Sabtu, 14 Juni 2008

Law Of Attraction :You Can If You Think You Can (Bagian 1)

by:Yodhia Antariksa ,2008

You can if you think you can. Kalimat sakti yang pernah menjadi judul buku legendaris karangan Norman Vincent Peale ini sepertinya hendak memberikan satu pesan yang jelas : jika Anda senantiasa berpikir positif, selalu merajut “mentalitas bisa” (can do attitude), dan senantiasa membayangkan masa depan dengan gelegak optimisme, maka percayalah, hidup Anda pada akhirnya benar-benar akan basah kuyup dalam nirvana keberhasilan dan kebahagiaan.

Dan persis seperti itulah spirit yang dikandung oleh Law of Attraction (LOA) – sebuah aliran keyakinan yang kini tengah digandrungi dimana-mana. Maka simaklah petikan kalimat-kalimat berikut ini.

Rahasia besar kehidupan adalah hukum tarik menarik. Hukum tarik menarik mengatakan bahwa kemiripan menarik kemiripan. Ketika Anda membayangkan pikiran-pikiran, maka pikiran-pikiran itu dikirim ke Semesta, dan secara magnetis pikiran akan menarik semua hal yang serupa, dan lalu dikembalikan pada sumbernya, yakni Anda. (dikutip secara bebas dari buku The Secret karangan Rhonda Byrne).

Dengan kata lain, jika Anda selalu membayangkan pikiran yang negatif – kecewa, gagal, marah, selalu menyalahkan orang lain, frustasi, ragu, merasa selalu kekurangan – maka gelombang pikiran itu akan memantul ke semesta, menarik pikiran-pikiran negatif yang serupa, dan lalu mengirim balik secara powerful kepada sumbernya, yakni Anda. Lingkaran kelam negativisme ini perlahan namun pasti akan membawa kita dalam lorong gelap tak berujung.

Dalam lorong gelap itulah, benih-benih spirit optimisme, raungan keyakinan untuk mencengkram keberhasilan, dan daya juang untuk merajut imajinasi positif, menjadi hilang tak berbekas. Hidup yang nyata pada akhirnya akan berujung pada nyanyi bisu keterpurukan.

Itulah mengapa sebagian orang lalu memberi saran agar kita menjaga jarak dari lingkungan yang hanya menerbarkan energi kelam negativisme. Toh sialnya, setiap hari rasanya kita selalu disergap dengan energi negatif ini. Di jalanan tiap pagi kita disergap kemacetan yang melentik kita untuk segera mengeluarkan kemarahan dan umpatan menyalahkan pihak lain. Di kantor, kita acap menatap wajah-wajah sayu yang melakoni pekerjaannya dengan semangat yang kian sempoyongan. Di sudut lain kita juga tak jarang menemui sang complainer, yang kerjanya tiap hari hanya mengeluh : mengeluh bos-nya tidak adil-lah, mengeluh mengapa karirnya tak naik-naik-lah, atau mengeluh mengapa kopi yang disajikan office boy rasanya terlalu pahit……..

Dan aha, ketika kita pulang ke rumah, dan sejenak membaca berita di koran serta melihat acara talk show di televisi, duh mengapa isinya selalu sarat dengan negative news dan gambaran pesimisme yang kelam. Pengamat yang satu mengkritik ini, pengamat yang lain menyalahkan itu. Pengamat yang lainnya lagi memberikan gambaran masa depan bangsa yang seolah-olah akan jatuh dalam kegelapan abadi. (Fakta ini membuat teman saya pernah memberi saran pada saya agar BERHENTI total untuk membaca koran dan menonton televisi. Kenapa, tanya saya. Jawabnya lugas : berita dan komentar-komentar kelam yang muncul di televisi dan koran hanya akan membunuh imajinasi dan harapan Anda tentang masa depan yang lebih baik !!).

Begitulah. Ketika segenap partikel udara telah dipenuhi dengan energi negative, dan ketika berderet narasi tentang masa depan yang muram selalu menari dihadapan kita, maka apa yang sesungguhnya mesti kita lakukan?

Kita tentu tak boleh membiarkan diri kita larut didalamnya, sebab itu artinya hanya akan membuat kita terpelanting dalam kubangan nasib yang penuh ratapan dan sembilu kepedihan yang tak berujung.

“Anda tak dapat menolong dunia dengan berfokus pada hal-hal negatif. Ketika Anda berfokus pada peristiwa-peristiwa negatif, maka Anda bukan saja menambahnya, namun juga mendatangkan lebih banyak hal negatif ke dalam hidup Anda sendiri,” demikian untuk mengutip kembali ungkapan Rhonda Byrne.

Jadi bagaimana dong? Saya akan mencoba mengeksplorasi butiran-butiran jawabannya dalam tulisan seri berikutnya (Anda bisa membacanya DISINI). Untuk sementara, silakan kembali mereguk kopi hangat yang sudah ada di meja Anda. Seruputlah kopi itu pelan-pelan, sambil berbisik dalam hati : life is good….yeah, life is good.

Law Of Attraction: Jalan terjal menuju Nirvana kebahagiaan (Bagian 2)

by:Yodhia Antariksa ,2008

Dalam tulisan bagian pertama (jika Anda belum membacanya, silakan baca terlebih dahulu disini), kita telah membahas mengenai prinsip Law of Attraction (Hukum Tarik Menarik). Ide dasar dari pinsip ini adalah apa yang Anda pikirkan akan menarik pikiran-pikiran yang serupa dan kemudian memantulkannya kembali pada Anda. Pikiran yang sedang Anda bayangkan saat ini sedang menciptakan kehidupan masa depan Anda, demikian tulis Rhonda Byrne. Apa yang paling Anda pikirkan atau fokuskan akan muncul sebagai hidup Anda. Pikiran Anda akan menjadi sesuatu.

Demikianlah, jika yang mendominasi bayangan dan pikiran kita adalah hal-hal yang negatif – kecewa, gagal, marah, selalu menyalahkan orang lain, frustasi, ragu, merasa selalu kekurangan – maka gelombang pikiran itu akan memantul ke semesta, menarik pikiran-pikiran negatif yang serupa, dan lalu mengirim balik kepada Anda. Lingkaran kelam negativisme ini perlahan namun pasti akan membuat kita terpelanting dalam kisah hidup yang penuh kepiluan.

Sebaliknya, jika pikiran kita dipenuhi dengan visualisasi yang sarat dengan energi positif – tentang semangat hidup, tentang keyakinan untuk merengkuh sejumput keberhasilan, tentang kelimpah-ruahan, tentang kegairahan optimisme yang meluap, tentang ucapan syukur yang tak pernah berhenti mengalir – maka jejak kehidupan pasti akan membawa kita lebur dalam nirvana kebahagiaan yang hakiki.

Karena itulah, para pakar motivasi senantiasa menganjurkan kita untuk selalu merawat otak dan pikiran kita agar selalu berada pada ranah yang positif. Visualisasi dan luapan energi yang positif, dengan kata lain, perlu terus digodok dan diinjeksikan kedalam segenap sel saraf otak kita. Sebab dengan itulah, sketsa indah tentang keberhasilan dan kebahagiaan bisa mulai dilukiskan dengan penuh kesempurnaan.

Sesungguhnya, ide tentang korelasi antara spirit hidup yang positif dengan level keberhasilan individu pernah dielaborasi secara ekstensif oleh para akademisi jauh sebelum buku Law of Attraction yang menggemparkan itu terbit. Martin Seligman adalah salah satu tokohnya. Tokoh yang acap disebut sebagai Bapak Psikologi Positif ini, melalui bukunya yang bertajuk Learned Optimism telah memberikan elaborasi yang solid tentang betapa spirit optimisme dan pola pikir positif amat berpengaruh terhadap keberhasilan hidup.

