Minggu, 07 Desember 2008

KOK BISA ?

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Mengamati Oscar Pistorius, si 'Blade Runner', juara paraolimpik atau olimpiade untuk penyandang cacad dalam nomor lari 100m, 200m dan 400 m, yang berjuang untuk dapat melawan atlit berkaki normal di Olimpiade Beijing, tentunya kita akan berkata, “Kok bisa, ya?” Ia yang kakinya sudah diamputasi sejak usia 1 tahun, tidak berhenti untuk melakukan hal-hal hebat yang mengundang kekaguman. Banyak hal-hal hebat lain yang terjadi di sekitar kita, yang kita ketahui dari bacaan, tontotan di media massa ataupun kita alami sendiri. Tanpa disadari, melihat hal-hal yang menakjubkan, kita sering ditempatkan pada posisi penonton. Bengong.

Kehebatan yang kita amati tersebut bisa berdampak dalam berbagai tingkatan dalam kehidupan kita. Bisa saja secara rasional, kita membahasnya, bahkan sampai detil, mengenai apa dan mengapa individu ’hebat’ bisa melakukan hal-hal itu. Kita juga bisa secara lebih dalam, merefleksikan ke dalam diri kita dan menjawab pertanyaan “so what”, bagaimana dengan diri kita? Tentunya yang terbaik adalah bila kita langsung membuat action plan kecil, lalu ‘meniru’ sikap, cara atau kebiasaannya, sehingga kita mendapatkan manfaat dari hasil pengamatan tersebut alias berubah.

Mudah dikatakan memang, namun tak semudah itu dilaksanakan! Mengapa? Pertama-tama, kita sering melihat bahwa kita tidak punya potensi se-’besar’ orang lain. Kita sering merasa bahwa orang-orang hebat mempunyai ’Star Qualities’ yang dibawa sejak lahir. Kita pikir, ‘titik start’ orang-orang hebat itu berbeda. Padahal, Oscar Pistorius saja mengatakan: “Saya tidak melihat diri saya sebagai penyandang cacat”. Ini artinya dia yang kita amati punya titik start minus, malahan mengambil titik start normal. Hal lain yang juga sering menyebabkan kita setidaknya sering menunda upaya keras adalah ketakutan akan perubahan. Oscar meyakini bahwa kemenangannya bukan dikarenakan kaki penggantinya yang berbahan “carbon-fiber” canggih, yang disebut dengan julukan “the cheetah”. Oscar menyatakan bahwa kunci kemenangannya adalah sekedar keinginan untuk senantiasa berubah. Kedua unsur mentalitas ini memang sangat penting untuk dijadikan dasar keyakinan “Can Do” seseorang.

Optimiskah kita?

Dalam suatu pertemuan, seorang peserta bertanya pada saya: ”Apakah anda percaya bahwa hidup ini tidak ’fair’?”. Saya jawab dengan tegas: “Ya, iyalah”. Saya lalu menceritakan padanya betapa saya yang berusia 58 tahun, pernah berada dalam antrian toilet, di belakang 15 gadis belia, tetapi tidak mendapatkan kemudahan. Namun, bila saya memaksa menerobos, bayangkan apa yang akan dikatakan dan dipikirkan ke-15 gadis belia itu. Sama-sama tidak fair, bukan?.

Bukankah semuanya tergantung pada bagaimana kita meyakinkan diri tentang situasi yang kita hadapi? Kita bisa belajar mengatakan pada diri sendiri dengan menyebutkan hal-hal yang bisa kita garap dalam menghadapi situasi sulit. Daripada mengatakan “alangkah tidak beruntungnya saya”, kita bisa lebih berbuat baik pada diri kita sendiri dengan mengatakan “hari ini hasil saya segini”. Tanpa disadari otak kita bisa kita penuhi dengan “Self-Limiting Statements” yang membatasi diri kita sendiri dalam lingkaran ketidakmampuan dan keterhambatan potensi. “Tidak mungkin”, “Mana mungkin”, dan “Tidak bisa” kerap mewarnai rapat-rapat kontra produktif, sehingga tanpa kita sadari kekuatan kita pun semakin berkurang.

“Can-do attitude”: Memberi “Impact”

Teman saya, hampir selalu meng-iya-kan permintaan pelanggan sehingga beberapa rekannya kadang berolok-olok agar ia tidak usah menemui pelanggan saja. “Mengimplementasikan apa yang sudah dia komitkan ke pelanggan, itu yang susah”, demikian komentar teman-temannya. Padahal, tidak bisa dipungkiri bahwa perusahaan menikmati sukses karena komitmen-komitmen yang kompetitif seperti itu. “Bagaimana mau menyaingi perusahaan kelas dunia, kalau ’ini ngga bisa, itu ngga bisa’?”, demikian komentarnya. Astra, ditantang oleh Toyota memproduksi Avanza dalam 2 bulan. Mau tidak mau, mereka meng-iya-kan kesanggupannya, dan ternyata, tantangan itu betul-betul bisa diwujudkan.

