By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri
Sebuah perusahaan yang sukses, namun kegiatan manajemennya dipandang terlalu ’praktis’, menyelenggarakan program bisnis dan manajemen untuk karyawan, yang dilakukan ekstra di malam hari seusai aktivitas kantor. Salah satu peminat program tersebut, dalam acara ’kick-off’ program, menanyakan pada saya mengenai ’agenda’ top manajemen dalam mengadakan program ini. Ternyata, bagi beberapa karyawan di perusahaan yang sudah mencantumkan ’learning organization’ dalam falsafah perusahaannya selama hampir 10 tahun, program yang beragenda untuk ’memintarkan’ karyawan ini, masih dipandang aneh.
Di tengah dunia yang kini menjadi begitu kompetitif dan terus berubah, di mana akses informasi menjadi sangat berlimpah dan terbuka, kita semua makin sadar bahwa hanya individu dan organisasi yang senantiasa belajar-lah yang bisa survive. Namun, sekedar menambah kelas training atau mengirimkan sejumlah karyawan untuk sekolah, nyata-nyata tidak semata lantas membuat organisasi menjadi ’learning organization’. Sebuah lembaga pemerintah bergengsi, yang secara terprogram membiayai karyawannya untuk meningkatkan gelar pendidikan ke jenjang S2, bahkan sangat lumrah sampai ke jenjang PhD, dan sangat rajin mengirimkan para ahlinya ke luar negeri, tetap belum dapat digolongkan sebagai ’learning organization’ karena budaya belajarnya tidak kelihatan dari luar, maupun tidak terasa di dalam.
Menurut para ahli “In a learning organization, when one of us gets smarter, we all can get smarter”. Ternyata, dalam organisasi pembelajar, tidak semua orang harus belajar, tetapi proses pembelajaran akan menular tanpa terasa dan perlahan namun pasti pencerdasan sudah mencapai tingkat yang lebih tinggi tanpa perlu formalitas belajar secara harafiah. Bisa kita bayangkan, kalau dalam sebuah organisasi saja proses pembelajaran formal dan non-formal yang sudah diupayakan mati-matian masih sulit terlaksana, bagaimana nasib sebuah negara yang tidak serius mendesain proses pembelajaran bangsa?
Organisasi Pembelajar:Hasil ‘Shared Experiences”
Dari beberapa organisasi pembelajar yang sukses, kita bisa mem-benchmark beberapa praktik yang sebetulnya sudah kita laksanakan, walaupun belum sistematis. Dalam organisasi pembelajar yang sudah jadi, saya amati individunya menampilkan tindakan yang lebih terkontrol dan kata-katanya tidak sekedar ‘asbun’ (=asbun), namun lebih bisa dipertanggungjawabkan, terkait ‘lesson learned’ dan informasi kunci untuk menampilkan pemikiran terbaiknya. Yang jelas, setiap individu di dalam perusahaan menampilkan sikap “tidak pelit ilmu” dan juga meyakini bahwa kompetensi seperti sikap, nilai, dan ketrampilan juga bisa ditularkan pada orang lain.
Suasana dalam organisasi pembelajar tidak mucul dalam suasana ‘sinau’ (=belajar intensif, bahasa jawa), namun lebih tampak pada diskusi seru, komunikasi intensif, keinginan untuk updating, serta rasa haus akan kesempatan belajar. Pertanyaan-pertanyaan seperti: “Darimana kamu dapat ide itu?”, “Bagaimana sih caranya?”, “Bagaimana kalau…”, berkumandang di rapat-rapat, yang membuat setiap orang di perusahaan seperti berada di sebuah laboratorium raksasa yang tiada hentinya menyambut tantangan yang berasal dari masalah dan kesempatan yang terlihat. Kegagalan atau hampir gagal dan kesuksesan di lapanganlah yang menjadi fokus untuk memperoleh “lesson learned”, bukan semata teori.
Organisasi boleh berharap menjadi organisasi pembelajar, bahkan mengeluarkan banyak biaya untuk mendukung pelatihan dan bentuk program pembelajaran lainnya, tetapi kalau suasana kerja tidak “customer friendly”, kaku, tidak mampu melakukan komunikasi yang ‘menembus’ divisi, doyan berpolitik, berperilaku tidak sejalan dengan misi perusahaan alias penuh birokrasi dan masih sibuk mementingkan kebutuhan pribadi, semua upaya akan percuma. Tampaknya, organisasi pembelajar tercipta hanya bila suasana kerja mendorong “pengembangan pribadi” dan “personal mastery” secara utuh, menyemangati kerja tim, memberi kesempatan untuk “problem solving” dan mengupayakan evaluasi yang jujur dan tulus.
Senantiasa Tumbuhkan Aura ‘Waspada’
Kalau kita ingat di masa sekolah dulu, kita akan belajar lebih intensif bila guru sering membuat pertanyaan tiba-tiba. Sayangnya, di perusahaan , kita sering lupa menghidupkan aura kewaspadaan ini. Ada yang berpikir harus mencari waktu secara khusus untuk mempelajari, menganalisa atau memikirkan sesuatu. Bahkan ada yang berpikir:”Ah, belajar hal baru itu tidak penting. Biarkan yang ‘muda-muda’ saja yang mempelajarinya”. Sikap ‘layu’ inilah yang merupakan cikal bakal kesulitan terbangunnya spirit belajar dari organisasi.
Seorang yang kuat belajar pasti meyakini bahwa dia bisa belajar kapan saja, di mana saja, dan dalam situasi apapun. Hanya saja karena proses belajar tidak dilakukan dalam waktu tertentu dan disengaja, maka kita sebagai individulah yang perlu aktif menangkap signal atau gejala yang secara signifikan bisa menambah wawasan kita, sendiri. Disinilah sikap waspada kita sangat diperlukan.
Belajar Formal Hanya Efektif Bila Semangat Pengembangan Diri Sudah Bangkit
Sebuah perusahaan mengambil langkah untuk meningkatkan kualitas “customer service”-nya melalui program jumpa pelanggan, riset kepuasan pelanggan dan membuka jalur keluhan langsung. Hasil dari program tersebut adalah ‘brutal facts’ dan ‘bad news’ yang bertubi-tubi dan membuat semua orang ‘shock’, sehingga terdorong mencari jalan keluarnya bersama-sama. Tanpa diduga, pada saat inilah organisasi merapatkan barisan, bertekad untuk ‘belajar’ dan mengembangkan diri.
Sebuah studi menemukan bahwa 70% dari pembelajaran di tempat kerja bersifat informal, misalnya dari observasi dan refleksi dari pengalaman individu, tim, perusahaan dan pihak lain. Kita lihat bahwa dalam pembelajaran di tempat kerja, dosis “action” dalam proses belajar memakan hampir seluruh materi pembelajaran. Pencanangan target dan tujuan, rotasi jabatan dan kerjasama lintas fungsi justru merupakan kegiatan ‘belajar’ yang terpenting. Saat semangat untuk belajar, memperbaiki diri dan berubah sudah bangkit dan berapi-api, barulah kemudian pelatihan dan pembelajaran formal bisa lebih efektif sebagai tindak lanjut.
Rabu, 20 Agustus 2008
K a r i r
By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri
Pada sebuah workshop dalam suatu perusahaan, saat peserta diminta menyatakan pendapatnya atas pernyataan: “Atasan adalah penentu karir”, serta merta terlihat respons yang sangat berbeda antara kelompok ‘top manajemen’ dan kelompok ‘manajemen menengah. Para pimpinan merasa bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas karir bawahan, sementara yang dipimpin merasa bahwa karir mereka ditentukan atasan. Jelas-jelas para atasan menganut faham bahwa ambisi, kompetensi bawahan ada di tangan bawahan sendiri sementara bawahan masih bersikap “kumaha juragan wae” .
Persepsi di mana manajemen karir, baik penunjukkan, pengangkatan, dan penilaian datangnya dari ’atas’, memang ada dan masih bisa kita temukan sampai sekarang, terutama di organisasi yang birokratis, seperti organisasi pemerintah atau ketentaraan. Sementara dalam bisnis, dengan berkembangkan praktik yang kompetitif dan semakin nyatanya eksodus akibat pasar kerja global, banyak kita lihat terjadi pergeseran pada hubungan ketenagakerjaan. Metafora seperti “karir itu berbentuk tangga atau piramid”, sudah berganti dengan paradigma baru seperti “jeruk bisa makan jeruk”, “wolak walik ing jaman”; atasan bisa jadi bawahan. Tangga karir yang semakin berkurang anak tangganya, bahkan kadang hilang karena dihilangkannya satu divisi besar dalam organisasi, sudah semakin menggejala.
Demi efisiensi, perusahaan biasa melakukan pengurangan karyawan, ‘delayering’, desentralisasi, automasi dan pengukuran kinerja yang lebih cermat. Kompetensi yang tadinya dikonsentrasikan pada kompetensi teknis, cepat sekali basi dengan tingginya kompetisi untuk meraih excellence. Sebuah perusahaan bisa bangga sekali dengan kapasitas engineering-nya pada suatu waktu, lima tahun kemudian ‘excellence’ ini sudah terkikis dengan dibutuhkannya ketrampilan-ketrampilan baru, misalnya saja peralatan yang semakin dikendalikan software. Menjawab tantangan ini, mau tidak mau, perusahan akan menyuntikkan tenaga-tenaga mumpuni, bila individu dalam perusahaannya tidak meng-update ilmu, lemah dalam problem solving, dan tidak bisa dikembangkan lebih lanjut. Hal-hal inilah yang membuat ’karir’ semakin kompetitif dan semakin sulit ‘digenggam’. Sementara, kita yang berada di perusahaan pun sulit mengajukan diri bila memang tidak memenuhi spesifikasi lagi. Rasa-rasanya, jeritan agar kitalah yang di dalam perusahaan yang perlu diperhatikan tidak akan mempan.
