by:Yodhia Antariksa
Dalam himpitan krisis global yang kian mencekam, terdengar kabar pahit yang mesti terus kita telan. Baru saja Citibank mengabarkan akan mem-PHK 50,000 karyawannya di seluruh dunia (termasuk di Indonesia tentunya). Sementara dalam skala domestik, kita mendengar ratusan perusahaan siap mem-PHK puluhan ribu karyawannya, lantaran order dari luar negeri mendadak mampet.
Oke, kantor tempat Anda bekerja sekarang mungkin masih adem ayem saja. Namun, siapa bisa menebak bahwa perusahaan tempat Anda bekerja bisa terus stabil (apalagi jika kelak memang rupiah akhirnya menembus angka 20,000 – doh !!). Karena itu, bayangkanlah skenario ini : mendadak sampeyan dipanggil bos, dan dia bilang kalau bulan depan sampeyan ndak usah masuk lagi ke kantor, lantaran pemilik perusahaan memilih menutup usahanya. Kalau sampai sampeyan dipecat, lalu anak istri mau makan apa? Makan nasi aking?
Mungkin benar kata sebagian orang, menjadi pekerja kantoran sejatinya sama beresikonya dengan melakukan wirausaha. Memang karyawan kantor bisa menerima gaji tetap yang stabil setiap bulan – namun jika mendadak Anda dipecat…..itu artinya sama dengan kehidupan finansial Anda sekonyong-konyong bangkrut dalam sekejap. Jadi strategi apa yang kira-kira kudu dipersiapkan untuk mengantisipasi datangnya PHK? Disini mungkin ada dua pilihan strategi yang bisa kita bincangkan.
Strategi yang pertama adalah ini : lakukanlah self-assessment untuk mencoba melihat seberapa kokoh portofolio kompetensi atau kualifikasi Anda. Apakah pengalaman kerja yang sudah Anda peroleh selama 2, 5 atau 7 tahun itu telah benar-benar memberikan profil kompetensi yang solid dan “marketable”. (Atau jangan-jangan, pengalaman kerja Anda selama ini benar-benar tidak punya makna apapun terhadap personal development diri Anda….wah cilaka 12 kalau begitu). Lalu, apakah portofolio kompetensi dan skills Anda itu juga mudah untuk “dijual” di perusahaan lain, atau bahkan industri lain.
Cara yang paling mudah untuk mengetes pertanyaan itu adalah begini: coba bayangkan hari ini Anda dipecat; lalu apakah Anda merasa yakin dalam waktu paling lama 3 bulan, Anda sudah bisa memperoleh pekerjaan seperti semula? Jika tidak yakin, berarti mungkin profil skills dan kualifikasi Anda masih cukup rentan. Kalau demikian, segeralah bertindak melakukan serangkaian aksi untuk memekarkan keahlian dan ketrampilan Anda. Cara paling mudah adalah melalui pekerjaan Anda saat ini. Bersikaplah proaktif; dan jika mungkin mintalah tambahan tugas baru – yang memungkinkan Anda untuk terus mengembangkan ketrampilan baru. Bersikap pula aktif untuk terlibat dalam projek-projek yang ada di kantor – sebab siapa tahu, dari rangkaian tugas dan projek itu, Anda bisa punya kesempatan bagus buat mengasah kompetensi Anda. Dan itu artinya, Anda bisa terus mengembangkan portofolio pengalaman serta “nilai jual” Anda di tengah pasar tenaga kerja yang kian kompetitif. “Nilai jual” yang bagus ini tentu saja akan sangat bermanfaat jika kelak Anda memang kejeblok kena PHK.
Strategi yang kedua mengambil pendekatan yang agak berbeda. Strategi kedua ini bertajuk begini : mumpung masih menjadi pekerja kantoran dan belum keburu di-PHK, start doing your own business right NOW. Ya, dengan masih menjadi karyawan, ada kemungkinan Anda masih bisa sedikit menyisakan tabungan (apalagi kalau gaji Anda 16 juta per bulan.). Dari uang tabungan ini, Anda tentu bisa bergerak untuk memulai sebuah bisnis secara mandiri. Tentu saja Anda mesti mencari jenis usaha yang tidak menuntut Anda untuk terjun langsung full time. Bisa juga Anda memanfaatkan atau mempekerjakan orang lain untuk menjalankan usaha Anda ini (sementara Anda bisa bertindak sebagai semacam “arranger”). Atau bisa juga Anda memanfaatkan istri untuk dijadikan business partner (why not?).
Start small, but do act NOW. Cantumkan target dalam dua tahun pertama, usaha mandiri itu bisa mendatangkan income setidaknya 50 % dari gaji pokok Anda sekarang. Dan kemudian, dalam waktu tiga atau empat tahun, bentangkan sasaran untuk memperoleh profit yang jumlahnya 100% sama dengan gaji Anda saat itu. Nah, kalau sudah begini, Anda bisa kemudian memilih : apakah tetap bekerja sambil berbisnis, atau resign untuk sepenuhnya mengelola your own business. Wah asyik juga ya kedengarannya…….
Demikianlah dua strategi ringkas yang mungkin bisa kita singgahi manakala kita berpikir untuk merespon ancaman PHK. Apapun pilihan Anda, ada satu kalimat yang mungkin layak dicengkram erat-erat dalam sekujur tubuh kita. Kalimat itu berbunyi begini : You, and ONLY YOU, who create your own future and destiny. Ya, nasib kita memang bukan ada di tangan orang lain, atau pemilik perusahaan, atau top manajemen, atau pejabat pemerintah. Nasib kita ada di tangan kita sendiri, sodara-sodara………
Minggu, 25 Januari 2009
Sabtu, 10 Januari 2009
Memberi
By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri
Di penghujung Ramadhan dan awal bulan Syawal ini, kita memang jadi lebih dekat dengan kegiatan memberi. Kegiatan seperti “sahur on the road”, pembagian zakat, hanyalah sebagian kecil dari kegiatan ’memberi’ yang bisa kita simak. Banyak orang yang memang menggunakan Ramadhan sebagai momentum untuk berbagi. Lihatlah bagaimana orang-orang berburu “uang pecahan”, mencari posisi strategis untuk membagikan zakat, sehingga dalam masa ini tiba-tiba orang miskin menjadi titik perhatian. Bahkan, orang yang tidak terlalu miskin pun, rela-relanya menggunakan seragam tukang sapu jalanan sekedar untuk mendapatkan ‘pembagian’.