Pertanyaannya sekarang adalah : bagaimana caranya agar perjalanan hidup kita selalu diselimuti oleh energi positif dan spirit optimisme yang menghentak serta terus mengalir.

Salah satu cara yang populer adalah melalui teknik visualisasi positif (saya pernah mengulas teknik tersebut DISINI, karena itu silakan kesitu jika Anda ingin membacanya).

Cara lain yang praktis mungkin adalah ini : tenggelamkan diri Anda dalam lingkaran pergaulan atau komunitas yang memiliki visi hidup positif. Mungkin kita bisa memulainya dari lingkungan terdekat, keluarga. Siramilah segenap interaksi dalam keluarga kita dengan energi positif, rajutlah komunikasi yang produktif dengan pasangan hidup kita (dan bukan membanjirinya dengan aneka keluhan seperti : Aduh Mama, kenapa lauknya asin banget? Atau : Mama gimana sih, kok celana dalam saya ndak ada yang kering?). Lalu, limpahilah jua anak-anak kita dengan pujian dan apreasiasi (dan bukan dengan rentetan kalimat negatif seperti : kenapa rapormu jelek, kenapa nilai matematika si Andi lebih baik dari kamu, dst).

Lalu, bangun pula persahabatan dengan insan-insan yang selalu mampu menebarkan nyala kegigihan dalam setiap jejak langkahnya. Tebarkan interaksi dengan mereka yang selalu bisa memekarkan keyakinan untuk merengkuh keberhasilan; dan bukan dengan pribadi yang hanya bisa meletupkan energi negatif. Dan bentangkan sayap pergaulan kita dengan mereka yang selalu melihat masalah sebagai sebuah tantangan yang pasti bisa dituntaskan – dan tidak dengan orang-orang yang hanya menabur komplain, saling-menyalahkan dan mengeluarkan sembilu keluhan tanpa ujung.

Pada sisi lain, mungkin ada baiknya juga jika kita melimpahi hidup dengan bacaan dan pengetahuan yang inspiratif, menyegarkan serta mampu membawa pencerahan. Bacaan itu bisa kita gali dari buku-buku, majalah atau blog-blog bermutu (ya contohnya seperti blog yang sedang Anda baca ini….:):)). Pengetahun yang inspiratif ini barangkali dapat menopang dan membantu kita dalam merajut etos hidup yang dilimpahi oleh energi positif.

Pada akhirnya mesti dikatakan bahwa jalan menuju nirvana kebahagiaan sungguh merupakan jalan yang terjal nan berliku. Namun selalu hadapilah jalan yang panjang itu dengan sikap hidup positif, dengan spirit optimisme, dengan keyakinan yang menggumpal, dan dengan limpahan rasa syukur yang mengalir tanpa henti.

Juga dengan lantunan doa yang khusyu’ tanpa henti pada Sang Ilahi. Percayalah, seribu malaikat pasti akan selalu mendengar doa yang Anda bisikkan siang dan malam itu……..

Positive Mindset dalam Empat Level Gelombang OItak

by:Yodhia Antariksa

Dalam tulisan mengenai Law of Attaction (Hukum Tarik Menarik), kita telah membahas mengenai betapa sesungguhnya pola pikir dan rajutan imajinasi kita memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sejarah masa depan hidup kita.

Demikianlah, jika kita selalu mampu menganyam pola pikir yang guyub dengan energi positif – dengan energi tentang keyakinan-diri, dengan pancaran optimisme yang kokoh, dan dengan sikap hidup yang selalu penuh rasa sukur – maka ada peluang besar bahwa hidup sejati kita akan benar-benar dilimpahi oleh sederet narasi tentang keberhasilan.

Sebaliknya, jika bentangan hidup kita selalu diharu-biru oleh rajutan pola pikir yang negatif – tentang bayangan kelam kegagalan, tentang rasa tak percaya diri, tentang kegamangan, dan sikap hidup yang selalu mengeluh serta menyalahkan pihak lain (tanpa mau jernih melakukan introspeksi) – maka besar kemungkinan hidup nyata kita benar-benar akan dipenuhi dengan elegi pilu kemalangan dan kenestapaan.

Itulah mengapa kaum bijak bestari memberi petuah agar kita bisa selalu melentikkan api optimisme dalam diri kita dan juga mampu merawat pola pikir positif. Positif melihat masa depan kita, positif melihat segenap tantangan yang menghadang, dan positif dalam berpikir serta berimajinasi.

Soalnya kemudian adalah : menginjeksikan daya positif ke dalam sel-sel otak kita ternyata tak semudah membikin indomie rebus. Acap ketika dihadapkan pada tantangan yang membuncah atau kerumitan masalah yang menghadang, pikiran kita langsung goyah dan berpikir : ah, saya memang tidak mampu melakukannya…..saya mungkin tidak bisa meraih impian yang saya cita-citakan…..yah, memang ini suratan nasib saya…….(Duh!).

Jadi bagaimana duuoong? Apa yang mesti dilakoni agar mentalitas positif dan spirit keyakinan itu tak langsung layu ketika badai tantangan datang menghadang? Apa yang mesti diziarahi agar virus positiv itu terus menancap dalam serat otak kita bahkan ketika lautan masalah terus menggelora, menghantam biduk perjalanan kita?

Beruntung, para ahli saraf (neurolog) telah menemukan jawabannya. Dan jawabannya terletak pada empat level gelombang otak kita. Melalui serangkaian eksperimen dan alat ukur yang bernama EEG (Electro EncephaloGram), mereka menemukan ternyata terdapat empat level getaran dalam otak kita. Mari kita simak bersama empat gelombang kesadaran itu.

Beta (14 – 100 Hz). Dalam frekuensi ini kita tengah berada pada kondisi aktif terjaga, sadar penuh dan didominasi oleh logika. Inilah kondisi normal yang kita alami sehari-hari ketika sedang terjaga (tidak tidur). Kita berada pada frekuensi ini ketika kita bekerja, berkonsentrasi, berbicara, berpikir tentang masalah yang kita hadapi, dll. Dalam frekuensi ini kerja otak cenderung memantik munculnya rasa cemas, khawatir, stress, dan marah. Gambar gelombang otak kita dalam kondisi beta adalah seperti dibawah ini.

Alpha (8 – 13.9 Hz). Ketika otak kita berada dalam getaran frekuensi ini, kita akan berada pada posisi khusyu’, relaks, meditatif, nyaman dan ikhlas. Dalam frekuensi ini kerja otak mampu menyebabkan kita merasa nyaman, tenang, dan bahagia. Berikut gambar gelombang alpha.


Theta (4 – 7.9 Hz). Dalam frekuensi yang rendah ini, seseorang akan berada pada kondisi sangat khusyu’, keheningan yang mendalam, deep-meditation, dan “mampu mendengar” nurani bawah sadar. Inilah kondisi yang mungkin diraih oleh para ulama dan biksu ketika mereka melantunkan doa ditengah keheningan malam pada Sang Ilahi. Berikut gambar gelombang otak kita ketika berada dalam kondisi theta.


Delta (0,1 – 3,9 Hz). Frekuensi terendah ini terdeteksi ketika orang tengah tertidur pulas tanpa mimpi. Dalam frekuensi ini otak memproduksi human growth hormone yang baik bagi kesehatan kita. Bila seseorang tidur dalam keadaan delta yang stabil, kualitas tidurnya sangat tinggi. Meski tertidur hanya sebentar, ia akan bangun dengan tubuh tetap merasa segar.

Nah, penyelidikan menunjukkan bahwa proses penumbuhan keyakinan positif dalam pikiran kita akan berlangsung dengan optimal jika otak kita tengah berada pada kondisi Alpha (atau juga kondisi Theta). Dalam frekuensi inilah, kita bisa menginjeksikan energi positif dalam setiap jejak sel saraf kita secara mulus. Apabila kita merajut keyakinan positif dan visualisasi keberhasilan dalam kondisi alpha, maka rajutan itu benar-benar akan menembus alam bawah sadar kita. Pada gilirannya, hal ini akan memberikan pengaruh yang amat dahsyat pada pola perilaku kita ketika berproses menuju puncak keberhasilan yang diimpikan.