“Career Self-Management” Vs “Career track” Perusahaan
Saat saya bertanya pada seorang karyawan, mengapa ia terlihat lalai dan “kurang awas” terhadap pengembangan kinerjanya, ia menjawab: ”Saya kehilangan buku catatan kinerja saya”. Dari sini kita bisa menyaksikan betapa individu bisa bersandar pada sistem karir yang dibuat orang lain untuknya. Padahal, bukankah kita sama-sama sadar bahwa kita tidak hanya berhak tetapi juga bertanggung jawab 100 % terhadap kebahagiaan karir kita? Paradigma bahwa tidak berkembangnya karir adalah karena lalainya perusahaan sudah mesti kita tinggalkan. Bila tidak, kita akan termakan sendiri oleh stagnannya karir sebelum waktunya karena terninabobokannya kita dalam sebuah organisasi. Dengan bersandar pada prosedur perusahaan, kita akan merasa bahwa ‘feedback’ akan datang dengan sendirinya. Padahal, saat sekarang, masukan dan penilaian, perlu dikejar demi pengembangan diri. Kitalah yang perlu merancang, mengejar, menggapai dan meraih kesempatan, di dalam dan di luar perusahaan.
Kelalaian ini bukan saja terjadi ditingkat bawah. Teman saya, seorang direktur, yang selama 20 tahun “all out” bekerja di perusahaannya, bingung menentukan arah karirnya setelah ia pensiun pada usia pensiun yang wajar. Teman saya ini sangat sadar bahwa ini bukan salah siapa-siapa kecuali dirinya, yang terlambat membuat rencana karir pasca pensiunnya. Teman lain, menahan-nahan karirnya untuk menjadi direktur, karena usianya masih terlalu muda. Menurut pendapatnya ia tidak bisa membayangkan apa yang harus dilakukannya selepas jabatan direktur BUMN ini, karena ia langsung akan dipensiun, berapa pun usianya. Teman-teman kita ini, walaupun posisinya super, ternyata tidak menyediakan alternatif karir. Di masa sekarang, individu yang selalu mempunyai alternatif karirlah yang bisa lebih bebas membuat kesempatan bagi dirinya dan tidak melihat dirinya sebagai korban otak-atik strategi manajemen SDM perusahaan.
“Portfolio Management”: Tambang Emas Individu
Setiap professional, apapun keahliannya, perlu me-”maintain”, mengembangkan dan mengelola portfolionya, yaitu catatan mengenai keberhasilan, daftar proyek, keahlian dan pendidikan yang dikantonginya. Inilah sesungguhnya tambang emas individu. Teman saya, tidak bersedia ‘terlalu berpolitik’ untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi lagi di perusahaan BUMN tempatnya bekerja. Dengan santainya ia mengatakan bahwa dengan kompetensi yang dia miliki, ia menunggu “dilamar’ saja. Bermodalkan portfolio-nya, seorang profesional akan siap menjawab tantangan karir dan menyikapi ketidakjelasan kesempatan lapangan kerja di pasaran. Kunci menebalkan portfolio adalah kita tidak pernah boleh lengah dalam meng-”update” ilmu. Kita pun tidak bisa hanya memikirkan “moving up” saja, tetapi perlu melihat ke “dalam”, selain juga senantiasa memperluas cakrawala ilmunya, bahkan kalau perlu menyerempet kesempatan dengan resiko yang lebih besar.
“Employer” sekarang, berbasis pengetahuan mengenai kompetensi, sudah tidak mudah terkecoh pada kutu loncat berimbalan besar, tetapi akan mengincar professional dengan kompetensi, kemampuan berkembang yang tinggi dan kualitas pribadi yang kuat, seperti kepemimpinan, hubungan interpersonal dan kreativitas. Kompetensi individu bisa berkembang dalam jalur-jalur yang berbeda: spesialis atau generalis, bisa teknikal bisa juga manajerial, bisa ‘dalam’, bisa juga ‘luas’. Ada individu yang kuat dalam penyelesaian proyek jangka pendek, ada pula yang mampu berkelit di organisasi yang birokratis. Ada yang berbakat menjadi pemain di organisasi kecil dan ‘cair’, ada pula yang baru bisa berkinerja bila struktur organisasi jelas. Mengenali kekuatan diri kita, memang bukan tanggung jawab orang lain. Kitalah yang paling tahu, emas tipe apa yang tertimbun di dalam tambang kompetensi kita dan bagaimana menjualnya di pasaran .
Pada sebuah workshop dalam suatu perusahaan, saat peserta diminta menyatakan pendapatnya atas pernyataan: “Atasan adalah penentu karir”, serta merta terlihat respons yang sangat berbeda antara kelompok ‘top manajemen’ dan kelompok ‘manajemen menengah. Para pimpinan merasa bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas karir bawahan, sementara yang dipimpin merasa bahwa karir mereka ditentukan atasan. Jelas-jelas para atasan menganut faham bahwa ambisi, kompetensi bawahan ada di tangan bawahan sendiri sementara bawahan masih bersikap “kumaha juragan wae” .
Persepsi di mana manajemen karir, baik penunjukkan, pengangkatan, dan penilaian datangnya dari ’atas’, memang ada dan masih bisa kita temukan sampai sekarang, terutama di organisasi yang birokratis, seperti organisasi pemerintah atau ketentaraan. Sementara dalam bisnis, dengan berkembangkan praktik yang kompetitif dan semakin nyatanya eksodus akibat pasar kerja global, banyak kita lihat terjadi pergeseran pada hubungan ketenagakerjaan. Metafora seperti “karir itu berbentuk tangga atau piramid”, sudah berganti dengan paradigma baru seperti “jeruk bisa makan jeruk”, “wolak walik ing jaman”; atasan bisa jadi bawahan. Tangga karir yang semakin berkurang anak tangganya, bahkan kadang hilang karena dihilangkannya satu divisi besar dalam organisasi, sudah semakin menggejala.
Demi efisiensi, perusahaan biasa melakukan pengurangan karyawan, ‘delayering’, desentralisasi, automasi dan pengukuran kinerja yang lebih cermat. Kompetensi yang tadinya dikonsentrasikan pada kompetensi teknis, cepat sekali basi dengan tingginya kompetisi untuk meraih excellence. Sebuah perusahaan bisa bangga sekali dengan kapasitas engineering-nya pada suatu waktu, lima tahun kemudian ‘excellence’ ini sudah terkikis dengan dibutuhkannya ketrampilan-ketrampilan baru, misalnya saja peralatan yang semakin dikendalikan software. Menjawab tantangan ini, mau tidak mau, perusahan akan menyuntikkan tenaga-tenaga mumpuni, bila individu dalam perusahaannya tidak meng-update ilmu, lemah dalam problem solving, dan tidak bisa dikembangkan lebih lanjut. Hal-hal inilah yang membuat ’karir’ semakin kompetitif dan semakin sulit ‘digenggam’. Sementara, kita yang berada di perusahaan pun sulit mengajukan diri bila memang tidak memenuhi spesifikasi lagi. Rasa-rasanya, jeritan agar kitalah yang di dalam perusahaan yang perlu diperhatikan tidak akan mempan.
“Career Self-Management” Vs “Career track” Perusahaan
Saat saya bertanya pada seorang karyawan, mengapa ia terlihat lalai dan “kurang awas” terhadap pengembangan kinerjanya, ia menjawab: ”Saya kehilangan buku catatan kinerja saya”. Dari sini kita bisa menyaksikan betapa individu bisa bersandar pada sistem karir yang dibuat orang lain untuknya. Padahal, bukankah kita sama-sama sadar bahwa kita tidak hanya berhak tetapi juga bertanggung jawab 100 % terhadap kebahagiaan karir kita? Paradigma bahwa tidak berkembangnya karir adalah karena lalainya perusahaan sudah mesti kita tinggalkan. Bila tidak, kita akan termakan sendiri oleh stagnannya karir sebelum waktunya karena terninabobokannya kita dalam sebuah organisasi. Dengan bersandar pada prosedur perusahaan, kita akan merasa bahwa ‘feedback’ akan datang dengan sendirinya. Padahal, saat sekarang, masukan dan penilaian, perlu dikejar demi pengembangan diri. Kitalah yang perlu merancang, mengejar, menggapai dan meraih kesempatan, di dalam dan di luar perusahaan.
Kelalaian ini bukan saja terjadi ditingkat bawah. Teman saya, seorang direktur, yang selama 20 tahun “all out” bekerja di perusahaannya, bingung menentukan arah karirnya setelah ia pensiun pada usia pensiun yang wajar. Teman saya ini sangat sadar bahwa ini bukan salah siapa-siapa kecuali dirinya, yang terlambat membuat rencana karir pasca pensiunnya. Teman lain, menahan-nahan karirnya untuk menjadi direktur, karena usianya masih terlalu muda. Menurut pendapatnya ia tidak bisa membayangkan apa yang harus dilakukannya selepas jabatan direktur BUMN ini, karena ia langsung akan dipensiun, berapa pun usianya. Teman-teman kita ini, walaupun posisinya super, ternyata tidak menyediakan alternatif karir. Di masa sekarang, individu yang selalu mempunyai alternatif karirlah yang bisa lebih bebas membuat kesempatan bagi dirinya dan tidak melihat dirinya sebagai korban otak-atik strategi manajemen SDM perusahaan.
“Portfolio Management”: Tambang Emas Individu
Setiap professional, apapun keahliannya, perlu me-”maintain”, mengembangkan dan mengelola portfolionya, yaitu catatan mengenai keberhasilan, daftar proyek, keahlian dan pendidikan yang dikantonginya. Inilah sesungguhnya tambang emas individu. Teman saya, tidak bersedia ‘terlalu berpolitik’ untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi lagi di perusahaan BUMN tempatnya bekerja. Dengan santainya ia mengatakan bahwa dengan kompetensi yang dia miliki, ia menunggu “dilamar’ saja. Bermodalkan portfolio-nya, seorang profesional akan siap menjawab tantangan karir dan menyikapi ketidakjelasan kesempatan lapangan kerja di pasaran. Kunci menebalkan portfolio adalah kita tidak pernah boleh lengah dalam meng-”update” ilmu. Kita pun tidak bisa hanya memikirkan “moving up” saja, tetapi perlu melihat ke “dalam”, selain juga senantiasa memperluas cakrawala ilmunya, bahkan kalau perlu menyerempet kesempatan dengan resiko yang lebih besar.