Pernah pada suatu hari saya menasihati putra-putra saya untuk tak lupa memberi pada saudaranya yang kesusahan, bila kelak mereka sudah berdiri sendiri. Namun salah satu di antara mereka bertanya:”Kalau yang diberi, malah kemudian tidak mau usaha lagi dan keenakan minta-minta terus bagaimana?” Ini memang pertanyaan yang sulit dijawab. Terkadang niat baik untuk memberi memang perlu juga dibarengi ’strategi’ agar pemberian kita bisa berdampak lebih panjang daripada sesaat saja. Mungkin, ini juga sebabnya banyak orang tidak setuju untuk memberi sekedar uang penyambung hidup. Ada yang berkata: “lebih baik memberi pancingnya daripada ikannya.” Teman saya, yang mengalami kegiatan “sahur on the road” bahkan mengatakan tidak akan melakukan aktivitas itu lagi, karena ternyata sasaran pemberian tidak terlalu tepat. Meskipun kelihatannya simpel, mudah dan dilakukan secara tulus ikhlas, memberi bisa memiliki berbagai dimensi kemanusiaaan yang perlu kita pikirkan dalam dalam.
Jangan Memberi sekaligus Menerima
Berkali-kali kita saksikan banyak orang memberi karena ingin menghitung “return”-nya, apakah berbentuk pahala, potongan pajak, harga diri, reputasi, “nama baik”, bahkan kepentingan golongan tertentu, sehingga memberi sedekah perlu diabadikan, didokumentasikan bahkan di-‘pasar’kan. Padahal, jelas-jelas hadist Nabi mengingatkan: “Berinfaklah atau memberilah dan janganlah kamu menghitung-hitung, karena Allah akan memperhitungkannya untukmu.”
Kita lihat dalam memberi, ketulusan dan kerelaan saja tidak cukup, melainkan kita pun benar-benar perlu menyiapkan mental untuk melepaskan property dan “diri” kita dengan memikirkan kepentingan orang lain secara 100 % dan utuh. Teman saya yang sering memberi pamannya segepok uang tanpa pikir panjang pernah saya tanyai, mengapa ia memberi pamannya uang sebanyak itu. Teman saya menjawab santai: ”Selain dia memang sangat memerlukannya, saya selalu ingat, waktu saya masih kecil, ia pun melakukan hal yang sama dengan saya. Tanpa kebaikannya dulu, mungkin saya tidak pernah akan membeli mainan….” Kerelaan pemberi memang akan terlihat dari bagaimana ia menganalisa penerima dan melepaskan dari egoism pribadinya. “Remove self. What remains is contribution.“, demikian Tad Waddington, dalam best sellernya : “Lasting contribution. “
Menakar Mutu Pemberian = Menakar Mutu Kehidupan
Setiap individu, pada suatu hari yang baik, pastinya pernah bertanya pada diri sendiri: ”Apa yang sudah saya beri untuk orang lain dan negara, serta apa niat dari pemberian kita?” Pada saat-saat itulah kita bercermin dan melakukan audit etikal tentang dosa dan kebaikan, kecurangan dan kemenangan, serta hal-hal yang fair dan tidak fair yang pernah kita lakukan. Di situ juga kita bisa mengevaluasi, apakah pemberian kita itu demi diri pribadi, demi menyenangkan orang lain, demi menyambung hidup orang lain, demi kelangsungan hidup perusahaan atau demi nilai-nilai yang lebih luhur seperti pendidikan, mutu lingkungan hidup dan kemanusiaan? Syukur-syukur bila kita mendapatkan nilai plus sehingga kita bisa menakar kontribusi yang sudah kita berikan pada keluarga, perusahaan, kompleks perumahan kita, bahkan Negara. ” Life is difficult ,and doing something important with your life is even more difficult.” Satu hal yang jelas, kita pastinya akan merasa jauh lebih “happy” dan bermakna bila kita bisa melihat apa yang sudah kita kontribusikan ke kehidupan orang lain, tempat kita hidup, dan tidak menyibukkan diri pada harta, reputasi, nama baik dan keberadaan diri sendiri saja.
Banyak sekali orang mengkonotasikan pemberian secara material, padahal dengan niat yang tulus dan demi nilai-nilai yang luhur, pemberian dapat kita lakukan dalam bentuk-bentuk lain seperti enerji, waktu bahkan pengetahuan. Untuk orang-orang “biasa” seperti kita-kita yang tidak punya uang atau harta “lebih” untuk dikontribusikan banyak–banyak, kita memang perlu bertindak sekaligus berpikir untuk menghasilkan kontribusi yang berdampak dan ber-”arti”, serta memiliki manfaat jangka panjang bagi orang lain. Dengan memberi bimbingan pada tetangga tentang pengetahuan akan makanan yang sehat, atau melakukan “toilet training” ke putranya dengan tepat, kita sebetulnya sudah “melakukan sesuatu”. Abang saya dikenal sebagai “handyman” di lingkungan tempat tinggalnya, dan menjadi dokter pompa air, ‘tukang’ membetulkan kunci macet dari para tetangga. Suatu hari salah seorang tetangganya nyeletuk :”tidak bisa dibayangkan bila beliau tidak ada lagi di sekitar kita “. Di sanalah harga konstribusi personal kita terangkat menjadi nilai yang berharga. Jadi, banyak hal yang bisa kita lakukan dalam ‘memberi’, tanpa terlalu perlu mengganggu ekuilibirum material atau kocek pribadi, dan tetapi membawa manfaat besar bagi orang lain. Bahkan Andreas Hirata dalam filmnya “Laskar Pelangi” sampai dua kali berpesan:”Berusahalah memberi sebanyak -banyaknya dan jangan menerima sebanyak banyaknya…”. Nah, sudahkah kita menjadi seorang pemberi sejati hari ini?