Belajar dari bisnis Walt Disney yang tidak ada habisnya, kita juga bisa mengadaptasi keyakinan mereka: ”If you dream it, you can do it. If you believe you can, you probably can. If you believe you won't, you most assuredly won't.”. Hanya dengan “walk the extra mile” saja, kita bisa tampil sebagai perusahaan atau individu yang menonjol. Kita pasti bisa bersikap lebih responsif, lebih cepat, senantiasa bisa diakses, bisa menerangkan proses kerja dengan gamblang, tidak menunda follow up, menyelesaikan sebelum diminta, dan yang paling penting, para “stakeholder” meyakini bahwa kita selalu melakukan perbaikan dan bisa mengalahkan pesaing. “Kalau orang lain bisa, kenapa kita tidak bisa?”

Belajar “Can Do”

Mungkin pada saat bayi belajar berjalan, ia mulai mempelajari sikap ragu dan kata “tidak bisa”. Pernyataan ini bisa kita pelihara terus sampai mati, bisa juga kita hentikan. Kita bisa meyakinkan diri, bahwa mengungkapan pernyataan “tidak bisa” adalah sebuah “kebiasaan”. Saya sendiri kadang merasa malu bila dalam suatu rapat, saya melontarkan kata ”tidak bisa”, kemudian ada orang lain yang berkomentar:”Kenapa tidak?”. Karenanya, kita sebaiknya menyetop kebiasaan mengatakan ”tidak bisa”, ”tidak mampu”, atau ”tidak mungkin”, sebelum merusak mental kita lebih jauh. Kita bisa gantikan ’ketidakbisaan’ dengan selalu memikirkan jalan keluar yang ’bisa’ kita kontrol dan lakukan. Dengan sedikit tambahan kreativitas, kita akan bisa mencari celah atau jalan lain, bila ternyata apa yang kita upayakan mentok.

Satu hal yang saya pelajari juga dalam bekerja adalah melakukan hal-hal yang “saya banget” alias “do it my way”. Pengalaman saya adalah dengan melaksanakan suatu tindakan dengan cara, gaya dan ketrampilan diri sendiri, berdasarkan keyakinan diri dan profesi sendiri, atau sesuai dengan sistem prosedur perusahaan yang kita hafal dan kuasai betul, biasanya kita merasa lebih mantap melakukannya.

Berjiwa Pemenang

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Tanpa menggunakan alat ukur yang reliabel, kita semua bisa membedakan ‘rasa’ di dalam dada kita saat melihat foto atlet Indonesia di halaman muka Kompas memamerkan medalinya dari Ajang Olimpiade, dibandingkan dengan melihat foto model koruptor yang sedang dalam proses ‘didandani’. Rasa yang ’melambung’ bila masuk dalam situasi ‘pemenang’ dan sebaliknya rasa ‘terpukul’ dalam situasi ‘pecundang’ sangat mudah kita bedakan. (Ditayangkan di KOMPAS, 23 Agustus 2008)

Saat situasi ‘pecundang’ lebih sering kita alami, rasa pahit yang bertubi-tubi bisa tergantikan dengan rasa terpuruk, pesimis, bahkan bila tidak hati-hati bisa mengakar menjadi sikap apatis dan cuek terhadap situasi sekitar. Dalam situasi negara yang sulit begini, baik kondisi moral maupun material, mau tidak mau media massa memberitakan realita yang membuat kita sulit menepuk dada kemenangan. Lebih kecut lagi, bila kita sedang tidak beruntung, dan bertemu dengan individu berbangsa lain, yang dengan sinis membeberkan kelemahan bangsa kita, seperti kesenjangan antara kaya dan miskin, konsumerisme orang-orang berduit, lemahnya solidaritas dan korupsi yang merajalela. Menghadapi situasi ini, berat rasanya bisa ‘merasa menang’, mengangkat dagu dan tetap bersemangat pemenang. Pertanyaannya, haruskah kita merasa terpuruk terus, dan menunggu terus sampai keadaan Negara dan ekonomi lebih baik, lebih bersih dan lebih makmur?