“Employer” sekarang, berbasis pengetahuan mengenai kompetensi, sudah tidak mudah terkecoh pada kutu loncat berimbalan besar, tetapi akan mengincar professional dengan kompetensi, kemampuan berkembang yang tinggi dan kualitas pribadi yang kuat, seperti kepemimpinan, hubungan interpersonal dan kreativitas. Kompetensi individu bisa berkembang dalam jalur-jalur yang berbeda: spesialis atau generalis, bisa teknikal bisa juga manajerial, bisa ‘dalam’, bisa juga ‘luas’. Ada individu yang kuat dalam penyelesaian proyek jangka pendek, ada pula yang mampu berkelit di organisasi yang birokratis. Ada yang berbakat menjadi pemain di organisasi kecil dan ‘cair’, ada pula yang baru bisa berkinerja bila struktur organisasi jelas. Mengenali kekuatan diri kita, memang bukan tanggung jawab orang lain. Kitalah yang paling tahu, emas tipe apa yang tertimbun di dalam tambang kompetensi kita dan bagaimana menjualnya di pasaran .
Selasa, 19 Agustus 2008
SURVEI KEPUASAN KARYAWAN : Are You A Happy Employee ?
by: Yodia Antariksa
Kepuasan karyawan kita tahu, merupakan salah satu elemen penting untuk membangun kinerja perusahaan yang mencorong. Segenap program untuk membangun kepuasan pelanggan misalnya, bisa berakhir dengan tragis jika ia tidak disertai dengan program untuk memuaskan karyawan secara sistematis. Sebab, bagaimana mungkin front-line Anda bisa mengulurkan senyum penuh kerenyahan kepada para pelanggan jika ia selalu nggerundel dengan gaji yang diterimanya?
Itulah mengapa banyak perusahaan kelas dunia menaruh perhatian yang amat serius untuk mengelola kepuasan para karyawannya. Di tanah air sendiri, kini juga makin banyak perusahaan melakukan sejumlah inisiatif untuk memuaskan para best talents mereka sehingga tetap betah bertahan dan enjoy dalam bekerja.
Salah satu inisiatif itu misalnya adalah dengan melakukan survei kepuasan karyawan secara reguler (misal setiap tahun sekali). Melalui survei ini diharapkan pihak perusahaan bisa memperoleh informasi yang berharga dalam merancang program kepuasan yang tepat sasaran.
Secara garis besar, angket kepuasan karyawan sendiri biasanya meng-address lima elemen utama, yakni : 1) kepuasan karyawan terhadap pekerjaannya (job content), 2) kepuasan karyawan terhadap lingkungan kerja (baik lingkungan fisik seperti tata ruangan ataupun lingkungan non fisik seperti relasi dengan kerja, atau suasana kerja); 3) kepuasan karyawan terhadap atasan, dan 4) kepuasan karyawan terjadap kebijakan perusahaan dalam memberikan remuneration and benefit pada pegawainya.
Selain empat elemen utama diatas, biasanya ada faktor tambahan lain yang ditanyakan seperti : kepuasan karyawan terhadap kebijakan pengembangan karir, kepuasan karyawan terhadap program pelatihan yang diberikan, ataupun kepuasan karyawan terhadap kualitas kepemimpinan secara umum di perusahaan tersebut.
Pada tahapan selanjutnya, elemen-elemen yang ingin ditanyakan tersebut kemudian dijabarkan dalam serangkaian pertanyaan. Misalkan setiap elemen dijabarkan dalam bentuk 4 – 5 pertanyaan. Sebagai misal untuk untuk faktor mengenai kepuasan karyawan terhadap pekerjaannya, dua contoh pertanyaan yang lazim diberikan adalah sbb:
• Saya puas dengan pekerjaan saya dan jenis tugas yang saya kerjakan.
• Pekerjaan saya menantang dan menarik.
Untuk faktor kepuasan terhadap atasan, dua contoh pertanyaannya adalah sbb:
• Atasan saya melakukan tindakan perbaikan yang tepat dan adil pada karyawan yang tidak dapat menampilkan prestasi kerja yang memuaskan.
• Atasan saya memberikan pengarahan dan instruksi yang jelas.
Untuk faktor kepuasan terhadap paket remunerasi yang diterima, contoh pertanyaan yang dapat diberikan adalah :
• Saya merasa puas dengan gaji yang saya terima.
• Saya merasa puas dengan paket asuransi kesehatan yang diberikan oleh perusahaan.
Setiap pertanyaan tersebut kemudian dilengkapi dengan jawaban dalam skala 1 – 5, dimana deskripsi skalanya adalah :
(1) Sangat Tidak Setuju
(2) Tidak Setuju
(3) Netral
(4) Setuju
(5) Sangat Setuju
Jawaban dari para karyawan terhadap angket dan skala jawaban itu kemudian di-olah dan di-analisa untuk mendapatkan gambaran mengenai tingkat kepuasan karyawan saat ini. Tentu jika angka rata-ratanya semakin tinggi, berarti tingkat kepuasan karyawan di perusahaan itu juga makin baik.
Pada sisi lain, dari analisa itu juga bisa diketahui dalam aspek apa, tingkat kepuasan berada pada posisi yang kurang baik (misal rata-rata skornya dibawah tiga) : apakah dalam aspek lingkungan kerja, aspek remunerasi, atau aspek kepemimpinan dalam perusahaan. Dengan demikian pihak perusahaan bisa dengan lebih akurat mengetahui aspek apa yang paling perlu mendapatkan prioritas perhatian untuk dibenahi.
Jadi omong-omong, apakah Anda puas dengan pekerjaan dan kantor Anda sekarang? Apa kira-kira yang membuat Anda sudah/belum puas?
Kepuasan karyawan kita tahu, merupakan salah satu elemen penting untuk membangun kinerja perusahaan yang mencorong. Segenap program untuk membangun kepuasan pelanggan misalnya, bisa berakhir dengan tragis jika ia tidak disertai dengan program untuk memuaskan karyawan secara sistematis. Sebab, bagaimana mungkin front-line Anda bisa mengulurkan senyum penuh kerenyahan kepada para pelanggan jika ia selalu nggerundel dengan gaji yang diterimanya?
Itulah mengapa banyak perusahaan kelas dunia menaruh perhatian yang amat serius untuk mengelola kepuasan para karyawannya. Di tanah air sendiri, kini juga makin banyak perusahaan melakukan sejumlah inisiatif untuk memuaskan para best talents mereka sehingga tetap betah bertahan dan enjoy dalam bekerja.
Salah satu inisiatif itu misalnya adalah dengan melakukan survei kepuasan karyawan secara reguler (misal setiap tahun sekali). Melalui survei ini diharapkan pihak perusahaan bisa memperoleh informasi yang berharga dalam merancang program kepuasan yang tepat sasaran.
Secara garis besar, angket kepuasan karyawan sendiri biasanya meng-address lima elemen utama, yakni : 1) kepuasan karyawan terhadap pekerjaannya (job content), 2) kepuasan karyawan terhadap lingkungan kerja (baik lingkungan fisik seperti tata ruangan ataupun lingkungan non fisik seperti relasi dengan kerja, atau suasana kerja); 3) kepuasan karyawan terhadap atasan, dan 4) kepuasan karyawan terjadap kebijakan perusahaan dalam memberikan remuneration and benefit pada pegawainya.
Selain empat elemen utama diatas, biasanya ada faktor tambahan lain yang ditanyakan seperti : kepuasan karyawan terhadap kebijakan pengembangan karir, kepuasan karyawan terhadap program pelatihan yang diberikan, ataupun kepuasan karyawan terhadap kualitas kepemimpinan secara umum di perusahaan tersebut.
Pada tahapan selanjutnya, elemen-elemen yang ingin ditanyakan tersebut kemudian dijabarkan dalam serangkaian pertanyaan. Misalkan setiap elemen dijabarkan dalam bentuk 4 – 5 pertanyaan. Sebagai misal untuk untuk faktor mengenai kepuasan karyawan terhadap pekerjaannya, dua contoh pertanyaan yang lazim diberikan adalah sbb:
• Saya puas dengan pekerjaan saya dan jenis tugas yang saya kerjakan.
• Pekerjaan saya menantang dan menarik.
Untuk faktor kepuasan terhadap atasan, dua contoh pertanyaannya adalah sbb:
• Atasan saya melakukan tindakan perbaikan yang tepat dan adil pada karyawan yang tidak dapat menampilkan prestasi kerja yang memuaskan.
• Atasan saya memberikan pengarahan dan instruksi yang jelas.
Untuk faktor kepuasan terhadap paket remunerasi yang diterima, contoh pertanyaan yang dapat diberikan adalah :
• Saya merasa puas dengan gaji yang saya terima.
• Saya merasa puas dengan paket asuransi kesehatan yang diberikan oleh perusahaan.
Setiap pertanyaan tersebut kemudian dilengkapi dengan jawaban dalam skala 1 – 5, dimana deskripsi skalanya adalah :
(1) Sangat Tidak Setuju
(2) Tidak Setuju
(3) Netral
(4) Setuju
(5) Sangat Setuju
Jawaban dari para karyawan terhadap angket dan skala jawaban itu kemudian di-olah dan di-analisa untuk mendapatkan gambaran mengenai tingkat kepuasan karyawan saat ini. Tentu jika angka rata-ratanya semakin tinggi, berarti tingkat kepuasan karyawan di perusahaan itu juga makin baik.
Pada sisi lain, dari analisa itu juga bisa diketahui dalam aspek apa, tingkat kepuasan berada pada posisi yang kurang baik (misal rata-rata skornya dibawah tiga) : apakah dalam aspek lingkungan kerja, aspek remunerasi, atau aspek kepemimpinan dalam perusahaan. Dengan demikian pihak perusahaan bisa dengan lebih akurat mengetahui aspek apa yang paling perlu mendapatkan prioritas perhatian untuk dibenahi.
Jadi omong-omong, apakah Anda puas dengan pekerjaan dan kantor Anda sekarang? Apa kira-kira yang membuat Anda sudah/belum puas?
Seberapa Bagus Kecerdasan Emosional Anda ?
by:Yodhia Antariksa August 11th, 2008
Semenjak Daniel Golemen menggagasnya dalam karya fenomenal bertajuk Emotional Intelligence, kini makin diyakini pentingnya makna kecerdasan emosional dalam merajut kanvas kehidupan yang dilimpahi oleh kesuksesan dan kebahagiaan. Kecerdasan intelektual ternyata hanya separo dari sebuah perjalanan. Ia mesti juga dilengkapi dengan kecerdasan emosional (dan juga kecerdasan spiritual) agar kita semua bisa menggapai hidup yang penuh arti kemuliaan.