Di penghujung Ramadhan dan awal bulan Syawal ini, kita memang jadi lebih dekat dengan kegiatan memberi. Kegiatan seperti “sahur on the road”, pembagian zakat, hanyalah sebagian kecil dari kegiatan ’memberi’ yang bisa kita simak. Banyak orang yang memang menggunakan Ramadhan sebagai momentum untuk berbagi. Lihatlah bagaimana orang-orang berburu “uang pecahan”, mencari posisi strategis untuk membagikan zakat, sehingga dalam masa ini tiba-tiba orang miskin menjadi titik perhatian. Bahkan, orang yang tidak terlalu miskin pun, rela-relanya menggunakan seragam tukang sapu jalanan sekedar untuk mendapatkan ‘pembagian’.
Pernah pada suatu hari saya menasihati putra-putra saya untuk tak lupa memberi pada saudaranya yang kesusahan, bila kelak mereka sudah berdiri sendiri. Namun salah satu di antara mereka bertanya:”Kalau yang diberi, malah kemudian tidak mau usaha lagi dan keenakan minta-minta terus bagaimana?” Ini memang pertanyaan yang sulit dijawab. Terkadang niat baik untuk memberi memang perlu juga dibarengi ’strategi’ agar pemberian kita bisa berdampak lebih panjang daripada sesaat saja. Mungkin, ini juga sebabnya banyak orang tidak setuju untuk memberi sekedar uang penyambung hidup. Ada yang berkata: “lebih baik memberi pancingnya daripada ikannya.” Teman saya, yang mengalami kegiatan “sahur on the road” bahkan mengatakan tidak akan melakukan aktivitas itu lagi, karena ternyata sasaran pemberian tidak terlalu tepat. Meskipun kelihatannya simpel, mudah dan dilakukan secara tulus ikhlas, memberi bisa memiliki berbagai dimensi kemanusiaaan yang perlu kita pikirkan dalam dalam.
Jangan Memberi sekaligus Menerima
Berkali-kali kita saksikan banyak orang memberi karena ingin menghitung “return”-nya, apakah berbentuk pahala, potongan pajak, harga diri, reputasi, “nama baik”, bahkan kepentingan golongan tertentu, sehingga memberi sedekah perlu diabadikan, didokumentasikan bahkan di-‘pasar’kan. Padahal, jelas-jelas hadist Nabi mengingatkan: “Berinfaklah atau memberilah dan janganlah kamu menghitung-hitung, karena Allah akan memperhitungkannya untukmu.”
Kita lihat dalam memberi, ketulusan dan kerelaan saja tidak cukup, melainkan kita pun benar-benar perlu menyiapkan mental untuk melepaskan property dan “diri” kita dengan memikirkan kepentingan orang lain secara 100 % dan utuh. Teman saya yang sering memberi pamannya segepok uang tanpa pikir panjang pernah saya tanyai, mengapa ia memberi pamannya uang sebanyak itu. Teman saya menjawab santai: ”Selain dia memang sangat memerlukannya, saya selalu ingat, waktu saya masih kecil, ia pun melakukan hal yang sama dengan saya. Tanpa kebaikannya dulu, mungkin saya tidak pernah akan membeli mainan….” Kerelaan pemberi memang akan terlihat dari bagaimana ia menganalisa penerima dan melepaskan dari egoism pribadinya. “Remove self. What remains is contribution.“, demikian Tad Waddington, dalam best sellernya : “Lasting contribution. “
Menakar Mutu Pemberian = Menakar Mutu Kehidupan
Setiap individu, pada suatu hari yang baik, pastinya pernah bertanya pada diri sendiri: ”Apa yang sudah saya beri untuk orang lain dan negara, serta apa niat dari pemberian kita?” Pada saat-saat itulah kita bercermin dan melakukan audit etikal tentang dosa dan kebaikan, kecurangan dan kemenangan, serta hal-hal yang fair dan tidak fair yang pernah kita lakukan. Di situ juga kita bisa mengevaluasi, apakah pemberian kita itu demi diri pribadi, demi menyenangkan orang lain, demi menyambung hidup orang lain, demi kelangsungan hidup perusahaan atau demi nilai-nilai yang lebih luhur seperti pendidikan, mutu lingkungan hidup dan kemanusiaan? Syukur-syukur bila kita mendapatkan nilai plus sehingga kita bisa menakar kontribusi yang sudah kita berikan pada keluarga, perusahaan, kompleks perumahan kita, bahkan Negara. ” Life is difficult ,and doing something important with your life is even more difficult.” Satu hal yang jelas, kita pastinya akan merasa jauh lebih “happy” dan bermakna bila kita bisa melihat apa yang sudah kita kontribusikan ke kehidupan orang lain, tempat kita hidup, dan tidak menyibukkan diri pada harta, reputasi, nama baik dan keberadaan diri sendiri saja.