Disadari atau tidak, sikap pecundang yang terpelihara seperti ini tentunya akan mempengaruhi kinerja kita dalam porsi yang lebih mikro, misalnya di perusahaan, dan akan mempengaruhi “fighting spirit” kita secara umum dalam bersaing bisnis dengan negara lain. Bisa-bisa kita tergiring oleh lingkaran setan dan semakin tenggelam dalam ke-’pecundang’-an dalam rasa. Vince Lombardi, seorang coach american football legendaris tahun 50-an mengumandangkan: ``Winning isn’t everything, it’s the ONLY thing”, sementara kita di sini masih sibuk dengan memenuhi pikiran dengan rasa cemas karena semangat korupsi yang tidak kunjung padam, tidak meyakini bahwa pembayaran pajak akan kembali kepada kesejahteraan rakyat, merasa sulit memprediksi sukses, bahkan menyembunyikan perasaan’kalah’ dengan bersikap jumawa. Kita semua tahu bahwa bersemangat pemenang itu positif, namun demikian kita tidak gampang memenangkannya tanpa upaya.

Pemenang yang Sehat Memperhitungkan Kekalahan

Teman saya, anak sulung harapan keluarga, selalu ‘dimenangkan’ oleh orangtuanya dan kebetulan jarang sekali menghadapi kegagalan, baik dalam pendidikan, berorganisasi dan aspek kehidupan lainnya. Keadaan menang terus-menerus ini menyebabkan ia tidak akrab dengan kekalahan. Sebagai akibat, sikapnya jadi tidak mau menghadapi kekalahan, apapun aturan dan konsekuensinya, alias “tidak mau kalah atau mengalah”. Teman kita ini memang sering menang, tetapi ia belum mempunyai “mindset” pemenang yang sebenarnya, karena ia tidak siap kalah. Orang seperti ini bahkan ada yang bisa menghalalkan segala cara demi mempertahankan posisi pemenangnya.

Orang yang berusaha menang secara obsesif semata untuk mendapatkan penghargaan, menghindari rasa malu, biasanya tidak bisa mengatur enerji, sehingga dalam situasi kalah ia tidak siap bahkan menunjukkan kemarahan. Mungkin kita masih ingat betapa petenis juara, John McEnroe, yang mengekspresikan kemarahannya dalam banyak situasi pertandingan yang bermasalah baginya, sehingga mengesankan dirinya bukan sebagai pemenang tetapi justru pecundang. Kita perlu sadari bahwa sikap pemenang tidak selalu membawa kemenangan, tetapi justru kita perlu tetap mempertahankan “mindset” pemenang dalam situasi apapun.

Menang yang sebenarnya adalah termasuk memperlihatkan komitmen, kebesaran jiwa dan penghargaan terhadap aturan, aturan main, sistem dan prosedur yang sudah dibuat. Komitmen terhadap semua konsekuensi yang perlu ditanggung, menyebabkan kita bisa berangkat ke suatu situasi dengan sensasi dan memori positif, sehingga dampak emosi positif ini berubah menjadi energi positif. Inilah mindset pemenang yang sebenarnya.

Berniat Benar, Bergerak, Bertindak

Ayah saya selalu mengingatkan, bahwa sejahat-jahatnya perbuatan seseorang, pada dasarnya manusia normal itu ingin melakukan hal-hal yang benar dan baik, bukan karena diperintahkan, tetapi memang secara natural mempunyai sikap demikian. Kenyataan ini sebenarnya cukup menjadi dasar semua keyakinan kita untuk senantiasa merasa kuat, benar dan baik, terlepas dari apakah situasi yang kita hadapi kondusif atau yang kurang menguntungkan. Namun, sikap merasa berniat benar ini saja belum cukup. Tengoklah betapa banyak orang, penulis, kritikus, politikus, ahli-ahli yang betul-betul merasa benar, namun tidak menyambung perasaan ini dengan komitmen untuk berusaha, berubah, bertindak, mengubah kebiasaan diri, orang lain dan membangun sukses. Sebuah kalimat bijak mengatakan: “Winners actually SEE their success BEFORE it happens”, tetapi melihat saja tidak cukup. Untuk menang atau mempunyai jiwa pemenang kita harus bergerak, bertindak, dan “masuk” ke lapangan, bukan menjadi penonton saja.

Semangat Pemenang Perlu Dipelihara

Dalam penutup email dan smsnya, seorang teman sering menuliskan kata penyemangat pada rekan-rekan kerjanya. Semula saya sendiri kikuk menerimanya, tetapi lama-kelamaan timbul emosi positif dan semangat menularkannya juga ke orang lain. Tanpa kita sadari kata-kata bisa sangat “powerful” untuk membangkitkan mindset pemenang, karenanya perlu dipilih secara hati hati.

Kita juga perlu memelihara semangat pemenang ini dengan berlatih berada di bawah tekanan. Target penjualan yang ditingkatkan terus, tingkat kesulitan pekerjaan yang ditambah, berjuang untuk jabatan yang lebih tinggi, adalah upaya untuk membiasakan diri menguatkan mental dan mempertebal kepercayaan diri untuk menghadapi kesulitan yang tidak kunjung berhenti.