Pertanyaannya sekarang adalah : bagaimana caranya agar kita bisa berada kondisi alpha?

Bagi Anda yang muslim, ada satu langkah yang mujarab : sholat tahajud di tengah keheningan malam (Jika Anda beragama Kristen, mungkin medianya adalah dengan melakukan “retreat”).

Begitulah, para kaum bijak bestari berkisah, dalam momen-momen kontemplatif ketika bersujud dihadapan Sang Ilahi, selalu ada perasaan keheningan yang menggetarkan, perasaan khusyu’ yang sungguh menghanyutkan. Saya berpikir perasaan ini muncul karena saat itu kondisi otak kita sedang berada pada gelombang alpha. Dan percayalah, dalam momen itu, kita dengan mudah bisa memasukkan energi positif dan spirit keyakinan dalam segenap pikiran kita. Dalam momen inilah, dalam hamparan kepasrahan total pada Sang Pencipta dan rasa syukur yang terus mengalir, kita bisa merajut butir-butir keyakinan positif itu dalam segenap raga kita. Dalam segenap jiwa dan batin kita.

Maka mulai malam ini………………ditengah kesunyian malam, bentangkanlah sajadah disudut rumah kita, basuhkan air wudhu, dan tegakkan sholat tahajud dengan penuh keikhlasan. Lalu, ditengah keheningan yang menentramkan, lantunkanlah harapan positif dan doa-doa itu dengan penuh keyakinan……Mudah-mudahan kita semua bisa melangkah menuju pintu keberhasilan dan kebahagiaan. Disini dan “Disana”.

Are You HAPPY with Your Life (and your job) Now ?

by :Yodhia Antariksa

Hidup pada akhirnya memang selalu penuh dengan tikungan. Ada kalanya kita berada pada parade keberhasilan yang membuat kita mabuk dalam ekstase keriangan. Ada pula saat ketika kita terpeleset, terpelanting dan terpuruk dalam segores duka. Toh dalam lingkaran jatuh dan bangun itu, hidup harus terus dijalankan. Kita terus berproses dan bertumbuh “menjadi manusia”. Becoming a true person, demikian Erich Fromm pernah berujar dalam risalahnya yang terkenal itu, On Being Human.

Namun mungkin ada kalanya kita perlu berhenti sejenak, mengambil rehat, dan melakukan kontemplasi. Sekarang tataplah screen (layar) laptop atau komputer Anda. Lihatlah screen yang ada di depan Anda ini sebagai sebuah cermin…..lalu bayangkanlah, kira-kira lima tahun dari sekarang, potret apa yang tergambar dalam layar di depan Anda ini.

Apakah yang tergambar dalam bayangan itu adalah figur Anda sebagai seorang saudagar sukses dengan omzet bisnis ratusan juta per bulan, dengan sebuah apartemen indah di Dharmawangsa Residence? Atau yang muncul adalah gambaran Anda sebagai seorang manajer sukses bergaji 30 juta perbulan, dengan sebuah SUV nongkrong di garasi rumah? Atau yang justru tergambar di layar adalah gambaran Anda sebagai seorang guru mengaji di sebuah surau kecil di kampung halaman Anda, nun jauh disana, di sebuah kampung dimana segenap ambisi materi dan duniawi menjadi lenyap, karena disitu yang ada hanyalah “keheningan, kedamaian dan kebersahajaan”?

Saya tak tahu. Sungguh saya tak tahu apa yang dalam imajinasi Anda tentang masa depan hidup yang ingin Anda ukir. Namun apapun pilihan hidup masa depan Anda, barangkali tetap tersisa satu hal yang layak dicatat : pilihan itu sebaiknyalah didasari oleh passion Anda. Ya, passion. Atau gairah yang membuncah. Atau rajutan tekad yang menghujam di hati.

Life is too short my friends, and you know what, setelah itu kita semua akan mati. Sebab itu, mungkin yang tersisa adalah sejumput kesia-sian jika sepanjang hidup, kita hanya melakoni pekerjaan yang full of bullshit. Dan bukan menekuni pekerjaan yang menjadi passion kita, tempat dimana kita bisa mereguk secangkir kebahagiaan sejati…… Tempat dimana kita selalu tak sabar menunggu hari esok tiba – karena setiap hari selalu dihiasi oleh “the beauty of meaningful work and life”. Jadi adakah hidup dan pekerjaan yang Anda lakoni sekarang sudah benar-benar menjadi passion Anda? Adakah Anda telah menemukan secercah embun kebahagiaan dalam segenap hidup dan pekerjaan Anda?

Lalu, setelah passion, barangkali ada dua elemen kunci yang juga layak di-stabilo : persistensi dan determinasi. Kalaulah Anda sudah menemukan tujuan hidup dan pekerjaan yang menjadi passion Anda, maka kejarlah impian Anda dengan persisten : dengan kegigihan, dengan keuletan dan dengan ketekunan. Kita tahu, banyak orang membentur kisah kegagalan bukan karena mereka bodoh atau tak punya bakat. Bukan itu. Mereka gagal karena menyerah di tengah jalan. Quit. Berhenti dan tak mau meneruskan lagi upayanya dengan gigih.

Kita semua pasti pernah mengalami kegagalan. Namun bukan berarti ini mesti membuat kita berhenti dan menyerah kalah. Orang bijak belajar dari kesalahan dan kegagalan yang mereka lakukan, dan kemudian berproses untuk kembali menemukan jalur pencapaian tujuan hidup mereka. Ditengah tantangan yang terus mengerang dan jalan kehidupan yang terjal penuh tikungan, mereka terus menderapkan kaki : sebab mereka percaya pada akhirnya, cahaya keberhasilan itu pelan-pelan bisa dinyalakan. Mereka terus berjuang dengan persisten. Dengan penuh passion. “And we’ll keep on fighting till the end……”, begitu paman Freddy “Queen” Mercury pernah berdendang.

Setelah passion dan persistensi, maka elemen terakhir yang juga harus dipeluk erat adalah ini : determinasi. Atau komitmen yang menggumpal. Atau dedikasi yang terus mengalir. Atau selalu fokus pada satu tujuan akhir yang jelas. Orang yang punya determinasi selalu percaya bahwa they create their own destiny (tentu dengan restu dari Yang Diatas). Mereka selalu percaya bahwa merekalah yang paling bertanggungjawab untuk merajut masa depan dan nasib hidup mereka sendiri. Bukan orang lain.

Orang yang memiliki determinasi karenanya, tak pernah mau menyalahkan orang atau pihak lain manakala dihadang oleh segumpal tantangan hidup. Mereka lebih suka selalu menelisik akar masalah dan lalu mencoba mengukir solusi untuk menghadapi tantangan yang menghadang. Mereka juga enggan mengeluh ketika dihantam oleh berderet problem kehidupan dan beban pekerjaan yang kian menggurita. Sebab mereka percaya, mengeluh hanyalah layak untuk para pecundang. Dan sungguh, mereka tak pernah mau disebut sebagai para pecundang.

Itulah tiga elemen – yakni passion, persistensi dan determinasi – yang mungkin mesti kita dekap dengan penuh kesungguhan kala kita ingin merengkuh jejak kebahagiaan dalam sejarah hidup kita yang amat pendek ini. Yang pertama, temukan passion, kegairahan sejati dalam jejak hidup yang ingin Anda tapaki. Lalu, bergeraklah, bergeraklah dengan penuh persistensi. Dengan spirit kegigihan yang terus berpendar. Kemudian jalani itu semua dengan nyala determinasi yang menggumpal.