Banyak sekali orang mengkonotasikan pemberian secara material, padahal dengan niat yang tulus dan demi nilai-nilai yang luhur, pemberian dapat kita lakukan dalam bentuk-bentuk lain seperti enerji, waktu bahkan pengetahuan. Untuk orang-orang “biasa” seperti kita-kita yang tidak punya uang atau harta “lebih” untuk dikontribusikan banyak–banyak, kita memang perlu bertindak sekaligus berpikir untuk menghasilkan kontribusi yang berdampak dan ber-”arti”, serta memiliki manfaat jangka panjang bagi orang lain. Dengan memberi bimbingan pada tetangga tentang pengetahuan akan makanan yang sehat, atau melakukan “toilet training” ke putranya dengan tepat, kita sebetulnya sudah “melakukan sesuatu”. Abang saya dikenal sebagai “handyman” di lingkungan tempat tinggalnya, dan menjadi dokter pompa air, ‘tukang’ membetulkan kunci macet dari para tetangga. Suatu hari salah seorang tetangganya nyeletuk :”tidak bisa dibayangkan bila beliau tidak ada lagi di sekitar kita “. Di sanalah harga konstribusi personal kita terangkat menjadi nilai yang berharga. Jadi, banyak hal yang bisa kita lakukan dalam ‘memberi’, tanpa terlalu perlu mengganggu ekuilibirum material atau kocek pribadi, dan tetapi membawa manfaat besar bagi orang lain. Bahkan Andreas Hirata dalam filmnya “Laskar Pelangi” sampai dua kali berpesan:”Berusahalah memberi sebanyak -banyaknya dan jangan menerima sebanyak banyaknya…”. Nah, sudahkah kita menjadi seorang pemberi sejati hari ini?
Sense Of Urgency
By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri
Seorang manajer mengeluh bahwa walaupun pencapaian target bagiannya hampir selalu tercapai, ia merasa bahwa teman-teman di bagiannya kurang berinisiatif untuk mengejar target baru dan kurang kreatif dalam mencari tantangan baru. Bahkan, ada yang berkomentar mengenai dirinya sebagai orang yang tidak pernah puas dan pesimis. “Sebenarnya yang saya inginkan adalah anak buah bisa merasakan sense of urgency, sehingga mereka lebih siap dengan perubahan pasar dan realitas kompetisi. Dalam perasaan nyaman begini, mana mungkin mereka mengidentifikasi dan mendiskusikan potensi krisis sekaligus kesempatan-kesempatan besar?”
Ketika pada tahun 1989 Stephen R. Covey mengentaskan konsep manajemen waktu, dalam buku 7 HABITS , yang diantaranya mengemukakan pentingnya membedakan hal yang “penting dan mendesak (urgen)” dan hal yang “penting dan tidak mendesak”, kita dibuat menyadari betapa kita harus membedakan antara apa yang ‘penting’ dan apa yang ‘urgen’. Stephen Covey mengingatkan bahwa kita seringkali hanya berkonsentrasi pada yang hal yang mendesak (urgen), yang sudah bermasalah dan harus cepat ditangani, karena sebelumnya hal-hal ini diabaikan, tidak diperhatikan karena dianggap tidak penting. Sekarang kita kurang lebih sudah lihat hasilnya : budaya mementingkan “yang penting” menjadi semakin kuat. Buktinya kata ‘penting ‘menjadi sangat popular di lingkungan pergaulan. “Ah, nggak penting….” kata seorang remaja atau “Atasan saya hanya mengurusi yang ‘tidak penting’ …” demikian ujar seorang karyawan perusahaan.
Mengutamakan hal yang “penting” tentunya merupakan sikap antisipatif yang sangat positif, misalnya menyelesaikan laporan sebelum waktunya, mengecek peralatan secara rutin, melaksanakan pengawasan berkala, melakukan rapat reguler dan komunikasi efektif, sehingga kita bisa menekan munculnya masalah yang urgen. Pertanyaannya, apakah perhatian terhadap hal-hal yang penting ini juga mencakup perhatian kita terhadap terpeliharanya mental waspada dan sikap “bergegas” kita dalam bekerja ?
“Sense of urgency” tidak sama dengan ‘menghadapi “urgency” ‘
Dalam dunia kerja dan bisnis sekarang, kita tentunya harus mempertanyakan kapan masih bisa menerapkan faham “alon-alon asal kelakon”. Kita bisa memilih mengatakan pada rekan kerja kita: “Ayo ini sudah bulan oktober” atau “Ini masih bulan oktober”. Kecenderungan untuk hidup ‘enak’ , menutup mata dari kabar buruk dan dorongan untuk menghindar dari kenyataan pahit, sering membuat kita menjerumuskan diri dan tim kita dalam posisi ‘nina bobo’ alias comfort zone. Keadaan ini dipersubur bila tidak ada ukuran yang obyektif mengenai kinerja dan sikap yang diinginkan, sehingga tanpa terasa individu semakin nyaman berada di daerah abu abu dan menghindari konfrontasi hitam putih.
Di sebuah bank klien saya, baru-baru ini beredar sebuah slogan unik: “No business as usual”, yang agak bertentangan dengan budaya di dunia perbankan yang biasanya mengembangkan sikap konservatif, mantap dan pasti. Sentakan yang dilontarkan pimpinan perusahaan ternyata menghasilkan tingkat kewaspadaan karyawan yang lebih baik, sehingga semangat kompetisi dan memenangkan tantangan menjadi lebih kuat. Tentunya peningkatan kewaspadaan ini bisa dicapai bila organisasi tidak bosan bosannya menyiapkan sasaran-sasaran baru, meningkatkan tantangan penjualan, produktivitas maupun kepuasan pelanggan, dan berkomunikasi secara jujur dan terbuka tentang kejadian enak dan tidak enak di dalam dan di luar perusahaan. Tidak banyak “happy talk” lagi dalam meeting, namun komunikasi digantikan dengan fakta-fakta mengenai pencapaian target, kesempatan di masa depan dan keberhasilan orang luar. Kondisi inilah yang membangunkan individu agar tidak terlalu banyak berkonsentrasi pada upaya ‘menyamankan diri’ dan mendorong diri untuk bersikap waspada, dinamis dan berkeinginan untuk menyambut tantangan baru atau “urgency” yang sesungguhnya.