Hal yang juga senantiasa perlu ditemukan individu dalam kehidupan berkarya adalah perasaan bangga atas hasil kerjanya, di mana seorang tukang sapu harus sama bangganya atas hasil sapuannya seperti Michelangelo bangga terhadap hasil sapuan kuasnya.

Kita Memang BEDA

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri


Kalau ada dua orang berhadapan, saling menatap, dan kemudian salah satu mengambil kesimpulan: ”Kita beda”, maka menurut pendapat saya, justru mereka sebetulnya sudah menemukan kesamaan. Di sinilah persepsi mengenai perbedaan dan persamaan akan terasa keindahannya, karena masing-masing individu yang berhadapan itu sudah “menemukan dirinya”, keunikannya, dan bahkan “value adding”-nya, sebagai manusia yang utuh. Itulah sebabnya kita memang perlu berbangga dengan semboyan negara kita, Bhinneka Tunggal Ika; kesamaan dalam perbedaan, yang sampai-sampai oleh DJ Romy, cucu Soekarno juga dijadikan tema album terbarunya: “Unity in diversity”.

Namun demikian, meski kita sering mengakui bahwa perbedaan itu indah, begitu sering juga kita tidak melihat perbedaan sebagai suatu kekayaan. Pikirkan betapa sering kita ‘buang muka’ bila menemukan orang yang berbeda pandangan dengan kita, bergosip di belakang orangnya, membahas mengapa dia beda, dan bahkan kemudian kita mulai melakukan manuver-manuver penyerangan seolah dia atau mereka itu musuh bebuyutan yang harus dibasmi. Di dalam rapat kita sering menemui jalan buntu sekedar karena berbeda pendapat mengenai cara pemecahan masalah atau cara meraih sasaran yang sebetulnya adalah sasaran bersama. Dalam kondisi begini, ternyata perbedaan membuat kita tidak nyaman dan bahkan membangkitkan suasana permusuhan. Alih–alih menyamakan visi dan sasaran, berbicara pun sering tidak kita upayakan, bila sudah terjebak dalam konflik yang disebabkan adanya perbedaan.

SAMA TAPI BEDA

Sikap ‘jijik’ terhadap perbedaan adalah sikap yang mutlak salah, karena dengan demikian kita lupa bahwa kesamaan bisa membuat kita justru miskin dan tidak berkembang. Kesamaan latar belakang, pendidikan, kompetensi, dan komitmen yang sering membuat lingkungan kita ‘nyaman’, terkadang justru membuat kita jadi tidak bisa menggerakkan suatu tim. Mereka yang bisa menampilkan keberbedaaannya, kemenonjolannya, dan keunikannya-lah yang kemudian malah bisa mulai memberi nilai tambah kepada tim.

Pemahaman mengenai kesamaan dan perbedaan sesungguhnya adalah dasar untuk mengolah sebuah tim yang berkekuatan besar. Tanpa menyamakan persepsi, misalnya mengenai situasi yang sedang kita hadapi, perilaku yang muncul, serta kekuatan dan kelemahan yang ada, kita tidak bisa mempunyai dasar untuk tinggal landas. Padahal, bukankah suatu situasi yang sama sering dilihat dengan pendekatan yang beda? Individu yang satu melihat detilnya, sementara yang lain melihat keseluruhannya. Ada individu yang banyak melihat, ada individu yang lebih ‘mendengar’, sementara yang lain lebih dominan perasaannya dalam mendekati suatu gejala dan fenomena. Belum lagi, pandangan dua orang yang akan berbeda total bila yang satu melihat dengan kepentingan jangka pendek, sementara yang lain melihat dengan kepentingan jangka panjang.

Penyamaan persepsi ini sebetulnya terjadi pada setiap manusia dewasa yang berniat dan mampu melihat suatu gejala secara obyektif. Tanpa kemampuan ini, individu akan mencampuradukkan keyakinan, nilai dan visinya dengan perbedaan pandangan pihak lain, sehingga individu lain dianggapnya berseberangan. Di sinilah kemudian, kelompok bisa tidak sejalan satu dengan yang lain, divisi A berkonflik dengan divisi B, partai politik berseteru satu dengan yang lain, akibat ketidakmampuan melihat kepentingan bersama, visi dan tujuan bersama yang sebetulnya sama.

MULAI DENGAN MEMOTRET DIRI SENDIRI

Ilmu “emotional intelligence” mengajarkan pada kita untuk meningkatkan ’self awareness’ kita dulu, bila kita berharap untuk mampu menguasai situasi sosial atau mempengaruhi orang lain. Ini adalah bagian dari ‘eksplorasi mental’ yang perlu kita lakukan dengan sengaja. Tanpa melakukannya, kita akan tumbuh menjadi orang yang kian picik, karena tidak bisa memanfaatkan keberbedaan yang berangkat dari analisa diri dan situasi yang obyektif. Banyak istilah seperti “test the water’, ‘feel the breeze’ yang kurang lebih artinya adalah menajamkan sensor untuk memahami diri dan situasi sekitar kita.