Selamat berjuang, kawan !! Selamat berjuang merengkuh kebahagian hakiki dalam hidup dan pekerjaan Anda. Salam, doa dan peluk hangat dari saya untuk keberhasilan Anda semua….

Kegagalan Succession Planning dan Robohnya CITIBANK

by:Yodhia Antariksa

Di tanah air, Citibank termasuk memiliki reputasi yang harum nan mencorong. Perusahaan ini dikenal sebagai salah satu sekolah bankir terbaik di Indonesia, tempat dimana para bankir jempolan ditempa dan dikembangkan. Kinerja bisnisnya juga terus melenggang manis, termasuk menjadi market leader untuk pasar kartu kredit di tanah air (barangkali Anda termasuk salah satu pemilik kartu kredit dari Citibank).

Namun dalam skala global, Citibank (yang induk perusahaannya disebut Citigroup) merupakan raksasa yang tengah terluka parah dengan darah mengucur dari sekujur tubuhnya. Akibat terperangkap dalam kredit macet perumahan di Amerika (subprime mortage), Citibank harus kehilangan uang sebesar Rp 160 trilyun (gasp!). Harga sahamnya hancur berantakan, dari sebesar $ 57 turun ke angka $ 20 – membuat para pemegang sahamnya harus kehilangan market value sebesar Rp 1,400 trilyun (dua kali lipat APBN negeri kita!).

Mengapa sang rakasa Citibank bisa terluka sedemikian parah? What went wrong? Jawabannya lugas : Citibank roboh karena melakukan kesalahan fatal dalam memilih CEO. People first – dan drama limbungnya Citibank ini sekali lagi menunjukkan bahwa kisah kehancuran banyak perusahaan selalu berakar pada kesalahan dalam mengelola SDM – bukan karena kesalahan dalam faktor strategi, pemasaran, teknologi ataupun keuangan.

Benih luka dalam tubuh Citibank sejatinya sudah mulai tertanam sejak tahun 2000, ketika Citigroup (hasil merger antara Citibank dengan Travelers Group) dikendalikan oleh CEO bernama Sandy Weill. Sosok Sandy sendiri sebenarnya bukan figur seorang CEO yang tangguh – setidaknya ia kalah jauh dari sisi manajerial dibanding Jack Welch. Sandy juga bukan sosok yang visioner yang mampu membaca arah strategi perbankan global masa depan. Yang lebih tragis, ia memiliki style kepemimpinan yang cenderung otoriter. Itulah sebabnya banyak great people di Citibank global yang hengkang lantaran tak betah dengan gaya kepemimpinannya.

Namun kesalahan fatal yang ia lakukan adalah saat ia harus memilih pengganti (suksesor) lantaran ia akan pensiun pada tahun 2003. Disini ia menggunakan pendekatan yang pekat dengan crony-ism (perkoncoan). Dari sejumlah kandidat yang muncul, ia akhirnya memilih Charles Prince, bukan karena ia yang terbaik, namun lebih karena ia yang paling loyal dengannya. Banyak orang terkejut dengan pilihan ini, sebab posisi Charles Prince saat itu adalah kepala bagian hukum (legal) – dus, ia sama sekali tidak memiliki strong background dalam bidang perbankan. See….seorang CEO sebuah perusahaan global pun ternyata bisa melakukan “a stupid decision”.

Dan benar adanya. Tanpa dibekali dengan kemampuan perbankan yang mumpuni, Prince gagal mengendalikan Citibank secara optimal. Dan akhirnya, pada tahun 2007 lalu, Citibank dihantam keras oleh badai kredit macet perumahan yang membikinnya terluka parah. Dan Prince pun segera dipecat.

Lalu, pelajaran apa yang bisa kita petik dari drama kegagalan succession planning di Citibank ini? Ada dua hal yang mungkin bisa kita elaborasi disini.

Yang pertama, sebuah proses succession planning (atau proses penggantian para eksekutif yang menduduki posisi kunci) mestinya dilakukan secara sistematis dan berdasar pada asesmen yang obyektif – dan bukan melalui proses yang parsial dan berdasar perasaan subyektivitas yang penuh bias.

Untuk melakukan proses succession planning secara optimal, kita mesti memulainya dengan identifikasi para talent pool – atau barisan para potential employees yang memiliki talenta untuk menjadi para pemimpin masa depan. Selanjutnya, deretan karyawan potensial ini kudu ditempa dan dikembangkan kompetensinya melalui rangkaian program pengembangan yang sistematis. Proses pengembangan dapat dilakukan baik melalui program pelatihan berjenjang; ataupun juga dilakoni via penugasan khusus (special assignment), skema mentoring, atau melalui pemekaran tugas dan tanggungjawab (job enrichment). Harapannya, melalui beragam program pengembangan ini, para karyawan tersebut menjadi kian matang dan benar-benar siap menjadi top talent perusahaan.

Pelajaran kedua yang bisa dipetik barangkali adalah ini : proses penyiapan para future leaders hanya akan berjalan dengan optimal jika sebuah perusahaan telah memiliki sebuah sistem pendidikan dan pengembangan karyawan yang bersifat terpadu, sistematis dan dijalankan dengan konsisten. Kisah keberhasilan GE yang selalu bisa mencetak para top leaders jempolan hanya bisa terjadi karena mereka memiliki lembaga GE Campus yang legendaris. Demikian juga kisah kebesaran Astra International tercipta lantaran mereka memiliki proses pengembangan manajer yang sistematis melalui lembaga Astra Management Development Institute (pembahasan saya yang lebih detil mengenai GE Corporate Campus bisa Anda baca DISINI). Tanpa sistem pengembangan dan pendidikan yang terpadu, jangan harap kita akan mampu mencetak para future leaders yang mumpuni.

Sekali lagi, great people will always determine your success. Citibank mungkin mesti segera melakukan beragam langkah sistematis untuk membenahi proses pengelolaan dan pemilihan para top eksekutifnya. Jika mereka kembali ceroboh dalam memilih para top eksekutifnya, mungkin Citibank bisa benar-benar roboh tak berbekas. Dan itu artinya, nama besar Citibank bisa tinggal sejarah diatas puing-puing kehancuran.

Selasa, 10 Juni 2008

STOP OLOK OLOK !!!!

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Saya baru tersadar betapa bangsa kita gemar berolok-olok dan mencerca bangsa sendiri. Ketika dalam kelas training saya menanyakan apa pendapat peserta tentang acara kolosal kebangkitan nasional yang saya juluki bertema “Indonesia bisa!”, sebagian orang mengomentari penyanyi yang gagal, yang lain secara jenaka memperagakan latihan tenaga dalam yang kurang sukses. Sementara anggota keluarga saya, secara lengkap, tua-muda, menikmati acara tersebut, terharu-biru begitu dikumandangkannya lagu Indonesia Raya oleh si Putra Papua, Edo Kondologit, dan merasa termotivasi untuk bangkit dari kesulitan, namun di sisi lain ternyata banyak orang yang melihat tontonan ini dari sudut pandang yang sangat “ringan dan lucu”. Kenyataan ini dilanjutkan, ketika dalam salah satu blog seseorang yang membahas mengenai olok-olok juga, ditanggapi oleh sahabatnya dengan ungkapan, ”Bukannya Bangsa Indonesia memang biasa berkomunikasi dengan cara ‘olok-olok’ seperti ini?”.