‘4-A’ Sense of urgency
Seorang salesman saya terperangah, ketika saya tanyakan sasaran penjualan berikutnya, sesaat setelah baru saja kami sukses menutup sebuah penjualan yang ‘manis’. Mungkin dalam hatinya ia berkata “Nggak ada matinya ibu ini…”. Persoalannya, sense of urgency adalah sebuah siklus yang berpedoman : “Success motivates more success”. Siklus 4-A, yang terdiri dari Achieve – Assess – Activate dan Accelecate dimulai dari sebuah upaya pencapaian tantangan (achievement) yang bila tercapai, segera dievaluasi (assess), kemudian segera direvisi dan dihidupkan kembali (activate) untuk memulai sesuatu yang baru lagi, sambil tak lengah mendorong dan menggenjot energi (accelerate) untuk mengoptimalkan pencapaian hasil.
Banyak sekali hal-hal yang bisa menyebabkan individu lengah atau “slow down”, seperti menunggu keputusan,merayakan keberhasilan, menyusun anggaran, faktor birokrasi dan proses di pihak ketiga. Di sinilah sesungguhnya kekuatan kita diuji untuk tetap bergerak, dan mengayuh enerji. Begitu kita berhasil atau “achieve” lagi, kita boleh merayakan suksesnya. Namun, kita tidak boleh terlena karena dengan segera kita pun perlu meng-“assess” dan membuat tantangan baru lagi. “Sense of urgency “ hanya bisa didapatkan oleh individu yang mau menceburkan diri ke dalam siklus yang bergerak kencang , bahkan bergoyang.
Jadilah “Person in Motion”.
Kita semua pasti setuju bahwa lebih mudah mengendalikan obyek yang bergerak daripada diam. Berpatokan pada hal ini, kita bisa mengadaptasi untuk lebih bersikap dinamis daripada statis. Seorang ahli menyatakan bahwa langkah pertama untuk menghidupkan “sense of urgency” adalah dengan berjalan kaki lebih cepat, sehingga kita juga mensugesti diri sendiri bahwa kita sedang bergegas. Bersikap responsif, misalnya dengan segera menjawab telpon, merespon email, voice mail, blackberry , maupun sms, serta berorientasi ‘action’ seperti ini akan mendorong individu tidak mengijinkan dirinya untuk mencari-cari alasan menunda pekerjaan. Dalam berkomunikasi, kita pun bisa membiasakan untuk tidak berbelit-belit, sehingga orang lain pun terpengaruh untuk berbicara “to the point”. Hal ini membuat kita bisa mengefisiensikan banyak waktu di dalam rapat dan pergaulan.
Kita mudah sekali melihat orang lain tidak mengadaptasi “sense of urgency”, padahal kita sendiri pun barangkali mempunyai penyakit yang sama. Karenanya , bergeraklah, “Do it now!”
Seorang manajer mengeluh bahwa walaupun pencapaian target bagiannya hampir selalu tercapai, ia merasa bahwa teman-teman di bagiannya kurang berinisiatif untuk mengejar target baru dan kurang kreatif dalam mencari tantangan baru. Bahkan, ada yang berkomentar mengenai dirinya sebagai orang yang tidak pernah puas dan pesimis. “Sebenarnya yang saya inginkan adalah anak buah bisa merasakan sense of urgency, sehingga mereka lebih siap dengan perubahan pasar dan realitas kompetisi. Dalam perasaan nyaman begini, mana mungkin mereka mengidentifikasi dan mendiskusikan potensi krisis sekaligus kesempatan-kesempatan besar?”
Ketika pada tahun 1989 Stephen R. Covey mengentaskan konsep manajemen waktu, dalam buku 7 HABITS , yang diantaranya mengemukakan pentingnya membedakan hal yang “penting dan mendesak (urgen)” dan hal yang “penting dan tidak mendesak”, kita dibuat menyadari betapa kita harus membedakan antara apa yang ‘penting’ dan apa yang ‘urgen’. Stephen Covey mengingatkan bahwa kita seringkali hanya berkonsentrasi pada yang hal yang mendesak (urgen), yang sudah bermasalah dan harus cepat ditangani, karena sebelumnya hal-hal ini diabaikan, tidak diperhatikan karena dianggap tidak penting. Sekarang kita kurang lebih sudah lihat hasilnya : budaya mementingkan “yang penting” menjadi semakin kuat. Buktinya kata ‘penting ‘menjadi sangat popular di lingkungan pergaulan. “Ah, nggak penting….” kata seorang remaja atau “Atasan saya hanya mengurusi yang ‘tidak penting’ …” demikian ujar seorang karyawan perusahaan.
Mengutamakan hal yang “penting” tentunya merupakan sikap antisipatif yang sangat positif, misalnya menyelesaikan laporan sebelum waktunya, mengecek peralatan secara rutin, melaksanakan pengawasan berkala, melakukan rapat reguler dan komunikasi efektif, sehingga kita bisa menekan munculnya masalah yang urgen. Pertanyaannya, apakah perhatian terhadap hal-hal yang penting ini juga mencakup perhatian kita terhadap terpeliharanya mental waspada dan sikap “bergegas” kita dalam bekerja ?
“Sense of urgency” tidak sama dengan ‘menghadapi “urgency” ‘
Dalam dunia kerja dan bisnis sekarang, kita tentunya harus mempertanyakan kapan masih bisa menerapkan faham “alon-alon asal kelakon”. Kita bisa memilih mengatakan pada rekan kerja kita: “Ayo ini sudah bulan oktober” atau “Ini masih bulan oktober”. Kecenderungan untuk hidup ‘enak’ , menutup mata dari kabar buruk dan dorongan untuk menghindar dari kenyataan pahit, sering membuat kita menjerumuskan diri dan tim kita dalam posisi ‘nina bobo’ alias comfort zone. Keadaan ini dipersubur bila tidak ada ukuran yang obyektif mengenai kinerja dan sikap yang diinginkan, sehingga tanpa terasa individu semakin nyaman berada di daerah abu abu dan menghindari konfrontasi hitam putih.