Cara yang paling mudah untuk ’memotret diri’ ini adalah dengan membandingkan diri kita dengan orang lain, memahami kesamaan, terutama persepsi dan pemahaman, kemudian mengidentifikasi keunikan serta keberbedaan orang lain. Hanya dengan ketajaman mental seperti ini kita bisa mengembangkan respek terhadap orang lain. Dalam proses eksplorasi mental ini, kita pasti secara otomatis ingin merasa benar, ingin membela diri dan bahkan ingin meneruskan cara-cara kita yang lama dan yang sudah ada. Hal ini sangat manusiawi karena manusia memang dibekali proses mental untuk menjaga keseimbangan jiwanya. Namun demikian, orang yang ingin memperkuat mentalnya, perlu juga melakukan ‘judging, comparing, interpreting, anticipating, rehearsing’, yang artinya mengolah input yang masuk dan mencocokkannya dengan realita, mencari kebenaran dan mengambil resiko bahwa ada kemungkinan ia harus berubah. Hanya dengan cara inilah kita sebagai manusia, berkembang menjadi manusia yang berpikiran fleksibel dan berpikiran terbuka dalam menghadapi tantangan..

BAYANGKAN KALAU KITA SAMA SEMUA

Kalau kita, di dunia ini sama semua, maka pastilah kita akan merasa seperti robot ciptaan manusia yang sudah diberi bobot emosi, seperti yang digambarkan lewat film-film science fiction yang marak sekarang. Berbedanya bakat, latar belakang, pendidikan, dan kompetensi lainnya adalah kekayaan keluarga, kelompok, bahkan Negara. Perbedaanlah yang memungkinkan kita bisa saling melengkapi kekurangan satu sama lain, hingga terciptanya sinergi. Hanya saja memang perlu diakui bahwa menonjolkan keberbedaan alias keunikan kita tidaklah mudah.

Kita tentunya tidak bisa berperilaku aneh-aneh untuk mengekspresikan keberbedaan kita. Kita pun tidak bisa berkoar-koar menonjolkannya. Kita tahu bahwa kita memang perlu mengekspresikan bahwa “saya adalah saya”, sementara “saya” ini mempunyai nilai, keyakinan, kompetensi dan sasaran sendiri. Satu-satunya jalan bersikap dewasa adalah dengan sedikit mengambil ‘jarak’ terhadap diri dan memperbolehkan diri kita sendiri atau siapa saja meninjau kembali, mengetes lagi, kompetensi, nilai, keyakinan kita. Bukankah keyakinan juga bisa salah dan nilai pun bisa usang? Untuk Negara dengan 12000 pulau dan ribuan suku bangsa yang ingin bersatu, dengan 33 partai politik peserta pemilu 2009 yang disahkan , keterbukaan inilah yang mutlak diperlukan: Bhinneka Tunggal Ika. ….Merdeka!!!

KOMITMEN

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Tanda bahwa sebuah organisasi sudah mulai tidak efektif adalah kalau karyawannya sudah tidak lagi ingin kompak satu sama lain. Seorang eksekutif HRD menceritakan betapa karyawannya masih harus ditakut-takuti dengan absensi kehadiran, agar mau terlibat dalam kegiatan ataupun meeting yang tidak langsung berdampak ke pekerjaan, seperti donasi, fun activities, atau meeting bipartite. Memang, para karyawan tidak sampai saling memukul, baik dari belakang maupun depan, tidak saling menghina ataupun tidak menyatakan tidak percaya satu sama lain. Secara kasat mata, hubungan interpersonal kelihatan harmonis. Namun, bila perlu adanya koordinasi, katakanlah, crash program, pembenahan kantor ataupun program yang sifatnya non-kritikal tetapi perlu dikeroyok rame-rame, barulah terlihat bahwa komunikasi dan koordinasi seolah sulit sekali diatur dan diimplementasikan ke dalam kegiatan yang terarah. Disinilah sesungguhnya kita bisa menyaksikan ketidakefektifan sebuah organisasi.