Secara eksploratif, kecerdasan emosional sendiri pada dasarnya merujuk pada dua dimensi kunci yang mesti kita praktekkan dengan penuh kesempurnaan. Dimensi yang pertama adalah tentang dunia intra-personal – atau sebuah dunia sunyi untuk melihat dengan penuh kebeningan relung diri kita sendiri. Dimensi yang kedua adalah tentang dunia inter-personal – atau sebuah dunia dengan mana kita menghamparkan berderet perjumpaan dengan orang lain.
Baiklah kita akan segera membahas dua dimensi kunci itu secara intim. Namun sebelumnya, saya persilakan Anda untuk mereguk dulu kehangatan secangkir kopi atau teh yang sekarang mungkin ada disamping laptop/dekstop Anda. Seduhlah kehangatan itu sambil bersyukur bahwa hari ini Anda masih dilimpahi karunia untuk menikmati secangkir teh hangat…….
Oke, mari kita lanjutkan perbincangan kita. Dimensi yang pertama, seperti tadi disebutkan, berhubungan dengan dunia intra-personal. Dalam dimensi ini sendiri terdapat dua elemen yang mesti dicermati, yakni : self awareness dan self esteem.
Knowing yourself is the beginning of all wisdom, demikian filsuf Aristoteles pernah bersenandung. Maknanya jelas : kita tak akan pernah mampu mengenggam buah kebajikan tanpa kemampuan untuk secara jernih dan jujur menelisik setiap sudut raga dan jiwa kita. Kemampuan untuk secara bening menelusuri segenap jejak kelebihan dan potensi yang ada pada diri kita; dan juga sekaligus mau mengakui kekurangsempurnaan yang ada dalam diri kita dengan penuh kelapangan dada.
Dan dengan kesadaran-diri yang kokoh itulah, kita kemudian bergerak maju merajut self-esteem dengan optimal. Self-esteem sendiri bermakna tumbuh-mekarnya rasa respek pada diri sendiri – tanpa harus tergelincir menjadi arogan atau takabur. Sebaliknya, self esteem ini lebih mewujud pada tumbuhnya rasa bangga (self-pride) atas jati diri Anda dan juga terhadap segenap jejak karya dan impian yang tengah Anda ukir. Tanpa self-respect yang kuat, kita tak akan pernah mampu membangun respek pada orang lain. Dan tanpa self-esteem yang menjejak dengan kokoh, kita tak akan pernah melenting menjadi insan yang unggul, penuh kemuliaan dan bermartabat.
Dimensi kedua dari kecerdasan emosional berkaitan dengan dimensi inter-personal atau dunia tentang jalinan interaksi dengan orang lain (others). Disini terdapat dua elemen kunci yang juga layak diperhatikan, yakni elemen interaksi antar manusia dan elemen empati.
Kecerdasan emosional pada akhirnya amat berkaitan dengan ketrampilan kita dalam merajut relasi dengan orang lain (interpersonal relationship). Disitulah kemudian kita diuji untuk selalu bisa merekahkan pola relasi yang santun, penuh rasa respek dan saling-menghargai, serta dilimpahi spirit untuk berbuat baik kepada sesama. Disini pula kita diajak untuk selalu mampu menghadirkan rajutan komunikasi yang konstruktif dan suportif, dan bukan pola komunikasi yang dipenuhi rasa kedengkian dan negative thinking lainnya.
Dan kita tahu, segenap kecerdasan semacam diatas hanya bisa digelarkan jika kita juga diguyur oleh spirit empati yang kuat. Inilah sebuah sikap untuk mau memahami dan menghargai perasaan orang lain. Sebuah sikap untuk juga mau bersikap welas asih pada sesama. Sebuah sikap untuk selalu menghadirkan momen perjumpaan yang penuh keramahan, menebar kebaikan kepada sesama tanpa pamrih, dan menyodorkan jabat tangan erat dalam balutan rasa cinta dan empati.
Demikianlah empat tema utama yang menaungi makna kecerdasan emosional – yakni dimensi self awareness, self esteem, interpersonal relations dan empathic understanding. Kita mungkin tak tahu persis berapa kadar kecerdasan kita dalam empat dimensi kunci itu. Namun tampaknya kita selalu diminta untuk terus menebarkan benih kecerdasan itu dalam segenap jejak kehidupan kita; dalam roda waktu yang terus berputar.
Sebab hanya dengan itulah, kita lalu bisa tumbuh menjadi insan yang luhur dan penuh kemuliaan. Memuliakan hidup, memuliakan sesama. Bukankah ini salah satu tugas suci kita sebagai anak manusia?
Semenjak Daniel Golemen menggagasnya dalam karya fenomenal bertajuk Emotional Intelligence, kini makin diyakini pentingnya makna kecerdasan emosional dalam merajut kanvas kehidupan yang dilimpahi oleh kesuksesan dan kebahagiaan. Kecerdasan intelektual ternyata hanya separo dari sebuah perjalanan. Ia mesti juga dilengkapi dengan kecerdasan emosional (dan juga kecerdasan spiritual) agar kita semua bisa menggapai hidup yang penuh arti kemuliaan.
Secara eksploratif, kecerdasan emosional sendiri pada dasarnya merujuk pada dua dimensi kunci yang mesti kita praktekkan dengan penuh kesempurnaan. Dimensi yang pertama adalah tentang dunia intra-personal – atau sebuah dunia sunyi untuk melihat dengan penuh kebeningan relung diri kita sendiri. Dimensi yang kedua adalah tentang dunia inter-personal – atau sebuah dunia dengan mana kita menghamparkan berderet perjumpaan dengan orang lain.
Baiklah kita akan segera membahas dua dimensi kunci itu secara intim. Namun sebelumnya, saya persilakan Anda untuk mereguk dulu kehangatan secangkir kopi atau teh yang sekarang mungkin ada disamping laptop/dekstop Anda. Seduhlah kehangatan itu sambil bersyukur bahwa hari ini Anda masih dilimpahi karunia untuk menikmati secangkir teh hangat…….
Oke, mari kita lanjutkan perbincangan kita. Dimensi yang pertama, seperti tadi disebutkan, berhubungan dengan dunia intra-personal. Dalam dimensi ini sendiri terdapat dua elemen yang mesti dicermati, yakni : self awareness dan self esteem.
Knowing yourself is the beginning of all wisdom, demikian filsuf Aristoteles pernah bersenandung. Maknanya jelas : kita tak akan pernah mampu mengenggam buah kebajikan tanpa kemampuan untuk secara jernih dan jujur menelisik setiap sudut raga dan jiwa kita. Kemampuan untuk secara bening menelusuri segenap jejak kelebihan dan potensi yang ada pada diri kita; dan juga sekaligus mau mengakui kekurangsempurnaan yang ada dalam diri kita dengan penuh kelapangan dada.
Dan dengan kesadaran-diri yang kokoh itulah, kita kemudian bergerak maju merajut self-esteem dengan optimal. Self-esteem sendiri bermakna tumbuh-mekarnya rasa respek pada diri sendiri – tanpa harus tergelincir menjadi arogan atau takabur. Sebaliknya, self esteem ini lebih mewujud pada tumbuhnya rasa bangga (self-pride) atas jati diri Anda dan juga terhadap segenap jejak karya dan impian yang tengah Anda ukir. Tanpa self-respect yang kuat, kita tak akan pernah mampu membangun respek pada orang lain. Dan tanpa self-esteem yang menjejak dengan kokoh, kita tak akan pernah melenting menjadi insan yang unggul, penuh kemuliaan dan bermartabat.
Dimensi kedua dari kecerdasan emosional berkaitan dengan dimensi inter-personal atau dunia tentang jalinan interaksi dengan orang lain (others). Disini terdapat dua elemen kunci yang juga layak diperhatikan, yakni elemen interaksi antar manusia dan elemen empati.
Kecerdasan emosional pada akhirnya amat berkaitan dengan ketrampilan kita dalam merajut relasi dengan orang lain (interpersonal relationship). Disitulah kemudian kita diuji untuk selalu bisa merekahkan pola relasi yang santun, penuh rasa respek dan saling-menghargai, serta dilimpahi spirit untuk berbuat baik kepada sesama. Disini pula kita diajak untuk selalu mampu menghadirkan rajutan komunikasi yang konstruktif dan suportif, dan bukan pola komunikasi yang dipenuhi rasa kedengkian dan negative thinking lainnya.
Dan kita tahu, segenap kecerdasan semacam diatas hanya bisa digelarkan jika kita juga diguyur oleh spirit empati yang kuat. Inilah sebuah sikap untuk mau memahami dan menghargai perasaan orang lain. Sebuah sikap untuk juga mau bersikap welas asih pada sesama. Sebuah sikap untuk selalu menghadirkan momen perjumpaan yang penuh keramahan, menebar kebaikan kepada sesama tanpa pamrih, dan menyodorkan jabat tangan erat dalam balutan rasa cinta dan empati.
Demikianlah empat tema utama yang menaungi makna kecerdasan emosional – yakni dimensi self awareness, self esteem, interpersonal relations dan empathic understanding. Kita mungkin tak tahu persis berapa kadar kecerdasan kita dalam empat dimensi kunci itu. Namun tampaknya kita selalu diminta untuk terus menebarkan benih kecerdasan itu dalam segenap jejak kehidupan kita; dalam roda waktu yang terus berputar.
Sebab hanya dengan itulah, kita lalu bisa tumbuh menjadi insan yang luhur dan penuh kemuliaan. Memuliakan hidup, memuliakan sesama. Bukankah ini salah satu tugas suci kita sebagai anak manusia?
BERPIKIR KRITIS
By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri
Dengan maraknya milis dan forum diskusi yang berkomentar mengenai berbagai gejala, ada satu hal yang semakin berkembang yaitu sikap kritis individu. Ini tentu ada hubungannya dengan pendidikan dan sistem informasi yang semakin mudah di akses, sehingga siapa saja, asal mau, bisa mempertanyakan situasi, keputusan dan segala macam pernyataan dan fenomena yang ada. Bukan saja pertanyaan, ungkapan perasaan, ketidaksesuaian pendapat, bahkan tuntutan juga terdengar, terbaca dan terlihat. Simak saja wacana mengenai Arus Minyak Nasional, yang melibatkan protes mahasiswa, DPR, partai, badan eksekutif dan masyarakat banyak. Pertanda apakah ini? Selain demokrasi, kita bisa beranggapan bahwa generasi muda, yang akan menghadapi abad selanjutnya, sudah mempunyai daya pikir yang lebih “advanced”: “Good” thinking is an important element of life success in the information age” demikian Thomas & Smoot, 1994.