Di sebuah bank klien saya, baru-baru ini beredar sebuah slogan unik: “No business as usual”, yang agak bertentangan dengan budaya di dunia perbankan yang biasanya mengembangkan sikap konservatif, mantap dan pasti. Sentakan yang dilontarkan pimpinan perusahaan ternyata menghasilkan tingkat kewaspadaan karyawan yang lebih baik, sehingga semangat kompetisi dan memenangkan tantangan menjadi lebih kuat. Tentunya peningkatan kewaspadaan ini bisa dicapai bila organisasi tidak bosan bosannya menyiapkan sasaran-sasaran baru, meningkatkan tantangan penjualan, produktivitas maupun kepuasan pelanggan, dan berkomunikasi secara jujur dan terbuka tentang kejadian enak dan tidak enak di dalam dan di luar perusahaan. Tidak banyak “happy talk” lagi dalam meeting, namun komunikasi digantikan dengan fakta-fakta mengenai pencapaian target, kesempatan di masa depan dan keberhasilan orang luar. Kondisi inilah yang membangunkan individu agar tidak terlalu banyak berkonsentrasi pada upaya ‘menyamankan diri’ dan mendorong diri untuk bersikap waspada, dinamis dan berkeinginan untuk menyambut tantangan baru atau “urgency” yang sesungguhnya.
‘4-A’ Sense of urgency
Seorang salesman saya terperangah, ketika saya tanyakan sasaran penjualan berikutnya, sesaat setelah baru saja kami sukses menutup sebuah penjualan yang ‘manis’. Mungkin dalam hatinya ia berkata “Nggak ada matinya ibu ini…”. Persoalannya, sense of urgency adalah sebuah siklus yang berpedoman : “Success motivates more success”. Siklus 4-A, yang terdiri dari Achieve – Assess – Activate dan Accelecate dimulai dari sebuah upaya pencapaian tantangan (achievement) yang bila tercapai, segera dievaluasi (assess), kemudian segera direvisi dan dihidupkan kembali (activate) untuk memulai sesuatu yang baru lagi, sambil tak lengah mendorong dan menggenjot energi (accelerate) untuk mengoptimalkan pencapaian hasil.
Banyak sekali hal-hal yang bisa menyebabkan individu lengah atau “slow down”, seperti menunggu keputusan,merayakan keberhasilan, menyusun anggaran, faktor birokrasi dan proses di pihak ketiga. Di sinilah sesungguhnya kekuatan kita diuji untuk tetap bergerak, dan mengayuh enerji. Begitu kita berhasil atau “achieve” lagi, kita boleh merayakan suksesnya. Namun, kita tidak boleh terlena karena dengan segera kita pun perlu meng-“assess” dan membuat tantangan baru lagi. “Sense of urgency “ hanya bisa didapatkan oleh individu yang mau menceburkan diri ke dalam siklus yang bergerak kencang , bahkan bergoyang.
Jadilah “Person in Motion”.
Kita semua pasti setuju bahwa lebih mudah mengendalikan obyek yang bergerak daripada diam. Berpatokan pada hal ini, kita bisa mengadaptasi untuk lebih bersikap dinamis daripada statis. Seorang ahli menyatakan bahwa langkah pertama untuk menghidupkan “sense of urgency” adalah dengan berjalan kaki lebih cepat, sehingga kita juga mensugesti diri sendiri bahwa kita sedang bergegas. Bersikap responsif, misalnya dengan segera menjawab telpon, merespon email, voice mail, blackberry , maupun sms, serta berorientasi ‘action’ seperti ini akan mendorong individu tidak mengijinkan dirinya untuk mencari-cari alasan menunda pekerjaan. Dalam berkomunikasi, kita pun bisa membiasakan untuk tidak berbelit-belit, sehingga orang lain pun terpengaruh untuk berbicara “to the point”. Hal ini membuat kita bisa mengefisiensikan banyak waktu di dalam rapat dan pergaulan.
Kita mudah sekali melihat orang lain tidak mengadaptasi “sense of urgency”, padahal kita sendiri pun barangkali mempunyai penyakit yang sama. Karenanya , bergeraklah, “Do it now!”
KONTROL DIRI
By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri
Semua orang pasti setuju dengan “magic”-nya puasa di bulan Ramadhan. Kekuatan niat yang begitu besar menjadikan kita yang tadinya tidak kuat menahan haus dan lapar di hari biasa, di bulan Ramadhan bisa melakukannya tanpa merasa berat. Bahkan, dengan puasa penyakit malah sembuh, badan terasa lebih ringan. Latihan kesabaran, kegigihan dan keuletan ini memang benar-benar memberi kesempatan pada diri kita sendiri untuk lebih banyak bertakwa, lebih bisa mengelola diri sendiri dan tentunya “naik kelas” sebagai manusia. Suatu latihan yang sangat berharga untuk individu yang memang ingin mematangkan jiwanya!
Tantangan kita, tentu saja, me-maintain kompetensi kontrol diri, emosi dan pikiran ini setelah usai masa Ramadhan. Sayang sekali bila kita kembali ’loss control’, sehingga upaya latihan kita selama Ramadhan tidak kelihatan impact-nya. Misalnya, kita kehilangan kontrol diri lagi dengan kembali memborong barang yang tidak perlu, boros energi, melanggar lampu lalu lintas, terlambat datang ke kantor, sehingga semangat untuk bersabar dan menjadi manusia yang gigih kembali ke titik nol lagi.