Banyak sekali ribut-ribut di perusahaan yang diakhiri dengan komentar: “Ini cuman masalah komunikasi, kok…” Kita banyak lupa bahwa tidak efektifnya komunikasi merupakan “dosa” manajemen yang sangat besar. Hasil yang kita telan dari tidak efektifnya komunikasi adalah karyawan tidak ter-”konek” dengan misi perusahaan, merasa “tertinggal dalam gelap” dan tidak memahami bagaimana berpartisipasi dan melibatkan diri secara sesuai. Tidak efektifnya komunikasi ini, dalam keadaan parah bisa tidak terdeteksi lagi. Yang terlihat justru pada tidak berkomitmennya setiap bagian, individu atau kelompok terhadap apa yang sudah di-”iya”-kan, dijanjikan atau direncanakan. Lebih parah lagi, bila komitmen terhadap”deadline”, waktu, kuantitas tidak bisa di-“nyatakan” lagi. Semua rencana dan tindakan hanya bersifat mengambang. Di sinilah kita perlu waspada terhadap matinya spirit perusahaan atau lembaga karena sakitnya komitmen.

Dari Komitmen ke Laba Perusahaan

Sudah tidak jamannya lagi orang menomorduakan komitmen karyawan di dalam pertimbangan pengembangan organisasi, karena jelas-jelas komitmen karyawan sudah menjadi daya saing utama dalam binis. Komitmen bisa terlihat dalam beberapa bentuk. Kita bisa lihat komitmen berkelas rendah karena individu butuh “memperpanjang” karirnya di perusahaan dan tidak punya pilihan lain dalam karirnya, yang sering disebut sebagai ‘continuance commitment’. Ada juga individu yang komit demi loyalitas, kedisiplinan dan kepatuhannya pada perusahaan, atau komitmen yang bersifat normatif. Orang yang komitmennya normatif akan melakukan segala sesuatu yang diperintahkan organisasi, walalupun tindakan tersebut belum tentu sesuai dengan keinginan pribadinya. Perusahaan sebetulnya perlu memancing sebanyak-banyaknya komitmen afektif, di mana passion dan kesungguhan individu untuk berkontribusi, mengkompakkan diri berlandaskan kesamaan pemikiran, sasaran dan idealisme profesinya dengan perusahaan.

Komitmen sampai level afektif dan passion ini tentunya tidak didapatkan secara gratis karena sesungguhnya bermula dari kemudahan, konsistensi dan kejelasan sistem dan prosedur di perusahaan. Kejelasan aturan main menjadikan karyawan bisa mengandalkan dan berpegang pada aturan. Dalam perkembangannya, karyawan jadi bisa tahu di mana ia bisa “ikut bermain’ dan menikmati pekerjaannya, bahkan memperbaiki kinerjanya dari waktu ke waktu. Hanya dalam tingkatan inilah komitmen karyawan perusahaan bisa terasa oleh pelanggan, sehingga pada akhirnya pelanggan pun komit untuk berbisnis dengan perusahaan. Bila sudah mencapai tingkatan ini, perusahaan baru bisa mengeruk keuntungan bermodalkan komitmen karyawan. Kita sebagai nasabah tentunya senang berbank dengan bank yang karyawannya jelas-jelas bekerja keras, berkinerja dan berjuang demi kepuasan nasabah dan kesuksesan perusahaannya, ketimbang bank yang santai dan tidak mengejar sasaran yang jelas.

Komitmen : Penyatuan Risiko dengan Tindakan

Menurut para ahli, komitmen sangat berbeda dari janji atau sekedar pelaksanaan kewajiban. Kewajiban berasal dari otoritas eksternal, sementara komitmen berasal dari dalam diri seseorang. Selain itu komitmen mengandung bobot yang jauh lebih tinggi, karena berkomit berarti menyadari dan bersedia menerima resiko tindakan yang sudah diputuskan untuk diambil oleh individu. Bila seorang ahli bedah sudah berkomitmen untuk menyelesaikan suatu kasus, ia akan berusaha sekuat-kuatnya untuk menyembuhkan si pasien, apakah melalui tangannya sendiri ataupun dengan bantuan ahli lain. Demikian pula, seorang kepala cabang yang sudah berkomitmen untuk mencapai level KPI (key performance indicator) tertentu, akan serta merta mengerahkan segala upaya untuk mencapainya. Tentunya ada resiko ia tidak disukai oleh anak buah, karena anak buahnya didera untuk bekerja keras. Namun, tanpa pengambilan resiko tersebut, komitmen atasan akan terasa hampa, ringan tidak bertenaga. Di sini, komitmen justru memberi “flavor” pada kerja keras kelompok.

Dalam sebuah kelompok kerja, komitmen akan terasa bila individu dalam kelompok mau “tune in”, mendukung “action”, bersedia untuk di-“expose”, siap bertanggung jawab terhadap tugas, dan bahkan ikut serta dalam menghandel dilema yang pasti muncul dalam mengembangkan tugas. Dari sini jelas kita bisa melihat bahwa gejala “loh kok saya?” atau ‘bukan saya, pak…’ tidak laku, karena sikap defensif hanyalah pertanda bahwa komitmen individu tidak ada.