Kita pasti setuju bahwa kegitan berpikir adalah kegiatan yang super mulia dan merupakan anugerah Tuhan yang paling besar bagi manusia, karena tidak ada mahluk lain di dunia ini yang bisa berpikir dengan cara secanggih manusia. Dengan adanya kegiatan berpikirlah manusia mampu menggambarkan isi dunia ini. Dan dengan adanya pemikiran-pemikiran yang sudah diuji, di bolak balik dan dikulik di masyarakat kita, kita bisa yakin bahwa bangsa kita sudah mengalami kemajuan dalam proses berpikirnya.
Sikap Mental untuk Berbeda Pendapat
Aturan dan tata krama yang diajarkan orang tua dan guru kita dulu, misalnya untuk tidak membantah, tidak berdebat untuk menjunjung harmoni, kita sadari ternyata tidak selamanya menyuburkan cara berpikir. Kita sering lupa bahwa kita punya kewajiban untuk mengasah cara pikir kita, baik di sekolah maupun setelah keluar dari sistem pendidikan. Dalam perjalanan hidup, saya menyaksikan bahwa kesempatan untuk menumbuhkan dan mematangkan keputusan dan konsep justru dari di-”adu”-nya pendapat kita dengan kritik, pertanyaan, keraguan orang lain, bahkan setelah perdebatan sengit. Yang paling penting, sikap mental kita juga perlu kita siapkan untuk memberi dan menerima kritik serta sanggahan.
Para ahli menyarankan agar berfokus pada isu dan bukan pada orangnya, sebagai landasan sikap rasional yang perlu dikembangkan dalam menembak masalah, menelurkan solusi, dan bukan mengumbar emosi serta kesalahan. Di sini, kita pun bisa mawas diri bahwa kita sering terjebak berselisih pendapat, karena kita tidak “sealiran” atau tidak menyukai individu yang berpendapat.
Saat sekarang, kita juga semakin sadar bahwa sekedar ‘asbun’ (asal bunyi, asal ngomong), tanpa berlatih bertanggung jawab terhadap tindak lanjut pendapatnya, malahan bisa menjatuhkan harga diri dan kewibawaan kita sendiri. Namun demikian, memang masih banyak kita temui orang yang berpendapat tetapi tidak bertanggung jawab, misalnya, seorang sales manager yang mengatakan:”…Di perusahaan ini, sistem administrasi kacau. Masakan tanda terima barang bisa ditandatangani oleh seorang salesman tanpa diketahui oleh penerima barangnya…” Pernyataan yang di lempar tanpa memikirkan follow up, sekedar menyulitkan orang lain dan tanpa disertai tanggung jawab untuk mencari solusi bukanlah pembuka diskusi yang sehat. Individu yang ingin masuk ke dalam kancah perdebatan intelektual, perlu berlatih mencermati gejala, tulisan, tindakan atau keputusan dengan hati-hati, ”dalam” dan berusaha mendapatkan ”point” dari isu tersebut. Seruan misalnya :”turunkan BBM” , “turunkan harga sembako” akan lebih intelek bila yang berseru sudah mempelajari , apakah gejala kenaikan BBM ini melulu disebabkan oleh korupsi atau gelaja yang mendunia. Kita pun perlu membedakan fakta dari pendapat, kasus dari gejala umum, membersihkan ”bias” selain juga tidak berpikir ”hitam putih” saja, dan membuka diri terhadap segala kemungkinan yang kita sebelumnya tidak tahu.
Pemikir Sehat
Individu , tidak terlepas berapa usianya, sering tidak menyadari kesalahan berpikirnya. Ada yang dari muda sampai tua tetap keras kepala. Ada juga yang tidak pernah sadar bahwa ia “sok tahu” , meyakini sesuatu tanpa pernah meng”update” ataupun mengecek kebenarannya lebih lanjut. Banyak juga orang berasumsi bahwa kekuatan berpikir berkorelasi besar dengan IQ, tingkat kecerdasan. Bila ada orang pintar berpendapat, orang cenderung meng-iya-kan, dan setuju. Fenomena “tunduk pada yang cerdas” ini sering menumbuhkan sikap submisif dalam kegiatan mengasah cara fikir kita. Sebenarnya cara berfikir bisa dikembangkan dengan cara yang sangat simpel: memelihara kegiatan mempertanyakan, beranggapan bahwa setiap kebenaran itu sementara, dan bersikap “undogmatic” .Kegiatan ini sudah bisa kita amati di acara acara debat di televisi maupun radio. Hanya saja, kalau benar benar ingin sehat kitapun perlu
menyadari bahwa otak hanya bisa menyerap sedikit informasi dibandingkan informasi yang tersedia, mengenai suatu isu. Dengan keterbatasannya, otak sering melakukan ”oversimplifications” yang berakibat pada penyaringan fakta, keterbatasan berpikir, dan bahkan tercampurnya fakta, asumsi, maupun keyakinan individu. Berarti, bila kita ingin diterima sebagai pemikir obyektif, kita pun perlu siap membuka pikiran seperti layaknya seorang anak sekolah,menyerap informasi sebanyak banyaknya, baru kemudian memilah dan menyaring sehingga presisi, akurasi, relevansi, logika dan kedalaman bisa tercapai secara optimal.
Mendorong Pencerdasan Bangsa
Saat sekarang, di mana semakin marak sekolah nasional plus, universitas swasta yang harganya bahkan bersaing dengan universitas negeri, gratisnya biaya sekolah, sangat menjanjikan tercapainya pencerdasan bangsa. Sudah waktunya kita bisa berharap untuk berada di kancah berpikir yang obyektif , “terang” dan positif. Meskipun kebenaran tidak disajikan begitu saja, tetap perlu dikorek-korek, dipikirkan, diendapkan dan dicocokkan, namun kita sudah boleh berharap berdiskusi dalam tingkatan yang sama, tidak meraba dalam gelap, penuh kerendahan hati tetapi tetap siap untuk memodifikasi alam pikir kita. Dengan cara inilah kita maju dan jadi pintar, sambil tetap perlu mempunyai ‘ruang’ untuk berpikir inovatif dan kreatif.
By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri
Dengan maraknya milis dan forum diskusi yang berkomentar mengenai berbagai gejala, ada satu hal yang semakin berkembang yaitu sikap kritis individu. Ini tentu ada hubungannya dengan pendidikan dan sistem informasi yang semakin mudah di akses, sehingga siapa saja, asal mau, bisa mempertanyakan situasi, keputusan dan segala macam pernyataan dan fenomena yang ada. Bukan saja pertanyaan, ungkapan perasaan, ketidaksesuaian pendapat, bahkan tuntutan juga terdengar, terbaca dan terlihat. Simak saja wacana mengenai Arus Minyak Nasional, yang melibatkan protes mahasiswa, DPR, partai, badan eksekutif dan masyarakat banyak. Pertanda apakah ini? Selain demokrasi, kita bisa beranggapan bahwa generasi muda, yang akan menghadapi abad selanjutnya, sudah mempunyai daya pikir yang lebih “advanced”: “Good” thinking is an important element of life success in the information age” demikian Thomas & Smoot, 1994.
Kita pasti setuju bahwa kegitan berpikir adalah kegiatan yang super mulia dan merupakan anugerah Tuhan yang paling besar bagi manusia, karena tidak ada mahluk lain di dunia ini yang bisa berpikir dengan cara secanggih manusia. Dengan adanya kegiatan berpikirlah manusia mampu menggambarkan isi dunia ini. Dan dengan adanya pemikiran-pemikiran yang sudah diuji, di bolak balik dan dikulik di masyarakat kita, kita bisa yakin bahwa bangsa kita sudah mengalami kemajuan dalam proses berpikirnya.
Sikap Mental untuk Berbeda Pendapat
Aturan dan tata krama yang diajarkan orang tua dan guru kita dulu, misalnya untuk tidak membantah, tidak berdebat untuk menjunjung harmoni, kita sadari ternyata tidak selamanya menyuburkan cara berpikir. Kita sering lupa bahwa kita punya kewajiban untuk mengasah cara pikir kita, baik di sekolah maupun setelah keluar dari sistem pendidikan. Dalam perjalanan hidup, saya menyaksikan bahwa kesempatan untuk menumbuhkan dan mematangkan keputusan dan konsep justru dari di-”adu”-nya pendapat kita dengan kritik, pertanyaan, keraguan orang lain, bahkan setelah perdebatan sengit. Yang paling penting, sikap mental kita juga perlu kita siapkan untuk memberi dan menerima kritik serta sanggahan.
Para ahli menyarankan agar berfokus pada isu dan bukan pada orangnya, sebagai landasan sikap rasional yang perlu dikembangkan dalam menembak masalah, menelurkan solusi, dan bukan mengumbar emosi serta kesalahan. Di sini, kita pun bisa mawas diri bahwa kita sering terjebak berselisih pendapat, karena kita tidak “sealiran” atau tidak menyukai individu yang berpendapat.
Saat sekarang, kita juga semakin sadar bahwa sekedar ‘asbun’ (asal bunyi, asal ngomong), tanpa berlatih bertanggung jawab terhadap tindak lanjut pendapatnya, malahan bisa menjatuhkan harga diri dan kewibawaan kita sendiri. Namun demikian, memang masih banyak kita temui orang yang berpendapat tetapi tidak bertanggung jawab, misalnya, seorang sales manager yang mengatakan:”…Di perusahaan ini, sistem administrasi kacau. Masakan tanda terima barang bisa ditandatangani oleh seorang salesman tanpa diketahui oleh penerima barangnya…” Pernyataan yang di lempar tanpa memikirkan follow up, sekedar menyulitkan orang lain dan tanpa disertai tanggung jawab untuk mencari solusi bukanlah pembuka diskusi yang sehat. Individu yang ingin masuk ke dalam kancah perdebatan intelektual, perlu berlatih mencermati gejala, tulisan, tindakan atau keputusan dengan hati-hati, ”dalam” dan berusaha mendapatkan ”point” dari isu tersebut. Seruan misalnya :”turunkan BBM” , “turunkan harga sembako” akan lebih intelek bila yang berseru sudah mempelajari , apakah gejala kenaikan BBM ini melulu disebabkan oleh korupsi atau gelaja yang mendunia. Kita pun perlu membedakan fakta dari pendapat, kasus dari gejala umum, membersihkan ”bias” selain juga tidak berpikir ”hitam putih” saja, dan membuka diri terhadap segala kemungkinan yang kita sebelumnya tidak tahu.