Ironisnya, olok-olok ini sesungguhnya bisa jadi membuat kita terjebak pada ‘self-fulfilling prophecy’, yaitu terdorongnya situasi atau perilaku baru melalui perkataan, pikiran atau keyakinan kita sendiri. Ungkapan-ungkapan seperti “kita ini bangsa yang bodoh”, “Otak orang Indonesia paling segar, karena tidak pernah dipakai”, “pemberantasan korupsi tidak akan tuntas”, karena tidak diikuti oleh tindakan, action plan pribadi, kelompok maupun perusahaan secara jelas, malah bisa membuat kita sendiri frustasi dan mulai memaki diri sendiri, bahkan melahirkan ‘lingkaran setan’ yang dibuat oleh keyakinan itu sendiri. Dikarenakan kemalasan dan tidak teganya kita memaki diri sendiri, maka olok-oloklah yang kita lontarkan pada pihak lain, dalam hal ini perusahaan sendiri, lembaga pemerintah sendiri, ataupun Negara sendiri.

Olok-olok sebagai Cerminan ‘Esteem’ Rendah
Tertawa dan bercanda bersama adalah cara manusia untuk mempererat hubungan. Bayangkan betapa runyam hidup seseorang yang tidak pernah tersenyum dan tertawa. Tersenyum dimulai dari adanya koneksi yang menunjukkan daya tarik interpersonal, sementara tertawa dimulai dari kemampuan individu untuk melihat sisi lucu dari sesuatu yang kasat mata. Hanya pada saat individu berkembanglah, ia bisa mempunyai perspektif terhadap hal yang tidak kasat mata, lebih abstrak, dalam, dan melihatnya dari sudut pandang lucu, gembira dan tidak sendu ataupun serius. Orang yang banyak tertawa memang cenderung lebih “happy” dan optimistis. Namun, tertawa, baik mengenai diri sendiri atau terhadap suatu situasi tentunya tidak berlaku bila tawa itu diwarnai dengan sinisme yang berlebihan ataupun pelecehan ke orang lain, apalagi ke diri sendiri.

Olok olok yang kita sering dengar, terutama akhir-akhir ini, rasanya sulit digolongkan pada olok-olok yang sehat, karena ia terasa getir, sinis bahkan tidak menunjukkan ‘esteem’ atau penghargaan diri. Orang ber-esteem rendah kita kenal sebagai orang yang mempunyai kebiasaan untuk menilai negatif diri sendiri, tidak menyukai tantangan, malas bertindak, dan banyak tampil sebagai pengkritik tajam bahkan melecehkan orang lain. Tentunya kegiatan ini bukan bercanda lagi, apalagi disebut “sense of humor”.

Bisa jadi kita berpikir bahwa olok-olok atau sindiran adalah bentuk umpan balik bagi pihak lain untuk mawas diri dan memperbaiki diri. Namun, olok-olok tentu saja tidak bisa kita sebut masukan, karena ia tidak tertuju langsung secara ‘man to man’ pada orang yang kita maksud. Selain olok-olok tidak pernah menjadikan situasi lebih baik, kita yang mengolok-olok juga jadi manusia kerdil karena seolah “lempar batu sembunyi tangan”, akibat ketidakmampuan kita untuk ‘pasang badan’ dan mempertanggungjawabkan pendapat dan masukan kita secara ksatria dan elegan.

Rasa Syukur Menarik Kebaikan dan Kesuksesan
Dalam buku best seller-nya, ‘The Secret’, Rhonda Byrne, mengungkapkan hal-hal yang sangat “common sense”, yang sejak dulu dikumandangkan ayah saya, walaupun bentuknya sedikit berbeda. “Hitung berkatmu”, kata ayah saya,”Maka kamu akan takjub akan kekayaanmu. Kemudian bersyukurlah”. Menurut Rhonda, mustahil kita menarik kebaikan, kesejahteraan dan keuntungan, tanpa mensyukuri apa yang kita miliki. Rasa syukur yang kita pancarkanlah yang akan menarik enerji bagaikan magnet, sehingga kebaikan dan kemudahan akan mendekat dan memberikan “power” dalam kehidupan kita. Kita boleh merasa “kurang” karena itu akan menantang diri kita, membangkitkan motivasi untuk selalu lebih baik dan sempurna. Namun, ratapan tanpa rasa “bersyukur” yang diwarnai rasa iri dan kekecewaan yang negatif akan membendung kita dari kreativitas dan patriotisme untuk membangun diri, keluarga, perusahaan dan bangsa.

Simak laporan CNN mengenai gempa bumi di Sichuan, 12 Mei yang lalu. “Jutaan orang kehilangan keluarga, rumah dan harta benda. Namun, tak terdengar ratapan dan keluhan. Yang tampak adalah orang saling menolong satu sama lain. Dalam hitungan jam, orang-orang berlomba untuk memberi bantuan. Sepanjang ratusan meter, orang-orang mengantri untuk mendonorkan darahnya, dan dalam waktu 24 jam, mereka kehabisan tempat untuk menampung darah dari pendonor.” Rupanya, di negara yang sering kita duga “miskin emosi” ini, tidak banyak orang mengidap gejala: ”bystander’s apathy”, penonton yang apatis. Tentu, tak ada salahnya kita mem”benchmark” semangat solidaritas dan “tidak ada matinya” negeri Cina ini.

Marilah mulai bangkit dengan membuat daftar sukses, apakah itu keberhasilan memanjat dinding 12 meter, menyelesaikan laporan tepat waktu, menutup penjualan 10 juta,berhemat 200 ribu ataupun sekedar keberhasilan untuk datang ke kantor tepat waktu. Dengan bersyukur, kita memupuk kualitas positif dan kompetensi sebagai modal kita. Selanjutnya, mari kita hidup sesuai dengan tuntutan yang realistik dan tidak lupa untuk bertindak!

Gunung Es Komunikasi

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Ketika dalam sebuah tim kerja saya berusaha mencari tahu alasan mengapa tim tersebut tidak tumbuh menjadi sinergi yang optimal, pada umumnya anggota-anggota tim mengatakan bahwa mereka bekerja secara “Baik-baik saja, tidak ada masalah”. Namun, seorang rekan mempunyai jawaban yang sedikit berbeda dari teman-temannya. Ia berkomentar, “Kalau hubungan kerja kita tidak ada masalah, bu. Secara pekerjaan kita cocok satu sama lain, tapi dalam hubungan pertemanan, kita belum tentu cocok.” Kembali, saya tertampar oleh kenyataan dalam praktek sehari-hari, bahwa banyak proses di bawah alam sadar kita yang sedang berlangsung ataupun macet, bahkan menjadi penghambat dari proses-proses sederhana yang masuk akal sehari-hari.

Kita pasti pernah mengalami situasi di mana kita ”enak” bekerja sama dengan seseorang atau sekelompok orang dan sebaliknya juga ”tidak nyaman” bekerja dengan individu lain, tanpa kita tahu alasannya. Bahkan kita sering enggan untuk membahasnya, tetap memaksakan diri untuk bekerja sama, membiarkan gejala itu berlalu, tanpa berusaha untuk mengadakan pendekatan yang lebih dalam. Alhasil hubungan kerja, maupun hubungan sosial menjadi kering, ”anyep”, padahal tidak diwarnai konflik yang nyata. Dalam situasi sosial seperti ini, kita pun akan merasa berat untuk menjalin kerja sama, kooperasi karena di ‘udara’ diantara kita, tidak terbangun rasa saling percaya, respek satu sama lain, apa lagi hal yang sering disebut ”brotherhood”, alias kekompakan, kesamarataan dan kesamarasaan. Sebuah kelompok, baru berkekuatan sosial bila ada rasa saling percaya yang dalam, di mana setiap individu merasakan manfaat dari indentitas kelompoknya, memiliki pemahaman yang jelas mengenai masa depan, krisis dan kesulitan, karena adanya sasaran kelompok yang juga dimengerti masing-masing anggotanya. Hanya dalam situasi beginilah, kinerja kelompok bisa di-”boost”, selain perubahan dan krisis bisa ditangani.