Komitmen itu Pilihan

Beda tipis dengan kepatuhan dan kewajiban yang normatif, komitmen afektif adalah sepenuhnya pilihan individu. Individu yang memilih untuk komit biasanya sudah melalui proses pertimbangan terhadap kebutuhan dan visinya sendiri dan juga sudah yakin akan dampak sikapnya. Karena itu, individu yang berkomitmen tinggi, bisa memberikan “impact” yang lebih besar di pekerjaan, lebih persuasif, lebih terbuka terhadap kemungkinan dan kritik. Pilihan perilaku yang diambil seseorang yang berkomitmen pun akan diarahkan pada dua hal yang sangat penting, yaitu mendukung dan mengembangkan, karena hanya dengan sikap seperti inilah kelompok dapat maju dan mencapai tujuan yang sudah sama sama dipahami.

Komunikasi mengikuti “The 51% rule”

Rapat-rapat yang diikuti oleh orang-orang berkomitmen tinggi akan memakan waktu jauh lebih singkat daripada bila individu peserta rapat ragu akan komitmennya. Untuk membuat peserta lain ’hadir’ dalam tantangan yang sedang dibicarakan, seorang ahli komunikasi membuat formula yaitu bila setiap orang yang sedang berkomunikasi, yang sudah pasti harus dua arah, mengambil 51% tanggung jawab terhadap keberhasilan komunikasi dan follow up-nya, maka komunikasi pasti akan dipenuhi oleh spirit komitmen yang utuh. Hanya dengan cara inilah kita bisa mengejar “the extra mile” dan menikmati pekerjaan.

Menerobos Masa Depan

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Seorang tokoh yang mencalonkan diri menjadi presiden menyapa saya dan bertanya mengenai komentar saya mengenai fakta bahwa ia mencalonkan diri sebagai presiden. Saya betul-betul membutuhkan waktu untuk mencerna apa dan bagaimana kriteria seorang presiden, sampai saya akhirnya berkomentar menyatakan kekaguman saya pada keberanian dan kesiapannya. Ia tentunya sudah merencanakan terobosan-terobosan, inovasi dan solusi bagi keadaan negara yang sangat kompleks dan besar ini.

Kita sadari bersama bahwa selain krisis energi di tengah kekayaaan sumberdaya yang belum termanfaatkan seperti air, angin, laut, kita sudah menghadapi masalah-masalah seperti emisi karbon yang harus di stop, sementara konsumsi mobil meningkat terus. Biaya pengobatan pun kini sudah tidak terkendalikan mahalnya dan tidak bisa di tanggung oleh kebanyakan orang lagi. Masalah kemiskinan yang diduga sudah mencapai titik nadir, tetapi tetep anjlok lebih dalam dan lebih dalam lagi. Belum lagi bicara terorisme yang selain membunuh orang juga mematikan bisnis dan kesejahteraan rakyat, seperti kejadian di Bali. Pe-er para pemimpin tentunya tidak berpolitik saja, tetapi juga melakukan hal-hal ‘back to basic’, program-program ‘fusion’, atau bahkan membuat ‘quantum leap’, banting stir, tidak sekedar mereplikasi upaya yang ada tanpa perbaikan, sementara juga membuat proses yang ada berjalan lancar tanpa hambatan. Mungkin tepatnya, pemimpin perlu punya kompetensi super istimewa, seperti memperbaiki mobil dalam keadaan sedang berjalan.

Generasi yang Menggerakkan Masa Depan

Bicara masa depan, tentulah tidak bisa dihindari, mata kita tertuju pula pada generasi yang baru. Berkat jasa para pendahulu, kita sekarang berada pada generasi yang lebih berfasilitas dan lebih berpendidikan dari sebelumnya. Perubahan kilat dan daya tahan untuk menghadapi kompleksitas hidup pun sudah meningkat. Kita sudah punya akses ke informasi apapun dan juga terkoneksi ke mana pun.

Ada yang mengatakan bahwa generasi sekarang sudah tidak setangguh generasi dulu. Generasi sekarang tinggal menikmati apa yang sudah dilandaskan oleh generasi pendahulu. Padahal kita mengenal ’Gen Y’, anak muda sekarang, jauh lebih kreatif, inventif, tahu bagaimana menikmati dunia dan kebebasan. Kreativitas, inovasi serta pikiran bebas sudah menyebabkan generasi baru sudah “beda” dengan generasi lalu. Tanpa terasa”alih generasi” sudah terjadi. Karakteristik ini tentunya menjadi kekuatan untuk menanggulangi abad ke-21 yang sudah di depan mata. Sekaranglah saat-saat perpindahan tongkat estafet, di mana semua hasil karya pendahulu bisa kita nikmati dan perlu diteruskan dengan upaya yang lebih keras, kreatif dan “beda”. Kalau tidak kita akan terjebak di dalam vakumnya kepemimpinan dan bingung antara mengikuti spektrum lama dan sibuk melakukan penyanggahan, komplen, meratapi keterbatasan dan berontak. Kitalah yang perlu membawa lingkungan untuk menanggapi tantangan abad selanjutnya, menemui kesejahteraan bentuk baru. Dengan adanya darah baru kita sebetulnya bisa berharap akan langkah-langkah yang segar, positif, penuh inspirasi sehingga kekuatan intelektual dan sosial yang berasal dari generasi muda menjadi motor penggerak bangsa.