Pemikir Sehat
Individu , tidak terlepas berapa usianya, sering tidak menyadari kesalahan berpikirnya. Ada yang dari muda sampai tua tetap keras kepala. Ada juga yang tidak pernah sadar bahwa ia “sok tahu” , meyakini sesuatu tanpa pernah meng”update” ataupun mengecek kebenarannya lebih lanjut. Banyak juga orang berasumsi bahwa kekuatan berpikir berkorelasi besar dengan IQ, tingkat kecerdasan. Bila ada orang pintar berpendapat, orang cenderung meng-iya-kan, dan setuju. Fenomena “tunduk pada yang cerdas” ini sering menumbuhkan sikap submisif dalam kegiatan mengasah cara fikir kita. Sebenarnya cara berfikir bisa dikembangkan dengan cara yang sangat simpel: memelihara kegiatan mempertanyakan, beranggapan bahwa setiap kebenaran itu sementara, dan bersikap “undogmatic” .Kegiatan ini sudah bisa kita amati di acara acara debat di televisi maupun radio. Hanya saja, kalau benar benar ingin sehat kitapun perlu
menyadari bahwa otak hanya bisa menyerap sedikit informasi dibandingkan informasi yang tersedia, mengenai suatu isu. Dengan keterbatasannya, otak sering melakukan ”oversimplifications” yang berakibat pada penyaringan fakta, keterbatasan berpikir, dan bahkan tercampurnya fakta, asumsi, maupun keyakinan individu. Berarti, bila kita ingin diterima sebagai pemikir obyektif, kita pun perlu siap membuka pikiran seperti layaknya seorang anak sekolah,menyerap informasi sebanyak banyaknya, baru kemudian memilah dan menyaring sehingga presisi, akurasi, relevansi, logika dan kedalaman bisa tercapai secara optimal.
Mendorong Pencerdasan Bangsa
Saat sekarang, di mana semakin marak sekolah nasional plus, universitas swasta yang harganya bahkan bersaing dengan universitas negeri, gratisnya biaya sekolah, sangat menjanjikan tercapainya pencerdasan bangsa. Sudah waktunya kita bisa berharap untuk berada di kancah berpikir yang obyektif , “terang” dan positif. Meskipun kebenaran tidak disajikan begitu saja, tetap perlu dikorek-korek, dipikirkan, diendapkan dan dicocokkan, namun kita sudah boleh berharap berdiskusi dalam tingkatan yang sama, tidak meraba dalam gelap, penuh kerendahan hati tetapi tetap siap untuk memodifikasi alam pikir kita. Dengan cara inilah kita maju dan jadi pintar, sambil tetap perlu mempunyai ‘ruang’ untuk berpikir inovatif dan kreatif.
Politik Kantor
Politik Kantor
By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri
Pada sebuah acara makan siang seorang teman mengeluhkan suasana kantornya, sebuah perusahaan multinasional, yang sarat dengan kegiatan ‘berpolitik’. Di tempat kerjanya, berkembang ‘klik-klikan” makan siang ataupun jemputan yang kemudian menjadi hubungan tertutup, yang sangat erat satu sama lain, di mana mereka berbagi gossip dan fakta, menunjukkan sikap subjektif dalam melihat masalah dan bahkan mempengaruhi penunjukan dan pemilihan anggota tim. Teman saya yang lain kemudian berkomentar, “Yaaah.., kalau sudah ada lebih dari dua orang karyawan dalam satu tim, sudah pastilah ada ‘politik’-nya”.
Politik kantor yang sering ditangapi orang dengan sikap “alergik”, pada kenyataannya tidak pernah punah, bahkan merupakan realita. Kita sering tidak bersimpati dengan seseorang yang “sok bener” terutama di depan atasan, bahkan tega “menyingkirkan” semua orang yang dianggap tidak benar, apalagi membahayakan kedudukannya. Ada juga individu yang tidak kita sukai karena ia pandai sekali memanfaatkan “power”, dan bisa membuat ketergantungan atasan, atau perusahaan kepadanya, sehingga pada “timing” yang tepat, ia bisa unjuk gigi alias bermain dengan “bargaining power”-nya.
Mengapa situasi ‘berpolitik’ seperti ini menjengkelkan orang-orang yang berada di luar permainan? Menurut ahlinya, politik kantor ini menjadi lebih kelihatan nyata pada lembaga yang kekuatan SDM-nya tidak seimbang, misalnya banyak yang produktif sementara banyak yang bermalas-malasan. Ada istilah “like and dislike” yang muncul karena standar kinerja yang sulit dibuktikan apalagi dihitung, juga “job description” yang tidak seimbang dan tidak jelas, yang kesemuanya bisa membangkitkan rasa tidak aman dalam bekerja. Rasa tidak aman ini terutama akan lebih terasa lagi, pada orang yang sama sekali tidak mau “bermain” dan juga tidak menyadari apalagi tahu cara mainnya. Politik kantor memang sangat subyektif dan informal, inilah sebabnya hal itu terasa tetapi sulit diraba dan teraga.
Tahu Apa yang Kita Mau
Teman saya, yang bekerja di sebuah perusahaan berukuran sedang merasa bahwa ia juga harus melakukan kegiatan “lobby”, mengikuti kegiatan-kegiatan minum teh bahkan mempersuasi pengambil keputusan, ketika ia berusaha menjalankan rencana mengubah “operating system” jaringan informasi di perusahaannya. Melihat bahwa ia benar-benar berjuang demi penggantian sistem tanpa berniat mendapatkan kedudukan, kedekatan dan power bagi dirinya, saya lantas menanyakan hal apa yang dia bela mati matian. Dengan santai ia menjawab bahwa yang ia bela adalah sekedar kinerja pribadinya. Tanpa “kasak-kusuk” , bujuk membujuk, sikap super baik, dan mendekati orang-orang kunci, ia tahu tidak mungkin ia berhasil menjalankan perubahan yang menyulitkan di perusahaan tanpa adanya dukungan. “Sebenarnya saya tidak idealis – idealis amat. Saya tahu bila penerapan sistem ini gagal karir saya akan terhambat” .
Untuk survive di lingkungan organisasi, kita memang perlu “kuat” dan berakar, serta tahu apa yang kita mau. Kita bisa menyasar hal-hal material, kita bisa juga mementingkan karir, kinerja dan peningkatan kompetensi, sementara orang lain ada yang memburu keterlibatannya dalam kelompok tertentu, “power” atau “kontrol” terhadap situasi. Namun, berdiam diri, dan berharap bahwa segala sesuatu akan berjalan sesuai dengan sistem yang ada, memang hampir tidak mungkin. “Kita perlu tahu di mana pusat kekuatan, siapa orang yang berpengaruh dan bisa mempengaruhi lingkungan sosial. Kita pun perlu bisa me-”licin”-kan upaya kita melalui pendekatan”, demikian ungkap teman saya. Sepanjang kita bersikap “fair”, tidak manipulatif dan curang, me-“lobby”, mempersuasi dan berpolitik memang harus dilakukan. Sikap negatif seperti yang kita kenal misalnya “sistem kodok”, menyembah ke atas menendang ke bawah, tentunya adalah gaya yang tidak anggun dan tidak dilakukan oleh orang yang tahu berpolitik dengan baik.
Bertindak Halal tanpa Menghalalkan Segala Cara
Ketika dalam suatu rapat, CEO perusahaan tempat saya bekerja mengumumkan bahwa rekrutmen di perusahaan ini menganut sistem keluarga dan pertemanan, saya baru memahami bahwa di dalam berorganisasi ada realitas berpolitik yang perlu dicermati. Hal ini menyangkut siapa dekat dengan siapa, siapa mempunyai pandangan yang sama dengan yang mana, siapa pemain kunci dan siapa sekedar pengikut atau penggembira. Jejaring pertemanan yang berdasarkan kedekatan masa kecil, almamater, kesamaan pandangan maupun ideologi biasanya merupakan lahan berpolitik, baik di perusahaan maupun di organisasi lainnya. Sama seperti strategi perang, berpolitik pun memerlukan pemetaan dan perencanaan yang mapan.
Dari pengamatan para ahli, orang orang kuat dalam perusahaan dan organisasi biasanya memang bukannya tidak berstrategi , mereka juga ”politically savvy”. Orang-orang ini tahu bagaimana berhubungan dengan atasan, bahkan mendukung atasannya agar sukses. Bersamaan dengan upaya itu, seorang yang tahu berpolitik pasti berupaya untuk selalu “tampil “ di rapat-rapat penting, tahu mendekati “orang-orang kunci”, menunjukkan “corporate manners” yang baik, dan menampilkan kemampuannya sebagai “team player ”.
Berproduksi itu Mutlak. Berpolitik itu Cara Bergaul
Dalam organisasi apapun, kita hanya bisa eksis bila mempunyai kontribusi yang signifikan. Bila kita amati orang yang pandai me-“lobby” dan berpolitik, sementara produksinya ‘kosong’, maka orang ini lambat laun tidak bisa meneruskan karirnya. Kekuatan kita dalam berproduksi merupakan modal agar kita bisa “diperhitungkan” dalam peta sosial organisasi. Individu yang produksinya di atas rata-rata tinggal mengasah cara berinteraksi, berapat, mendekati atasan dan orang-orang kunci, serta membuat diri lebih diperhitungkan dengan berusaha lebih bermain fakta, membina hubungan emosional yang sehat, berusaha menonjolkan orang lain tanpa lupa memunculkan diri sendiri. Kontribusi yang sudah kita tunjukkan jangan sampai dikotori dengan mempraktekkan cara gaul murahan seperti bergosip, menekan, menyalahgunakan jabatan, mencari muka tanpa alasan.
By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri
Pada sebuah acara makan siang seorang teman mengeluhkan suasana kantornya, sebuah perusahaan multinasional, yang sarat dengan kegiatan ‘berpolitik’. Di tempat kerjanya, berkembang ‘klik-klikan” makan siang ataupun jemputan yang kemudian menjadi hubungan tertutup, yang sangat erat satu sama lain, di mana mereka berbagi gossip dan fakta, menunjukkan sikap subjektif dalam melihat masalah dan bahkan mempengaruhi penunjukan dan pemilihan anggota tim. Teman saya yang lain kemudian berkomentar, “Yaaah.., kalau sudah ada lebih dari dua orang karyawan dalam satu tim, sudah pastilah ada ‘politik’-nya”.