Gunung Es Proses Sosial
Materi dalam rapat-rapat dan hubungan manajerial seperti presentasi, perencanaan, implementasi, metoda, segala macam kalkulasi, peramalan dan estimasi adalah materi yang memang sangat tergantung pada kecerdasan individu. Ini semua kasat mata, bagaikan pucuk gunung es yang kelihatan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kita sering mengalami atau menemui sebuah kelompok kerja yang terdiri dari individu yang masing-masing cerdas, akrab, banyak bergurau satu sama lain, tetapi tidak berkinerja optimal di dalam kelompoknya. Dalam hal ini terkesan bahwa proses kerja yang terlihat oke-oke saja, tetapi di bawah sadar ataupun di dalam hati, bagaikan dasar gunung es yang jauh lebih luas daripada pucuknya, ada beberapa hal yang tidak pernah dicocokkan, seperti misalnya rasa percaya, nilai-nilai, persepsi serta perasaan. Padahal justru pada bagian bawah gunung es inilah terletak kekuatan yang maha besar.

Istilah ”incorporated” alias jalinan kooperasi yang disebut-sebut Robby Djohan dalam buku barunya ”Lead to Togetherness”, mempunyai dasar-dasar yang sangat sederhana, yaitu jalinan rasa percaya dan kebersamaan. Konon, di antara para pejabat tinggi negara pun sering terlihat gejala, di mana dalam rapat kabinet keputusan keputusan sudah di sepakati bersama tetapi dalam implementasinya, koordinasi dan kooperasi seolah sulit dijalankan. Tidak ada ”alignment”. Bisa kita bayangkan betapa ”human capital” yang dimiliki oleh suatu lembaga atau bahkan negara tersia-siakan bila tidak digarap menjadi ”Social Capital”.

”Bonding”, ”Bridging”, ”linking”
Sebenarnya sebagai mahluk sosial, setiap individu diberi bakat untuk membina dan mengembangkan hubungan interpersonal yang intensif. Sayangnya dalam kegiatan bisnis, politik dan bernegara, hubungan interpersonal ini kemudian diletakkan pada prioritas yang rendah. Hubungan kerja, atau kerjasama dibiarkan berada dalam kedangkalan dan berhenti pada tingkat basa-basi, tidak tulus. Mungkin bukan karena dianggap tidak penting, namun disangka bahwa akan berjalan dan berkembang dengan sendirinya. Padahal, betapa kita melihat bahwa banyak hal ”tidak jalan”, ”tidak terkomunikasikan” atau ”tidak tersosialisasikan” karena tidak terbinanya, partisipasi, tanggung jawab bersama dan inisiatif dari masing masing anggota kelompok. Dalam skala pemerintah, misalnya, kita juga menyaksikan betapa sulitnya pemerintah berbagi susah dan masalah dengan ”grassroot” dikarenakan tidak adanya ”bonding” antara pengambil keputusan, kebijakan dengan ”orang kecil” yang tidak tahu apa-apa dan hanya menanggung dampak dari keputusan yang dibuat.

Dalam hubungan interpersonal, sebenarnya ’bonding’, ’bridging’ dan ’linking’, dilakukan secara sehari-hari, tetapi tergantung frekuensi, fokus, niat dan ”awareness” pelakunya. Arisan keluarga, paguyuban, kekompakan dalam suatu divisi, menandakan kapasitas individu untuk saling merangkul dan ber-samarasa dalam kelompok yang relatif kecil. Namun tentunya kekompakan ini tidak boleh dibiarkan berhenti di tingkat ini saja, karena hasilnya hanya terbatas pada kinerja kelompok kecil. Bonding” perlu dilanjutkan dengan upaya ‘Bridging’, di mana individu dan pemimpin berusaha untuk mengikatkan diri dengan individu atau kelompok yang justeru berbeda pandangan, keahlian, generasi dan dari jejaring yang lain pula. Bahayanya jika bridging tidak dilakukan adalah ikatan kuat dalam kelompok kecil bisa-bisa menjadikan kelompok tidak percaya pada ’orang luar’, bahkan menutup diri dan tidak bersedia melakukan ’alignment’ dengan kelompok lain. Berhubungan timbal balik dan belajar dari institusi dan negara lain, atau linking’, akan memudahkan kita mengakses sumber daya dan perubahan. Justru dengan menyambung keberbedaan baik pendapat, pandangan politik, antar-generasi dan sumberdaya, kita membangun modal sosial kita. Hanya dengan cara inilah kita bisa maju dan menyambar kesempatan lain.

Modal Sosial
Rasa ”suka”, simpati satu sama lain, pertemanan, kelancaran tukar menukar informasi serta kebersamaan dan solidaritas merupakan modal sosial yang justru sering baru terasa disaat saat bekerja secara negatif , seperti timbulnya protes-protes dan demo-demo. Padahal justru solidaritas dan kooperasi perlu dimanfaatkan untuk memperkuat, memperbaiki kinerja, melawan krisis ataupun menghadapi perubahan dan masalah yang tak kunjung berhenti.

HEMAT ITU GAYA

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

“Dapatkan satu set dapur ‘branded’, ditambah satu jaket kulit eksklusif, bila Anda membeli apartemen sebelum akhir bulan ini”, “Bagi putra-putri Anda, mainan kecil selama penerbangan”. Serbuan promosi ini, kesemuanya ditanggapi oleh kita-kita, baik yang kaya maupun miskin, yang perlu ataupun tidak memerlukan, dengan ungkapan:”Kenapa tidak?”. Apakah sesudah itu jaket maupun mainan dibuang ke tong sampah karena tidak cukup “berharga” untuk disimpan, itu urusan lain. Yang penting, kita “mendapatkan”-nya.

Tanpa sadar perilaku konsumsi kita sudah berjalan tanpa pikir panjang lagi. Kita tidak terlalu mempedulikan lagi, apakah kita menjalankan “over consumption” yang diikuti perilaku membuang sampah, sesaat menggunakan produk kemudian mengganti lagi dengan produk lain atau mengikuti tren produk selanjutnya. Gejala “overconsumption” ini sudah menggejala di setiap lapisan masyarakat secara menyedihkan. Tengok betapa seorang yang berpenghasilan di bawah satu juta rupiah membelanjakan uangnya untuk membeli pulsa ponsel. Seberapa pentingnyakah komunikasi instan ini bagi dirinya?

Seiring dengan ajakan banyak pihak termasuk pemerintah untuk mengencangkan ikat pinggang, semakin gencar pula para produsen bersaing melalui upaya pemasaran yang gila-gilaan. “Lima puluh persen diskon untuk makan di restoran ternama, selama 3 bulan ini” Alhasil, makanan restoran yang dulunya kita nikmati sedikit-sedikit dan perlahan-lahan sekarang kita konsumsi lebih banyak, bahkan kadang sampai terbuang percuma. Meskipun beberapa orang tua masih kerap menasihati putra-putrinya untuk “Ingat pada yang tidak punya makanan”, namun konsumsi makanan (baca: berlebihan) tetap berjalan terus.

Kita jadi sadar bahwa kita berada ditengah ambivalensi perasaan dan evaluasi mengenai realitas sosial dan konsumsi kita sendiri. Keadaan yang kita sadari ini pun ingin kita ubah, namun tenaga serasa tidak cukup untuk berubah dan mengubah gaya hidup seketika. Tanpa terasa badai konsumsi sudah begitu kuat mewarnai hidup kita dan sudah kita anggap sebagai kebutuhan pokok. Keluarga menengah yang tinggal, misalnya di bilangan Bekasi, sering kita lihat mengupayakan untuk punya mobil dua. “Saya bekerja di Tangerang dan istri berkantor di daerah Sudirman. Kami tidak punya pilihan. Kalau tidak menggunakan 2 mobil, kami tidak punya waktu untuk keluarga.” Kenyataan seperti ini seolah berbunyi “no way out”, yang kemudian bisa membuahkan sikap apatis, tidak berdaya, tanpa ancang-ancang langkah mundur bila, misalnya, harga BBM melonjak dan tidak terbayarkan lagi.