Seorang rekan, yang naik bobot badannya 20kg semasa hamil, menjamin bahwa berat badannya bisa kembali seperti sedia kala dalam waktu 4 bulan. Ketika ditanya kunci kesuksesannya, ia menjawab santai: “Puasa”. Ia mengatakan bahwa dengan berpuasa senin kamis, ia mempunyai kontrol diri terhadap pola makannya. Tiba-tiba ia menyadari bahwa selama ini ia makan berlebihan dan menciptakan mekanisme persepsi terhadap makanan yang beda. Akhirnya pola disiplin dan pola makannya berubah. Ini adalah contoh orang yang memanfaatkan latihan sebagai sarana peningkatan kualitas diri.
Kontrol Diri adalah Senjata Perubahan
Tidak seperti burung-burung yang bermigrasi secara otomatis saat pergantian musim, manusia, mahluk berakal budi paling super di muka bumi ini, memang tidak bisa mengandalkan instingnya lagi untuk berdisiplin. Manusia digerakkan oleh ‘habit’nya. Manusia juga pengambil keputusan yang sangat berbasis emosi, juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, sehingga ia mudah sekali merubah atau melanggar rencananya sendiri. Itulah sebabnya orang bisa memanfaatkan emosi untuk bisnis, misalnya dengan membuat tren, membentuk komunitas, merangsang konsumerisme dan tanpa sadar menghancurkan pertahanan kontrol diri individu.
Untungnya, keunikan individu membuat manusia mempunyai kontrol penuh atas kemauannya, apakah ia akan memenuhi kebutuhannya atau tidak, memilih kapan ’timing’ terbaik, memilih di mana mendapatkannya dan mengontrol dengan cara apa ia akan memenuhi kebutuhannya. Contoh mudah, kita yang sudah berniat berhenti merokok, tiba-tiba ada di kerumunan perokok, yang menawarkan rokok pula. Pada saat ini, keputusan untuk memilih adalah seratus persen disadari oleh individu. Namun impuls, kebutuhan, keinginan individu bisa berkolaborasi dalam melemahkan kontrol dirinya. Pada saat inilah biasanya rasio atau pikiran individu bekerja, untuk mencari alasan pengampunan terhadap pelanggaran dirinya, untuk mengurangi rasa bersalah, sehingga individu tetap merasa ’seimbang’. Situasi ini kita kenal dengan istilah rasionalisasi alias pembenaran. Pembenaran ini semula hanyalah dialog internal. Namun, bila individu berhadapan dengan lingkungan sosial, maka ia akan menyusun cerita pembenaran yang bisa diterima, sehingga perbuatannya tetap cocok dengan situasi. Disinilah pertahanan kontrol diri bisa bobol dan tanpa sadar, tindakan pelanggaran di-”bela” oleh individu sendiri. Bisa kita bayangkan bagaimana sulitnya berubah tanpa kontrol diri yang kuat. Sebagaimana kita sadari, banyak yang berteori mengenai perubahan tetapi tidak sadar bahwa kuncinya justru ada pada kontrol dirinya. ‘Everybody thinks of changing humanity and nobody thinks of changing himself’ (Leo Tolstoy)
Disiplin sebagai Implementasi Kontrol Diri
Di jaman sekarang, kita jarang menemui orang yang sangat bangga dengan sikap disiplinnya. Bahkan disiplin dikaitkan dengan hukuman, surat peringatan, teguran keras, bahkan PHK. Padahal ini baru penerapan disiplin ‘kelas kambing’. Bila kita mentaati rambu lalu lintas hanya bila ada polisi, tentunya kita tidak bisa mengaku bahwa kita orang yang berdisiplin. Untuk menjadi seorang yang berdisiplin, latihan-latihan mental untuk mengontrol diri harus dilakukan jutaan kali dan melalui proses yang panjang. Latihannya antara lain menahan desakan keinginan sambil mengevaluasi keyakinan, memperkuat motivasi dengan membayangkan hasil akhir yang lebih baik, serta mengelola konflik dengan membayangkan konsekuensi pelanggaran versus komitmen yang dibuat. Disiplin memang sering dimulai dari peraturan, tetapi disiplin yang sebenarnya adalah kalau sudah menjadi persepsi tentang hidup atau gaya hidup. Pada tingkat inilah individu baru bisa bangga pada kompetensinya ini dan bisa merasa percaya diri karena mempunyai sikap mental yang benar.
Untungnya Menjadi Orang yang Terkontrol
Banyak orang mencampuradukkan sikap mengontrol diri dengan sikap kaku, keras, tegang atau terhambat. Sikap ini tentunya sangat berbeda, karena orang yang bisa mengkontrol dirinya, sangat mampu untuk bersikap fleksibel pula. Sementara yang kaku dan terhambat, bisa saja tampil terkontrol, tetapi mudah patah, dan bahkan bisa meledak, lepas kontrol. Orang yang terkontrol biasanya akan tampil tepercaya di pergaulan dan pekerjaan, berintegritas dan yang paling penting, mempunyai daya adaptasi terhadap perubahan. Orang dengan kontrol diri yang baik akan mudah menjadi orang yang inovatif, bahkan dalam pergaulan bisa mengembangkan ‘sense of humor’ dan empatinya. Bagaimana tidak? Orang seperti ini sudah mengalami gemblengan latihan kontrol diri, di luar kewajiban puasa, secara berjuta-juta kali.
Semua orang pasti setuju dengan “magic”-nya puasa di bulan Ramadhan. Kekuatan niat yang begitu besar menjadikan kita yang tadinya tidak kuat menahan haus dan lapar di hari biasa, di bulan Ramadhan bisa melakukannya tanpa merasa berat. Bahkan, dengan puasa penyakit malah sembuh, badan terasa lebih ringan. Latihan kesabaran, kegigihan dan keuletan ini memang benar-benar memberi kesempatan pada diri kita sendiri untuk lebih banyak bertakwa, lebih bisa mengelola diri sendiri dan tentunya “naik kelas” sebagai manusia. Suatu latihan yang sangat berharga untuk individu yang memang ingin mematangkan jiwanya!