Politik kantor yang sering ditangapi orang dengan sikap “alergik”, pada kenyataannya tidak pernah punah, bahkan merupakan realita. Kita sering tidak bersimpati dengan seseorang yang “sok bener” terutama di depan atasan, bahkan tega “menyingkirkan” semua orang yang dianggap tidak benar, apalagi membahayakan kedudukannya. Ada juga individu yang tidak kita sukai karena ia pandai sekali memanfaatkan “power”, dan bisa membuat ketergantungan atasan, atau perusahaan kepadanya, sehingga pada “timing” yang tepat, ia bisa unjuk gigi alias bermain dengan “bargaining power”-nya.
Mengapa situasi ‘berpolitik’ seperti ini menjengkelkan orang-orang yang berada di luar permainan? Menurut ahlinya, politik kantor ini menjadi lebih kelihatan nyata pada lembaga yang kekuatan SDM-nya tidak seimbang, misalnya banyak yang produktif sementara banyak yang bermalas-malasan. Ada istilah “like and dislike” yang muncul karena standar kinerja yang sulit dibuktikan apalagi dihitung, juga “job description” yang tidak seimbang dan tidak jelas, yang kesemuanya bisa membangkitkan rasa tidak aman dalam bekerja. Rasa tidak aman ini terutama akan lebih terasa lagi, pada orang yang sama sekali tidak mau “bermain” dan juga tidak menyadari apalagi tahu cara mainnya. Politik kantor memang sangat subyektif dan informal, inilah sebabnya hal itu terasa tetapi sulit diraba dan teraga.
Tahu Apa yang Kita Mau
Teman saya, yang bekerja di sebuah perusahaan berukuran sedang merasa bahwa ia juga harus melakukan kegiatan “lobby”, mengikuti kegiatan-kegiatan minum teh bahkan mempersuasi pengambil keputusan, ketika ia berusaha menjalankan rencana mengubah “operating system” jaringan informasi di perusahaannya. Melihat bahwa ia benar-benar berjuang demi penggantian sistem tanpa berniat mendapatkan kedudukan, kedekatan dan power bagi dirinya, saya lantas menanyakan hal apa yang dia bela mati matian. Dengan santai ia menjawab bahwa yang ia bela adalah sekedar kinerja pribadinya. Tanpa “kasak-kusuk” , bujuk membujuk, sikap super baik, dan mendekati orang-orang kunci, ia tahu tidak mungkin ia berhasil menjalankan perubahan yang menyulitkan di perusahaan tanpa adanya dukungan. “Sebenarnya saya tidak idealis – idealis amat. Saya tahu bila penerapan sistem ini gagal karir saya akan terhambat” .
Untuk survive di lingkungan organisasi, kita memang perlu “kuat” dan berakar, serta tahu apa yang kita mau. Kita bisa menyasar hal-hal material, kita bisa juga mementingkan karir, kinerja dan peningkatan kompetensi, sementara orang lain ada yang memburu keterlibatannya dalam kelompok tertentu, “power” atau “kontrol” terhadap situasi. Namun, berdiam diri, dan berharap bahwa segala sesuatu akan berjalan sesuai dengan sistem yang ada, memang hampir tidak mungkin. “Kita perlu tahu di mana pusat kekuatan, siapa orang yang berpengaruh dan bisa mempengaruhi lingkungan sosial. Kita pun perlu bisa me-”licin”-kan upaya kita melalui pendekatan”, demikian ungkap teman saya. Sepanjang kita bersikap “fair”, tidak manipulatif dan curang, me-“lobby”, mempersuasi dan berpolitik memang harus dilakukan. Sikap negatif seperti yang kita kenal misalnya “sistem kodok”, menyembah ke atas menendang ke bawah, tentunya adalah gaya yang tidak anggun dan tidak dilakukan oleh orang yang tahu berpolitik dengan baik.
Bertindak Halal tanpa Menghalalkan Segala Cara
Ketika dalam suatu rapat, CEO perusahaan tempat saya bekerja mengumumkan bahwa rekrutmen di perusahaan ini menganut sistem keluarga dan pertemanan, saya baru memahami bahwa di dalam berorganisasi ada realitas berpolitik yang perlu dicermati. Hal ini menyangkut siapa dekat dengan siapa, siapa mempunyai pandangan yang sama dengan yang mana, siapa pemain kunci dan siapa sekedar pengikut atau penggembira. Jejaring pertemanan yang berdasarkan kedekatan masa kecil, almamater, kesamaan pandangan maupun ideologi biasanya merupakan lahan berpolitik, baik di perusahaan maupun di organisasi lainnya. Sama seperti strategi perang, berpolitik pun memerlukan pemetaan dan perencanaan yang mapan.
Dari pengamatan para ahli, orang orang kuat dalam perusahaan dan organisasi biasanya memang bukannya tidak berstrategi , mereka juga ”politically savvy”. Orang-orang ini tahu bagaimana berhubungan dengan atasan, bahkan mendukung atasannya agar sukses. Bersamaan dengan upaya itu, seorang yang tahu berpolitik pasti berupaya untuk selalu “tampil “ di rapat-rapat penting, tahu mendekati “orang-orang kunci”, menunjukkan “corporate manners” yang baik, dan menampilkan kemampuannya sebagai “team player ”.
Berproduksi itu Mutlak. Berpolitik itu Cara Bergaul
Dalam organisasi apapun, kita hanya bisa eksis bila mempunyai kontribusi yang signifikan. Bila kita amati orang yang pandai me-“lobby” dan berpolitik, sementara produksinya ‘kosong’, maka orang ini lambat laun tidak bisa meneruskan karirnya. Kekuatan kita dalam berproduksi merupakan modal agar kita bisa “diperhitungkan” dalam peta sosial organisasi. Individu yang produksinya di atas rata-rata tinggal mengasah cara berinteraksi, berapat, mendekati atasan dan orang-orang kunci, serta membuat diri lebih diperhitungkan dengan berusaha lebih bermain fakta, membina hubungan emosional yang sehat, berusaha menonjolkan orang lain tanpa lupa memunculkan diri sendiri. Kontribusi yang sudah kita tunjukkan jangan sampai dikotori dengan mempraktekkan cara gaul murahan seperti bergosip, menekan, menyalahgunakan jabatan, mencari muka tanpa alasan.
BERANI SUSAH
By: Eileen Rachman
Salah satu karyawan di kantor saya, benar-benar sulit mengkontrol pengeluarannya. Ia tidak bisa lepas untuk melakukan gali lobang tutup lobang dalam me-manage hutangnya. Hutang itu mula-mula dipinjam dari sebuah jasa kredit tanpa agunan bank dan berkembang menjadi hutang yang lain, terutama untuk menutupi hutang yang lama. Ketika saya sangat kecewa melihat hal itu bisa dilakukan oleh orang yang selama ini saya percaya, teman saya mengatakan bahwa ibu mertuanya juga terbelit hutang dengan cara yang sama. Terkesan bahwa di antara kita sudah banyak kebiasaan mencari solusi yang “ambil gampangnya”, “instan”, dan tidak mau sedikit bersusah mengerem diri. Saya terkagum-kagum juga dengan cara mendapatkan hutang yang begitu mudah di saat sekarang. Di jaman ketika saya sangat membutuhkan modal atau uang lebih, rasanya tidak mungkin kita bisa dengan mudah mendapatkan pinjaman dari bank atau orang lain, bahkan dengan janji bunga yang relatif rendah. Rupanya perkembangan bisnis jasa sudah demikian pesatnya sehingga masyarakat “dimudahkan” dan “dimanjakan” oleh solusi-solusi sementara, “fast and easy”, instan, yang tidak prinsipiil lagi.
Ketidaktegasan dalam berdisiplin dan ketidakjelasan aturan, menyebabkan orang mundur maju menentukan apa yang perlu diperjuangkan. Orang jadi enggan meramal, membuat rancangan, berusaha mati-matian dan menentukan hidupnya, alias pasrah, menghidupkan mental yang lemah, mengharapkan hadiah, berhutang, tidak berdaya, bahkan mengemis dan menumbuhkan mental “tidak berani susah”.
Penyebaran informasi yang tidak memadai mengenai semangat berprofesi, keadaan finansial perusahaan ataupun negara, menyebabkan ketidakjelasan menjadi alasan bagi individu untuk bersikap pasrah dan lemah. Sebaliknya, kita masih bisa menemui sekelompok orang-orang yang sangat produktif, “low profile”, tetap sabar, optimis dan gigih, dalam lingkungan dengan sikap disiplin kuat. Bisa kita bayangkan betapa beruntungnya orang-orang ini, karena sistem atau organisasi sudah menyuguhkan lingkungan yang kondusif. Bagi kebanyakan kita yang justru berada di lingkungan yang tidak kondusif, kitalah motor penggerak dan perlu “in charge” untuk memperkuat diri sendiri.
Bangkit!
Kita pasti masih ingat bagaimana kita menyaksikan tim piala Uber kita dikalahkan oleh tim Cina. Saya yakin bahwa setiap penonton berbangsa Indonesia, merasa babak belur, dan merasakan sakitnya kekalahan tim kita, yang rankingnya memang jauh dibawah pemain-pemain Cina itu. Pada saat itu terasa oleh kita bahwa tim Indonesia berspirit ”rise and shine”, bermental ”A”. Pada saat itu kita merasa siap bermain, tidak takut, ingin meng-”combat” sukses. Bahkan setelah kalah sekalipun, ”rasa” itu masih ada. Tidak ada yang memaki tim piala Uber, tidak ada yang mencerca, semua orang merasakan semangat ”fight”-nya. Rasa-rasanya semangat seperti ini sudah harus kita hidupkan kembali, melihat kesulitan dan persaingan yang ada di dunia bisnis maupun di arena global. Semua ”hardware” dan perangkat teknis sudah sama, yang bisa bersaing hanyalah manusianya. Bila manusianya berpotensi dan berkompetensi sama, yang bisa disaingkan adalah mentalnya dan ”willpower”-nya.