Cerminan Diri
Semenjak tahun 80-an, keberadaan mal-mal indah, sejuk dan nyaman seakan menjadikan kegiatan “shopping” sebagai ritual yang sah, bahkan dijadikan sarana untuk mengumandangkan “Siapa saya” alias identitas diri. “Apa yang kita beli dan konsumsi, adalah cerminan dari diri kita”. Tanpa sadar kita sudah berada pada situasi di mana konsumsi tidak ada hubungannya dengan “biaya” dan kebutuhan. Konsumsi adalah “impulse”, yaitu reaksi impulsif yang secara sengaja dipelajari dan didalami oleh kaum “marketers” yang berusaha untuk menyasar para konsumen agar lebih mengkonsumsi dan mengkonsumsi lagi. Operator telpon, penjual minuman, bahkan rokok sangat menyadari bahwa konsumen yang paling empuk adalah remaja. Dan, karenanya remaja di ninabobokan dengan konsumsi yang mudah, ringan tetapi adiktif, menjebak, dan sulit bisa lepas lagi. Pertanyaannya, mungkinkah kita kembali ke era di mana kita melakukan “reasonable & reflective consumption”, dan dengannya berpikir keras mengenai kuantitas dan kualitas barang yang kita konsumsi?

Antara “Punya” dan “Berbagi”
Saya teringat kebiasaan ayah saya di tahun 60-an, yang setiap pagi hari pukul 6 berangkat dari rumah di Cilandak dan mengangkut beberapa anak sekolah langganan sepanjang Jl Fatmawati, yang sudah seolah ber-“gentleman agreement” untuk berangkat bersama. “Daripada kosong”, begitu komentar ayah saya, yang dengan bangga mengendarai Austin Thames-nya, mobil pribadi pertama yang dimilikinya. Memiliki mobil, pada jaman itu merupakan prestasi yang sangat dibanggakan, tetapi kemudian, berbagi fungsi dan kemudahan membuat hidup lebih bermakna lagi. Mengapa di jaman sekarang, kita tidak kunjung bisa menanggulangi jalan macet dengan berbagi? Bahkan, kita menghalalkan pelanggaran dengan memanfaatkan para “joki” demi “privacy” alias “selfishness” . Gaya hidup “berbagi” memang tidak terlalu populer di kalangan ‘gaul’ , dibandingkan dengan isu “mempunyai”. Di sinilah budaya “selfishness” tumbuh subur tanpa sadar bahwa dengan memanfaatkan dan menikmati kebersamaan dan hubungan sosial, kita bisa lebih sejahtera. .

Berhemat itu Canggih
Isu “matre” atau sikap materialistis nampaknya sudah kuno, basi, tidak signifikan lagi, karena kita memang sudah terbiasa, bahkan terbelenggu menjadi ‘konsumen setia’. Kemudahan dan keuntungan sebagai pemegang kartu kredit dan kartu debet dan segala macam kemudahan berutang menjadikan kita tidak kuasa lagi untuk setiap kali, berhenti sejenak, berpikir dan mempertimbangkan tentang pengeluaran uang, ongkos, serta kegunaan dari barang, produk maupun jasa yang kita konsumsi. Nampaknya untuk berhemat, semua dari kita perlu “start from scratch” dan berpikir sangat keras, merekayasa dan mendesain suatu pendekatan yang lebih manusiawi ketimbang komersialisasi, lokal ketimbang global, dan membuat sendiri ketimbang membeli, demi menyelamatkan kesejahteraan fisiologis, psikologis, emosional dan spiritual.

Ranking 10 perusahaan paling INOVATIF di Dunia

by: Yodhia Antariksa

Inovasi – inilah sepenggal mantra sakti yang mungkin mesti terus dilafalkan tatkala sebuah perusahaan hendak menjadi pemenang dalam sirkuit persaingan bisnis yang kian brutal. Tanpa kepiawaian merajut proses inovasi secara konstan, sebuah organisasi bisnis bisa tewas terkapar dalam dinamika perubahan yang bergerak dengan cepat. Innovate or die, begitu sebuah slogan yang pernah dipekikkan oleh para pakar manajemen.

Pertanyaannya kini adalah : perusahaan apa yang kira-kira layak dinobatkan sebagai paling inovatif didunia, yakni perusahaan yang selalu mempu mengelola proses inovasi dengan brilian? Setiap tahun majalah Business Week melakukan survei ekstensif kepada ribuan eksekutif di seluruh dunia. Kepada mereka ditanyakan pertanyaan tentang perusahaan apa saja yang menurut mereka paling inovatif di dunia? Berikut daftar ranking 10 pemenangnya.

1. Apple
2. Google
3. Toyota Motor
4. General Electric
5. Microsoft
6. Tata Group
7. Nintendo
8. Procter and Gamble
9. Sony
10. Nokia

Ada beberapa catatan yang bisa kita eksplorasi berkaitan dengan hasil ranking The World’s Most Innovative Companies tahun 2008 versi BusinessWeek tersebut. Catatan yang pertama adalah tentang lokasi geografis dari para pemenang inovasi. Dari 10 daftar diatas, Amerika diwakili oleh 5 perusahaan (yakni Apple, Google, GE, Microsoft dan P&G), sedangkan Asia diwakili oleh 4 perusahaan (tiga dari Jepang yakni Toyota, Sony dan Nintendo, serta satu dari India yakni Tata Group). Sedangkan dari Eropa hanya diwakili satu perusahaan yakni Nokia (dari Finlandia).

Apa artinya ini? Dalam aspek inovasi, ternyata perusahaan-perusahaan dari Asia lebih unggul dibanding Eropa. Saya sendiri berharap dalam dekade mendatang, perusahaan-perusahaan dari Asia bisa kian unggul dalam aspek inovasi ini. Sebab seperti artikel saya sebelumnya tentang Kebangkitan Asia Raya (yang bisa Anda baca disini), saat sekaranglah momentum kebangkitan Asia – sebuah momentum historik untuk merobohkan dominasi Eropa. Ratusan tahun silam, negara-negara Eropa melakukan penjajahan terhadap Benua Asia. Kini saatnyalah melakukan “serangan balik”. Dan hasil ranking inovasi diatas dengan jelas menunjukkan, Asia memiliki modal yang amat kokoh untuk benar-benar menaklukkan Eropa dalam perang ekonomi global.

Catatan berikutnya adalah tentang daftar 3 pemenang teratas. Seperti Anda lihat, jawara nomer satu perusahaan paling inovatif di dunia adalah Apple. Sungguh, melalui parade produk-produknya yang merupakan perpaduan sempurna antara teknologi dan seni (the art of technology), Apple memang rasanya amat layak untuk duduk dalam singgasana kemenangan. Karya-karya Apple seperti iPod, iPhone dan MacBook Air pada akhirnya memang karya teknologi nan elegan dengan sentuhan seni yang menggetarkan. Melalui deretan produk ini, Apple juga telah memberikan pelajaran yang amat berharga kepada dunia tentang apa itu makna inovasi sejati (ulasan saya yang lebih ekstensif mengenai rahasia sukses Apple dalam meracik inovasi bisa Anda baca disini).

Pemenang kedua dalam ranking itu adalah Google. Kini setiap orang yang berselancar di internet, siapa yang tak kenal dengan Google. Saat ini Google memang telah menjadi Sang Dewa Internet Dunia. Instrumen search engine yang dirancang oleh dua pendiri Google, Sergei Brin dan Larry Page, boleh jadi merupakan salah satu inovasi yang paling brilian dalam jagat dunia maya yang bergerak dengan cepat. Melalui rangkaian algoritme yang rumit dan kompleks, mesin pencari Google tak pelak telah menjadi sahabat setia bagi ratusan juta peselancar dalam petualanagn di dunia maya tanpa batas. Dan dengan mesin pencari yang bisa kita ibaratkan “lampu aladin” itu, Google dengan cepat menaklukan jagat online – memukul KO Yahoo dan Microsoft.