Tantangan kita, tentu saja, me-maintain kompetensi kontrol diri, emosi dan pikiran ini setelah usai masa Ramadhan. Sayang sekali bila kita kembali ’loss control’, sehingga upaya latihan kita selama Ramadhan tidak kelihatan impact-nya. Misalnya, kita kehilangan kontrol diri lagi dengan kembali memborong barang yang tidak perlu, boros energi, melanggar lampu lalu lintas, terlambat datang ke kantor, sehingga semangat untuk bersabar dan menjadi manusia yang gigih kembali ke titik nol lagi.
Seorang rekan, yang naik bobot badannya 20kg semasa hamil, menjamin bahwa berat badannya bisa kembali seperti sedia kala dalam waktu 4 bulan. Ketika ditanya kunci kesuksesannya, ia menjawab santai: “Puasa”. Ia mengatakan bahwa dengan berpuasa senin kamis, ia mempunyai kontrol diri terhadap pola makannya. Tiba-tiba ia menyadari bahwa selama ini ia makan berlebihan dan menciptakan mekanisme persepsi terhadap makanan yang beda. Akhirnya pola disiplin dan pola makannya berubah. Ini adalah contoh orang yang memanfaatkan latihan sebagai sarana peningkatan kualitas diri.
Kontrol Diri adalah Senjata Perubahan
Tidak seperti burung-burung yang bermigrasi secara otomatis saat pergantian musim, manusia, mahluk berakal budi paling super di muka bumi ini, memang tidak bisa mengandalkan instingnya lagi untuk berdisiplin. Manusia digerakkan oleh ‘habit’nya. Manusia juga pengambil keputusan yang sangat berbasis emosi, juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, sehingga ia mudah sekali merubah atau melanggar rencananya sendiri. Itulah sebabnya orang bisa memanfaatkan emosi untuk bisnis, misalnya dengan membuat tren, membentuk komunitas, merangsang konsumerisme dan tanpa sadar menghancurkan pertahanan kontrol diri individu.
Untungnya, keunikan individu membuat manusia mempunyai kontrol penuh atas kemauannya, apakah ia akan memenuhi kebutuhannya atau tidak, memilih kapan ’timing’ terbaik, memilih di mana mendapatkannya dan mengontrol dengan cara apa ia akan memenuhi kebutuhannya. Contoh mudah, kita yang sudah berniat berhenti merokok, tiba-tiba ada di kerumunan perokok, yang menawarkan rokok pula. Pada saat ini, keputusan untuk memilih adalah seratus persen disadari oleh individu. Namun impuls, kebutuhan, keinginan individu bisa berkolaborasi dalam melemahkan kontrol dirinya. Pada saat inilah biasanya rasio atau pikiran individu bekerja, untuk mencari alasan pengampunan terhadap pelanggaran dirinya, untuk mengurangi rasa bersalah, sehingga individu tetap merasa ’seimbang’. Situasi ini kita kenal dengan istilah rasionalisasi alias pembenaran. Pembenaran ini semula hanyalah dialog internal. Namun, bila individu berhadapan dengan lingkungan sosial, maka ia akan menyusun cerita pembenaran yang bisa diterima, sehingga perbuatannya tetap cocok dengan situasi. Disinilah pertahanan kontrol diri bisa bobol dan tanpa sadar, tindakan pelanggaran di-”bela” oleh individu sendiri. Bisa kita bayangkan bagaimana sulitnya berubah tanpa kontrol diri yang kuat. Sebagaimana kita sadari, banyak yang berteori mengenai perubahan tetapi tidak sadar bahwa kuncinya justru ada pada kontrol dirinya. ‘Everybody thinks of changing humanity and nobody thinks of changing himself’ (Leo Tolstoy)
Disiplin sebagai Implementasi Kontrol Diri
Di jaman sekarang, kita jarang menemui orang yang sangat bangga dengan sikap disiplinnya. Bahkan disiplin dikaitkan dengan hukuman, surat peringatan, teguran keras, bahkan PHK. Padahal ini baru penerapan disiplin ‘kelas kambing’. Bila kita mentaati rambu lalu lintas hanya bila ada polisi, tentunya kita tidak bisa mengaku bahwa kita orang yang berdisiplin. Untuk menjadi seorang yang berdisiplin, latihan-latihan mental untuk mengontrol diri harus dilakukan jutaan kali dan melalui proses yang panjang. Latihannya antara lain menahan desakan keinginan sambil mengevaluasi keyakinan, memperkuat motivasi dengan membayangkan hasil akhir yang lebih baik, serta mengelola konflik dengan membayangkan konsekuensi pelanggaran versus komitmen yang dibuat. Disiplin memang sering dimulai dari peraturan, tetapi disiplin yang sebenarnya adalah kalau sudah menjadi persepsi tentang hidup atau gaya hidup. Pada tingkat inilah individu baru bisa bangga pada kompetensinya ini dan bisa merasa percaya diri karena mempunyai sikap mental yang benar.
Untungnya Menjadi Orang yang Terkontrol
Banyak orang mencampuradukkan sikap mengontrol diri dengan sikap kaku, keras, tegang atau terhambat. Sikap ini tentunya sangat berbeda, karena orang yang bisa mengkontrol dirinya, sangat mampu untuk bersikap fleksibel pula. Sementara yang kaku dan terhambat, bisa saja tampil terkontrol, tetapi mudah patah, dan bahkan bisa meledak, lepas kontrol. Orang yang terkontrol biasanya akan tampil tepercaya di pergaulan dan pekerjaan, berintegritas dan yang paling penting, mempunyai daya adaptasi terhadap perubahan. Orang dengan kontrol diri yang baik akan mudah menjadi orang yang inovatif, bahkan dalam pergaulan bisa mengembangkan ‘sense of humor’ dan empatinya. Bagaimana tidak? Orang seperti ini sudah mengalami gemblengan latihan kontrol diri, di luar kewajiban puasa, secara berjuta-juta kali.
Langganan:
Postingan (Atom)