Perkuat ‘Willpower’
Sikap “tidak ada matinya” tidak bisa kita biarkan mati suri, karena pada akhirnya hal inilah yang menjadi daya saing bangsa. Kekuatan kemauan atau “Willpower” ini adalah kemampuan individu untuk menyulut mental dan mengatakan pada diri sendiri untuk bertahan, kemudian mengeluarkan daya sekuat tenaga bagaikan mesin yang saat mulai bekerja selalu mengambil daya listrik yang lebih besar. “Willpower” ini adalah pengumpulan energi yang kuat dan besar, yang perlu dikeluarkan sekaligus pada saat-saat kita berada dalam posisi kritis. Pada saat itu kita menyerang titik lemah dalam diri kita, sehingga kita bisa mematahkan ketakutan, keraguan, kecengengan, kelelahan kita untuk sampai pada titik di mana kita seolah-olah mempunyai ruang enerji untuk melenting dan bergerak dan mendapatkan tenaga untuk maju dan ingin memenangkan situasi.
Kita butuh memelihara ‘willpower’ ini pada masing-masing individu. Begitu banyak tantangan berat kita hadapi yang membutuhkan mental yang superkuat. Kita dihadapkan pada tantangan untuk mengencangkan ikat pinggang karena kenaikan harga, melangsingkan badan karena kesehatan, bersaing secara profesi di kancah internasional, super hati-hati dalam kontrol kualitas, mencermati keadaan keuangan yang ketat,meningkatkan kinerja tanpa kenaikan imbalan yang kita harapkan, menghentikan kebiasaan korupsi berbentuk uang maupun waktu, menghentikan memberikan suap demi sikap mental ”yang penting cepat beres”.
”Susah” untuk Menang
Kebanyakan orang mendambakan saat-saat dimana kita merasa situasi rileks, aman, positif dan optimis. Namun, kita sering lupa bahwa perlu cara untuk mencapainya dan kita pun perlu tahu resepnya. Bila kita ingin mencapai situasi yang ’nyaman’, tentunya kita tidak bisa berharap bahwa orang lain akan memberikannya secara cuma-cuma.
Untuk mencapai kualitas kehidupan yang lebih baik, kita tampaknya tidak bisa berfokus pada hal-hal material semata karena materi justru sekarang tidak bisa ditandingkan. Seperti prinsip para atlit pelari rintangan,”Run to be good, practice to be better, and train to be the best”. Kita perlu mendera diri sendiri untuk menyetop kebiasaan-kebiasaan buruk dan mengembangkan perilaku yang lebih positif. Tentunya latihan ini akan butuh ‘pengorbanan’, seperti tersiksanya kita berjam-jam antri untuk mendapatkan servis dengan jalan halal, begadang demi terselesaikannya pekerjaan yang sudah dijanjikan, bekerja sambil belajar demi karir yang lebih baik, melakukan hal yang sama ribuan kali sampai dianggap kompeten, menerima penugasan yang lebih banyak supaya atasan “percaya”, makan lebih tidak enak demi kesehatan dan penghematan, bahkan hilangnya teman karena mempertahankan prinsip. Namun, bersamaan dengan itulah kita berhasil menguatkan ”willpower” kita dan bisa mengembangkan mental tahan banting. Efek samping yang didapat dari latihan begini adalah hilangnya rasa bersalah, tumbuhnya keberanian menghadapi kenyataan, penghargaan pada diri sendiri, dan meningkatnya kepuasan dan ”happiness” dalam kehidupan kita.
Salah satu karyawan di kantor saya, benar-benar sulit mengkontrol pengeluarannya. Ia tidak bisa lepas untuk melakukan gali lobang tutup lobang dalam me-manage hutangnya. Hutang itu mula-mula dipinjam dari sebuah jasa kredit tanpa agunan bank dan berkembang menjadi hutang yang lain, terutama untuk menutupi hutang yang lama. Ketika saya sangat kecewa melihat hal itu bisa dilakukan oleh orang yang selama ini saya percaya, teman saya mengatakan bahwa ibu mertuanya juga terbelit hutang dengan cara yang sama. Terkesan bahwa di antara kita sudah banyak kebiasaan mencari solusi yang “ambil gampangnya”, “instan”, dan tidak mau sedikit bersusah mengerem diri. Saya terkagum-kagum juga dengan cara mendapatkan hutang yang begitu mudah di saat sekarang. Di jaman ketika saya sangat membutuhkan modal atau uang lebih, rasanya tidak mungkin kita bisa dengan mudah mendapatkan pinjaman dari bank atau orang lain, bahkan dengan janji bunga yang relatif rendah. Rupanya perkembangan bisnis jasa sudah demikian pesatnya sehingga masyarakat “dimudahkan” dan “dimanjakan” oleh solusi-solusi sementara, “fast and easy”, instan, yang tidak prinsipiil lagi.
Ketidaktegasan dalam berdisiplin dan ketidakjelasan aturan, menyebabkan orang mundur maju menentukan apa yang perlu diperjuangkan. Orang jadi enggan meramal, membuat rancangan, berusaha mati-matian dan menentukan hidupnya, alias pasrah, menghidupkan mental yang lemah, mengharapkan hadiah, berhutang, tidak berdaya, bahkan mengemis dan menumbuhkan mental “tidak berani susah”.
Penyebaran informasi yang tidak memadai mengenai semangat berprofesi, keadaan finansial perusahaan ataupun negara, menyebabkan ketidakjelasan menjadi alasan bagi individu untuk bersikap pasrah dan lemah. Sebaliknya, kita masih bisa menemui sekelompok orang-orang yang sangat produktif, “low profile”, tetap sabar, optimis dan gigih, dalam lingkungan dengan sikap disiplin kuat. Bisa kita bayangkan betapa beruntungnya orang-orang ini, karena sistem atau organisasi sudah menyuguhkan lingkungan yang kondusif. Bagi kebanyakan kita yang justru berada di lingkungan yang tidak kondusif, kitalah motor penggerak dan perlu “in charge” untuk memperkuat diri sendiri.
Bangkit!
Kita pasti masih ingat bagaimana kita menyaksikan tim piala Uber kita dikalahkan oleh tim Cina. Saya yakin bahwa setiap penonton berbangsa Indonesia, merasa babak belur, dan merasakan sakitnya kekalahan tim kita, yang rankingnya memang jauh dibawah pemain-pemain Cina itu. Pada saat itu terasa oleh kita bahwa tim Indonesia berspirit ”rise and shine”, bermental ”A”. Pada saat itu kita merasa siap bermain, tidak takut, ingin meng-”combat” sukses. Bahkan setelah kalah sekalipun, ”rasa” itu masih ada. Tidak ada yang memaki tim piala Uber, tidak ada yang mencerca, semua orang merasakan semangat ”fight”-nya. Rasa-rasanya semangat seperti ini sudah harus kita hidupkan kembali, melihat kesulitan dan persaingan yang ada di dunia bisnis maupun di arena global. Semua ”hardware” dan perangkat teknis sudah sama, yang bisa bersaing hanyalah manusianya. Bila manusianya berpotensi dan berkompetensi sama, yang bisa disaingkan adalah mentalnya dan ”willpower”-nya.
Perkuat ‘Willpower’
Sikap “tidak ada matinya” tidak bisa kita biarkan mati suri, karena pada akhirnya hal inilah yang menjadi daya saing bangsa. Kekuatan kemauan atau “Willpower” ini adalah kemampuan individu untuk menyulut mental dan mengatakan pada diri sendiri untuk bertahan, kemudian mengeluarkan daya sekuat tenaga bagaikan mesin yang saat mulai bekerja selalu mengambil daya listrik yang lebih besar. “Willpower” ini adalah pengumpulan energi yang kuat dan besar, yang perlu dikeluarkan sekaligus pada saat-saat kita berada dalam posisi kritis. Pada saat itu kita menyerang titik lemah dalam diri kita, sehingga kita bisa mematahkan ketakutan, keraguan, kecengengan, kelelahan kita untuk sampai pada titik di mana kita seolah-olah mempunyai ruang enerji untuk melenting dan bergerak dan mendapatkan tenaga untuk maju dan ingin memenangkan situasi.
Kita butuh memelihara ‘willpower’ ini pada masing-masing individu. Begitu banyak tantangan berat kita hadapi yang membutuhkan mental yang superkuat. Kita dihadapkan pada tantangan untuk mengencangkan ikat pinggang karena kenaikan harga, melangsingkan badan karena kesehatan, bersaing secara profesi di kancah internasional, super hati-hati dalam kontrol kualitas, mencermati keadaan keuangan yang ketat,meningkatkan kinerja tanpa kenaikan imbalan yang kita harapkan, menghentikan kebiasaan korupsi berbentuk uang maupun waktu, menghentikan memberikan suap demi sikap mental ”yang penting cepat beres”.
”Susah” untuk Menang
Kebanyakan orang mendambakan saat-saat dimana kita merasa situasi rileks, aman, positif dan optimis. Namun, kita sering lupa bahwa perlu cara untuk mencapainya dan kita pun perlu tahu resepnya. Bila kita ingin mencapai situasi yang ’nyaman’, tentunya kita tidak bisa berharap bahwa orang lain akan memberikannya secara cuma-cuma.
Untuk mencapai kualitas kehidupan yang lebih baik, kita tampaknya tidak bisa berfokus pada hal-hal material semata karena materi justru sekarang tidak bisa ditandingkan. Seperti prinsip para atlit pelari rintangan,”Run to be good, practice to be better, and train to be the best”. Kita perlu mendera diri sendiri untuk menyetop kebiasaan-kebiasaan buruk dan mengembangkan perilaku yang lebih positif. Tentunya latihan ini akan butuh ‘pengorbanan’, seperti tersiksanya kita berjam-jam antri untuk mendapatkan servis dengan jalan halal, begadang demi terselesaikannya pekerjaan yang sudah dijanjikan, bekerja sambil belajar demi karir yang lebih baik, melakukan hal yang sama ribuan kali sampai dianggap kompeten, menerima penugasan yang lebih banyak supaya atasan “percaya”, makan lebih tidak enak demi kesehatan dan penghematan, bahkan hilangnya teman karena mempertahankan prinsip. Namun, bersamaan dengan itulah kita berhasil menguatkan ”willpower” kita dan bisa mengembangkan mental tahan banting. Efek samping yang didapat dari latihan begini adalah hilangnya rasa bersalah, tumbuhnya keberanian menghadapi kenyataan, penghargaan pada diri sendiri, dan meningkatnya kepuasan dan ”happiness” dalam kehidupan kita.
Langganan:
Postingan (Atom)