kita didorong untuk melakukan pengukuran secara sistematis atas dampak pelatihan terhadap kinerja individu dan organisasi. Dan disini sungguh diperlukan skema monitoring yang teratur dan konsisten untuk memastikan bahwa materi training benar-benar diaplikasikan dalam kenyataan sehari-hari. Sebab hanya dengan skema monitoring yang reguler inilah, sebuah sesi training bisa memberikan dampak yang optimal bagi peningkatan kinerja.

Secara spesifik, skema monitoring ini setidaknya mesti mencakup dua elemen kunci. Elemen yang pertama adalah adanya post-training action plan yang berisikan serangkaian rencana tindakan konkrit yang harus dilakukan oleh para peserta untuk mengaplikasikan materi training yang telah dipelajari. Didalamnya termuat secara rinci jenis tindakan apa yang akan dilakukan, kapan dilakukan dan target spesifik apa yang ingin diraih.

Elemen yang kedua adalah adanya sesi monitoring yang reguler dan dilakukan secara kontinyu, misal setiap 2 bulan sekali selama 24 bulan berturut-turut. Dalam sesi ini mesti hadir para peserta training, pihak atasan, dan juga fasilitator training. Melalui sesi-sesi inilah, pelaksanaan action-plan tadi dipantau dan diuji kemajuannya. Melalui serangkaian sesi ini pula, dibangun sebuah proses kunci : yakni bagaimana menginjeksikan kebiasaan dan perilaku baru sesuai dengan tujuan training.

Keseluruhan proses diatas memang panjang, dan melelahkan. Namun hanya melalui skema semacam inilah sebuah materi training akan terus mengendap dalam jejak sanubari para pesertanya.

Sebaliknya, tanpa sistem monitoring yang berjangka panjang dan sistematis, sebuah materi training – betapapun dahsyat isinya – hanya akan menguap dalam hitungan bulan…… gone with the wind.
Dan air mata pengakuan dosa yang mengharu biru itu, percayalah, akan segera hilang tak berbekas, disapu oleh angin……..

Merancang Kinerja Ekselen dengan NLP

by Yodhia Antariksa

NLP barangkali merupakan salah satu kata kunci yang paling banyak dibincangkan oleh para praktisi perilaku manusia (human behavior) di tanah air beberapa tahun belakangan ini. Apa sebenarnya NLP itu? Dan apa pula metode-metode kunci yang acap diaplikasikan dalam penerapan NLP? Tulisan pendek ini mencoba secara ringkas – namun padat – menjelaskan pengetahuan kunci mengenai NLP. Dengan itu, diharapkan aura magis yang selama ini menyelimuti konsep NLP pelan-pelan bisa mulai terkuak.

NLP sendiri merupakan singkatan dari neuro linguistic programming (wuih, singkatannya serem banget!). Dikembangkan pertama kali oleh Richard Bandler (pakar psikologi dari University of California) dan John Grinder (pakar linguistik), metode ini muncul pertama kali saat mereka meneliti para great performers (kebetulan dalam penelitian ini, profesi para great performers yang diriset adalah para ahli terapis yang sukses. Dalam riset ini, digunakan tiga terapis sukses sebagai responden, yakni : Virginia Satir, Milton Erickson dan Fritz Perls). Pertanyaan kunci Bandler dan Grinder adalah : mengapa tiga terapis ini menjelma menjadi terapis hebat nan ekselen? Apa pola komunikasi, konfigurasi bahasa, dan model perilaku yang dipraktekkan ketiga terapis itu sehingga mereka menjadi sukses dalam menangani para kliennya?

Nah, serangkaian temuan yang di-ekstrak dari riset panjang itu lalu mereka olah dan racik menjadi metode NLP. Esensi dasar dari metode ini sebenarnya adalah optimalisasi pendayagunaan belief (neuro), pola komunikasi (linguistic) dan model perilaku agar kita bisa menuju kinerja yang ekselen. Nah, disini NLP kemudian juga menyodorkan serangkaian metode yang bisa dilakukan agar pola belief dan pola perilaku kita menjadi lebih efektif; dan pada gilirannya mampu menjadikan diri kita lebih optimal kinerjanya.

Lalu apa saja metode yang ditawarkan oleh NLP itu? Berikut ini saya akan mencoba mengeksplorasi tiga metode yang acap digunakan dalam aplikasi NLP (jika Anda ingin mengetahui lebih banyak mengenai NLP, silakan datang ke blog rekan saya, Ronny FR, yang juga merupakan praktisi andal NLP).

Modelling Excellence
Metode ini secara sederhana adalah teknik menduplikasi dan mencangkokkan “keistimewaan” para great performers ke dalam diri kita. Bahasa awamnya adalah : meneladani kisah keberhasilan orang lain. Para pegiat NLP percaya bahwa salah satu cara yang paling powerful untuk meningkatkan kinerja seseorang adalah dengan cara modelling excellence ini. Inilah metode yang diberangkatkan dari satu keyakinan bahwa ketrampilan (skills), pengetahuan dan perilaku dari para excellent performers bisa ditransfer dan direplikasi (penjelasan rinci mengenai langkah demi langkah melakukan modelling excellence ini akan saya bahas dalam tulisan di kesempatan berikutnya. So, keep visiting this blog, bro).