Pemenang ketiga dalam parade inovasi ini adalah Toyota. Kemenangan Toyota ini boleh jadi dipicu oleh dua faktor. Faktor yang pertama adalah kehebatan perusahaan ini dalam melakukan inovasi pada aspek proses manufaktur mobil – jadi bukan semata inovasi dalam aspek produk. Selama ini, Toyota memang amat dikenal melalaui beragam inovasinya dalam aspek proses pembuatan mobil, dan dari merekalah lahir beragam pendekatan inovatif seperti konsep lean production system, zero inventory, ataupun konsep kaizen (continuous improvement). Faktor kedua yang juga membuat Toyota menjadi pemenang adalah kisah kegemilangan mereka dalam memproduksi mobil hybrid (mobil dengan energi campuran antara bensin dan tenaga listrik) pertama didunia dan kebetulan laku keras, yakni mobil Toyota Prius. Inovasi dalam memproduksi green car ini tak pelak telah melentingkan reputasi Toyota – terlebih saat ini ketika isu global warming telah menjadi perbincangan hangat dimana-mana.

Itulah dua catatan ringkas yang layak dikemukakan berkaitan dengan hasil Rangking 10 Perusahaan Paling Inovatif Di Dunia. Dinamika bisnis global terus berjalan, dan karnaval inovasi pasti akan terus dibentangkan. Melalui caranya masing-masing, ke-10 perusahaan inovatif ini telah memberikan warna yang semarak dalam perjalanan sejarah inovasi dunia.
Photo Credit by : Thomas Haw

Chindianesia: Sebuah impian tentang kebangkitan Indonesia Raya

by: Yodhia Antariksa

Chindianesia – China, India, dan Indonesia. Apa yang akan terjadi jika tiga raksasa Asia ini bersatu erat dan bersama-sama mengepakan sayapnya? Impian tentang Kejayaan Asia Raya yang dipekikkan puluhan tahun silam oleh Nehru, Soekarno dan Paman Mao mungkin akan benar-benar menjadi kenyataan yang teramat indah. Inilah impian tentang kejayaan Asia Raya dalam dinamika ekonomi global – dan sebuah hasrat terpendam untuk merobohkan dominasi Amerika dan Eropa yang telah ratusan tahun menguasai peradaban dunia.

Dan aha, impian itu ternyata kian dekat menjadi kenyataan. Simaklah prediksi dari Goldman Sach, sebuah lembaga keuangan terkemuka, berikut ini : pada tahun 2025, ekonomi Indonesia diprediksi akan berada pada peringkat 14 dunia, melibas Kanada. Dan pada tahun 2050, ekonomi China akan menjadi nomer satu dunia, ekonomi India menjadi nomer tiga, dan ekonomi Indonesia menjadi nomer tujuh dunia. Pada tahun itu, ekonomi Indonesia akan mengalahkan ekonomi Jepang, Inggris, dan Jerman.

Kisah kebangkitan ekonomi China dan India berangkali memang telah menjadi legenda. Sebuah kisah kesuksesan yang dilentikkan oleh kebijakan ekonomi nan brilian, dan juga ditopang oleh sumber daya alam yang melimpah serta mutu SDM yang solid. Setelah kejayaan Jepang dan Korea Selatan, maka banyak orang bilang bahwa kedahsyatan masa depan Asia akan dirajut oleh China, India, dan Indonesia.

Oleh Indonesia? Ya, sebab seperti yang diprediksikan oleh Goldman Sach diatas, negeri Katulistiwa ini juga memiliki masa depan yang amat cerah. Saya sendiri percaya bahwa republik ini suatu saat akan menjadi bangsa besar. Someday, our country will become one of the best nations on earth. A great nation with great future.

Pertanyaan konkritnya kemudian adalah : lalu dengan apa kira-kira Indonesia bisa menjadi penguasa dunia. Jawabannya ternyata simpel dan tidak heroik: dengan karet dan kelapa sawit. Sorry to say, ditengah segala perbincangan tentang era digital, information-based economy, dan blah, blah lainnya, dua komoditi kuno itulah yang paling punya potensi untuk membawa Indonesia menaklukkan dunia. Dan kini, ditengah booming komoditi di segenap penjuru dunia, posisi Indonesia dalam panggung ekonomi dunia bisa kian berkibar.

Indonesia, kita tahu, adalah produsen karet nomer dua di dunia (setelah Thailand), dan beberapa tahun lagi akan menjadi menjadi nomer SATU. Lihatlah, mobil Toyota, Jaguar, BMW atau Mercedes yang berseliweran di jalanan kota Jakarta, Paris, Tokyo, atau New York, maka hampir pasti ban roda mobil itu dibikin dari karet para petani di Sumatera. Produksi karet dari negeri kita merupakan salah satu pemasok terbesar bagi produsen ban raksasa yang kemudian dipakai oleh seluruh produsen mobil dunia. Kalaulah seluruh produsen karet Indonesia memberhentikan pasokannya secara serentak, percayalah, industri otomotif sedunia bisa kolaps dalam sekejap. Dan dalam hitungan bulan, pabrik mobil Toyota atau Mercedes Benz di seluruh dunia mungkin bisa limbung.

Lalu kelapa sawit? Kini Indonesia merupakan produsen nomer SATU dunia. Pabrik Unilever global – bukan hanya yang di Indonesia – sangat bergantung dengan pasokan kelapa sawit dari Kalimantan dan Sumatera. Sabun Dove dan Lux, yang mendominasi kamar mandi jutaan orang di seluruh dunia, tak mungkin bisa dibuat tanpa kelapa sawit. Kalau semua produsen kelapa sawit Indonesia memberhentikan pasokannya ke Unilever Global, maka dalam hitungan hari, sabun Dove dan Lux bisa lenyap dari peredarannya di seluruh pasar dunia.

Pesannya jelas : dengan bekal komoditi alam yang berlimpah, seperti karet, kelapa sawit, bubur kayu (pulp), ikan laut (laut kita salah satu yang terbesar di dunia), biji kopi, dan kokoa, negeri ini akan dapat menjadi negeri hebat di masa – masa mendatang. Apalagi jika kita juga menghitung produk dari migas seperti nikel, batubara, gas dan biji besi.

Oke negeri ini memang tengah didera dengan seribu satu persoalan, namun ini semua mestinya tidak membikin kita pesimis, dan lalu membuncahkan berderet keluhan. Sebab, seperti yang penah kita bahas disini, pola pikir semacam ini mungkin justru akan benar-benar membawa kita semua dalam lorong kegelapan tak berujung. Ditengah beragam tantangan yang amat pelik, kita yakin negeri ini tetap memiliki potensi untuk menjadi bangsa besar – persis seperti yang diprediksikan di depan oleh Goldman Sach.

100 tahun silam, para anak muda Indonesia mendeklarasikan kebangkitan negeri ini dengan gagah berani dan spirit optimisme yang membuncah. Kita percaya dalam 100 tahun ke depan, negeri ini akan benar-benar merengkuh kejayaan yang hakiki dalam blantika ekonomi global. Bersama China dan India, kita yakin, Indonesia akan menjadi trio lokomotif bagi kebangkitan Asia Raya.

Kita bangga menjadi manusia-manusia Indonesia. Dan dengan spirit memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, saya ingin mengajak Anda semua sejenak menundukkan kepala dan hati, demi memanjatkan syukur dan terima kasih kepada sang ibu pertiwi yang telah melahirkan kita semua di bumi nusantara ini.

Majulah Indonesiaku. Jayalah Negeriku. Dan Bangkitlah Asia Raya !!