Kita pun bisa dengan mindset “out of the box” mengembangkan “inside the box” kita. Sebagai inspirasi, kita bisa tengok Thailand, yang area istananya ‘dipenuhi’ dengan laboratorium laboratorium yang menjadikan kita dapat menikmati durian munthong secara murah meriah, menikmati beras impor Thailand, bahkan mengimpor iklan karena profesionalisme pembuatan iklan yang diriset dari istana. Negara tetangga kita yang lain, Malaysia, yang meskipun garis pantainya begitu pendek, sedang gencarnya mengembangkan ‘marine agriculture’ atau inshore aquaculture. Mengapa kita yang punya garis pantai kedua terpanjang di dunia, luput mengembangkannya?

Menyambut Tantangan dengan Tindakan

Presentasi para manajer di perusahaan baik di dalam rapat kerja atau analisa penjualan atau bisnis yang kerap menggambarkan kekuatan dan kesempatan di satu sisi, ancaman dan kelemahan di sisi lain, atau SWOT, sering menjebak kita semua untuk berkubang dan memelototi kelemahan diri dan tidak berusaha keluar dari sumur kubangan tersebut. Pendekatan “positive psychology” mengajurkan agar kita hanya menggunakan analisa ancaman dan kelemahan sebagai langkah awal. Kemudian, ‘sejarah’ itu kita simpan baik-baik di belakang untuk berfokus pada S-O-A-R (strength, opportunity, action, result), yaitu masa depan, action dan hasil. Pendekatan seperti ini akan membawa kita dari intelektualisme menuju aktivisme, berorientasi pada gerak sehingga membawa aura “dinamisme”. Kreativitas pun akan dimanfaatkan betul-betul untuk menyambut tantangan. Konsentrasi pada action dan result ini juga lebih cocok untuk generasi sekarang yang cenderung lebih instan dan ingin “menyaksikan hasil” dengan cepat.

Keaktifan Menerobos akan Membawa Hawa Baru

Greget untuk menuju pada kemajuan, baik ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, lingkungan ataupun kualitas hidup lainnya, dalam kondisi “constant change” dan kompetisi, tidak-bisa-tidak tetap perlu dibawa ke depan. Untuk itulah pemimpin butuh visi, strategi dan komitmen yang super kuat. Kesenjangan yang sedang digarap bukanlah sekedar kesenjangan antara masa sekarang dan masa depan, tetapi juga kesenjangan antara masa depan dan komitmen pemimpinnya, antara tindakan yang sudah dibuat dengan keadaan “turbulence” selanjutnya, yang disebut seorang ahli sebagai “Energetic Gap”, yaitu kekuatan energetik yang menembus terciptanya suatu program yang mantap dan antisipatif dari sesuatu yang, tidak usah selalu baru dan banyak ongkos, tetapi belum pernah terpikirkan.

Gaya pemimpin yang berorientasi paternalistik dan berangan-angan menjadi panutan bagi anak buah rasanya sudah kurang cocok dalam situasi sekarang di mana stakeholders, anak buah, pelanggan sudah ‘sama pandainya’ dengan para pemimpin. Satu-satunya jalan yang dimiliki pemimpin untuk menggerakkan dan mencatat sukses adalah dengan mengajak, mencontohkan kegiatan belajarnya, dan mengakui ketidakbisaannya dengan jujur dan transparan. “Learning” buat para pemimpin perlu menjadi nafas dinamikanya, di mana perlu didorong “blur the line” antara learning dan kerja. Pemimpin yang baru perlu tahu memanfaatkan kompetensi teknis baru pada proses-proses yang berjalan sekarang dan dengan serius mengembangkannya baik di dalam laboratorium maupun dalam diskusi-diskusi sehingga hasil olahan tersebut menelorkan program-program pembenahan, campuran atau yang sama sekali baru. Pemimpin pun perlu sangat transparan akan sasaran dan harapannya, karena hanya dengan pemahaman yang kuat dari para pengikutlah enerji yang dibutuhkan untuk bergerak bisa menyala dan tumbuh.