Metode Anchoring
Metode ini adalah sebuah upaya agar kita selalu berada pada kondisi psikologis yang kita inginkan dalam beragam situasi yang mungkin kita hadapi. Caranya pertama-tama Anda mesti membangun situasi psikologis yang ingin Anda simpan, misalnya suasana hati yang kalem dan relax. Lalu ingat dalam situasi apa Anda pernah benar-benar bisa mengalami suasana tenang dan relax; misal ketika Anda bangun di waktu subuh yang sunyi, atau ketika Anda duduk sendirian di pinggir pantai di suatu sore yang teduh.

Rasakan dan resapkan setiap detil dari momen-momen itu, sehingga secara emosional Anda benar-benar merasa tenang dan relax setiap kali mengingat situasi ketika Anda berada di pinggir pantai yang teduh itu. Simpan memori ini kuat-kuat kedalam otak Anda, dan secara berkala “aktifkan” memori itu dengan misalnya, sebuah kode bisikan dalam hati. Sehingga, setiap kali Anda berbisik dalam hati : “relax….”, maka seketika itu pula Anda benar-benar merasa tenang dan relax persis seperti suasana psikologis ketika Anda duduk sendirian di pinggir pantai. Lakukan proses pengaktifan ini secara berulang-ulang, sehingga proses “anchoring” itu berlangsung dengan sempurna dan otomatis.

Apa gunanya proses anchoring itu? Nah, bayangkan suatu ketika Anda harus berbicara di depan publik serta para bos Anda, dan Anda benar-benar merasa nervous. Kalau proses anchoring Anda telah terlatih, maka Anda tinggal membisikkan satu kata di hati : relax……dan abrakadabra, detik itu juga Anda akan berada pada situasi psikologis yang nyaman dan relax (persis seperti saat Anda mengalaminya pada sore yang teduh di pinggir pantai itu). Selanjutnya……..Anda bisa berbicara di depan para petinggi Anda itu dengan nyaman, tenang dan relax.

Proses anchoring ini tentu juga bisa diterapkan dalam situasi lain, semisal : ketika Anda sedang stres dan panik karena deadline pekerjaan, atau juga ketika Anda sedang emosi dengan pasangan hidup Anda. Setiap kali Anda menghadapi situasi rumit seperti ini, maka Anda tinggal bisikkan kata dalam hati : relax, dan seketika itu juga suasana batin Anda bisa lebih tenang dan “nyaman”, sehingga tindakan Anda dalam merespon situasi problematis itu menjadi lebih efektif.

The Map is Not the Territory
Kalimat ini merupakan kalimat favorit para NLP-ers. Intinya : sebuah even (fakta, kejadian, peristiwa) selalu bersifat netral, yang lebih penting adalah persepsi kita terhadap even itu. Anda mungkin pernah mendengar cerita berikut ini : suatu ketika ada dua salesman sepatu dikirim ke sebuah negara seberang. Dua hari setelah melakukan observasi, salesman pertama langsung minta dikirim pulang ke negaranya. Alasannya : tidak ada satupun penduduk di negeri seberang itu yang memakai sepatu. Salesman yang kedua, setelah juga melakukan observasi, langsung mengirimkan fax ke kantor pusatnya, minta dikirimi segera sepatu sebanyak-banyaknya. Alasan dia sama : tidak ada satu pun penduduk di negeri seberang itu yang memakai sepatu. You got the point, right?

Esensinya adalah ini : persepsi kita atas sebuah peristiwa – dan bukan fakta peristiwa itu sendiri – yang akan mempengaruhi pola perilaku dan kinerja kita dalam memaknai perjalanan kehidupan ini. Dalam konteks ini, para pelaku NLP memberi saran, agar kita selalu melihat “sisi positif” dan “peluang” yang ada dibalik setiap kejadian/fakta/peristiwa. Kita mesti bisa melakukan “reframing” terhadap setiap jejak peristiwa dalam sejarah hidup kita : apa hikmah positif yang bisa kita petik dari kejadian ini; apa perspektif lain yang bisa kita kedepankan agar bisa tercapai solusi hidup yang makin optimal.

Dengan kata lain, persepsi kita akan sebuah kejadian bukanlah sebuah kebenaran tunggal – ada persepsi dan sudut pandang lain yang boleh jadi lebih mendekatkan kita pada solusi yang lebih optimal. Tugas kita adalah selalu mencoba mengeksplorasi beragam persepsi dan sudut pandang itu, agar keputusan dan tindakan yang kita ambil benar-benar efektif dan berdaya guna tinggi. Sebab dengan itu, nasib kita mungkin akan lebih baik dibanding salesman sepatu yang pertama itu……