Senin, 25 Februari 2008

Ethos Kerja

Ethos Kerja


by: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Di sebuah lembaga yang paling bergengsi di negara ini, semua karyawan di dalamnya tampak sibuk berlomba untuk memperbaiki kinerja, adu pintar, adu produktif, adu prestasi, juga berlomba meningkatkan gelar ke jenjang yang lebih tinggi, S2 bahkan S3. Gaji dan benefit yang diterima karyawan di lembaga itu juga sangat oke. Semestinya, karyawan happy di lingkungan yang sekompetitif dan seapresiatif ini. Kenyataannya, karyawannya mengaku tidak terlalu happy, merasa resah, merasa tidak ‘berisi’, tidak pede bila bertemu orang luar, walaupun ketidakpedean ini lebih banyak tersembunyi dibalik sikap arogan.
Meski terlihat keren, juga produktif, namun bila individu yang bekerja dalam organisasi merasa ‘lelah’ dengan hubungannya dengan organisasi, tidak ‘cinta’ organisasi, tidak bangga dengan aturan main kantor, berarti ia sedang bekerja dengan ethos kerja yang rendah. Di organisasi dengan ethos kerja yang tinggi, kita akan merasakan bahwa karyawan umumnya lebih nyaman, lebih ‘helpful’, tidak membatasi diri, lebih sabar, lebih bisa berkomunikasi profesional dengan jelas tanpa memancarkan rasa ‘lelah’.

Ethos kerja sebenarnya adalah istilah popular untuk “selera bekerja”. Kita tahu betul bagaimana membedakan antara berselera makan dan tidak berselera makan, bukan? Nah, orang dan organisasi yang punya ethos kerja tentunya menunjukkan semangat untuk berkolaborasi, berdebat, berkomunikasi, berprestasi yang ‘tidak ada matinya’, sehingga secara nyata dapat memetik hasil yang riil dan memberi kontribusi bagi kemajuan organisasinya, juga bangsanya. Sementara, perusahaan dengan ethos kerja rendah dapat segera terlihat dari adanya kesulitan kolaborasi, menebar gosip ke segala penjuru, absenteeism, serta tidak adanya inovasi.

‘Semangat’ bukan Segala-galanya
Rekan saya adalah seorang yang sangat bersemangat dan bergairah. Dia selalu beranggapan bahwa ia membangkitkan semangat tim, atasan bahkan teman-temannya. Belakangan, ia mendapat kritik dari berbagai pihak di tempat kerja. Kritiknya menyangkut kegemarannya bergosip, kinerjanya yang tidak jelas, janji janji yang tidak membumi, dan analisa serta strategi yang tidak terarah. Ketika petugas HRD menegurnya, ia berargumentasi:”Bukankah saya membangkitkan semangat teman-teman?” dan “Bukankah saya menyampaikan aspirasi teman-teman yang tidak bisa mereka utarakannya secara jelas kepada perusahaan?”. Ini adalah contoh, di mana suasana kerja bisa tampak seolah bersemangat dan bermotivasi tinggi, tapi belum tentu menghasilkan kinerja yang produktif, efektif juga efisien. Jadi, semangat bukan segala-galanya bila kita merujuk ethos kerja tinggi.

Fokus pada “Self Esteem” Karyawan
Di sebuah perusahaan yang baru-baru ini mengadakan program job valuation, sebagian besar karyawannya mendapatkan kenaikan gaji sebagai hasil program ini. Meski di satu sisi hal ini menggembirakan, namun banyak sekali karyawan yang merasa ‘gamang’ dengan kenaikan gaji tersebut. “Saya merasa tidak pantas mendapat gaji sebanyak itu”, seorang karyawan berkometar. Karyawan lain berujar,”Orang yang sepanjang hari chatting di kantor kok dapat kenaikan gaji segitu”. Apapun latar belakangnya, yang pasti rasa gamang ini bukan rasa yang postitif.
Di lingkungan yang ethos kerjanya positif, karyawannya happy luar dalam. Di lingkungan seperti itu, biasanya karyawan merespek kebijakan perusahaan dan membela tindakan perusahaan. Tidak harus melulu soal menaikkan upah dan benefit, namun perusahaan yang ingin mencapai ethos yang positif sebenarnya bisa memperhatikan bagaimana karyawan “merasa” tentang jabatan, tugas, arah serta image perusahaan tempat ia bekerja. Karyawan bisa saja diberi tugas banyak dan diberi upah yang tidak nomor satu di industrinya, tetapi tetap merasa positif dengan pekerjaan dan jabatannya. Karyawan perlu tahu persis mengapa ia bekerja dan memangku jabatan yang berbeda dengan rekan kerjanya. Ia juga perlu tahu persis mengapa ia berbeda dengan rekan kerjanya dalam bobot tugas, jenis tugas bahkan sampai ke pengupahannya. Dan alasan tersebut perlu ia terima secara positif.
Penyadaran ini akan menyebabkan individu merasa leluasa dan “nyaman” berprestasi walaupun bekerja keras. Penyadaran ini pun perlu mencapai tingkat di mana individu tahu dan sadar mengenai potensi dan kompetensi sekaligus keterbatasannya. “Tidak semua orang harus di promosi”, “Tidak semua orang bisa jadi direktur”, tetapi setiap orang bisa memberi kontribusi yang banyak. Dan setiap orang bisa “happy” sesuai dengan level kompetensinya.

Trust Dibangun dari Transparansi
Keyakinan perusahaan bahwa karyawan harus mendapatkan kejelasan informasi dan karenanya perusahaan perlu mengupayakan transparansi kepada karyawan akan menyebabkan karyawan merasa dianggap sebagai ‘orang penting’ di perusahaan, dihargai dan direspek. Dari sinilah karyawan mempunyai energi untuk “memberi”, menservis, berkreasi dan berinovasi. Sebagai timbal balik dari nilai tambah yang diberikan karyawan, perusahaan pun bisa lebih banyak memikirkan ‘privasi’ individu, menepis gosip, meningkatkan keamanan, juga kesehatan jiwa dan fisik karyawan. Upaya saling memberi ini kemudian akan terasa sebagai lingkaran “malaikat” yang semakin lama semakin kokoh dan berenergi untuk menyulut ethos kerja ke level yang semakin tinggi.

Selasa, 19 Februari 2008

Yang menghambat karir Anda

Hindari 7 Pembunuh Karir Anda

Anda pasti baru saja memasukkan kata "karir" dalam daftar resolusi 2008 yang Anda buat sebulan yang lalu. Bagaimana sejauh ini, apakah Anda sudah mengambil langkah-langkah awal untuk mewujudkannya? Apapun yang Anda harapkan dari karir Anda tahun ini, yang pasti merujuk pada perkembangan, kemajuan dan peningkatan ke arah yang lebih baik dan menjanjikan.
Sambil terus melakukan upaya-upaya yang mendukung terpenuhinya harapan-harapan tersebut, Anda juga perlu mengenali faktor-faktor penghambatnya. Dengan mengenalinya sejak dini, akan akan terhindar dari kemungkinan kegagalan yang tidak Anda perhitungkan. Setidaknya ada 7 "dosa" yang harus Anda hindari di tempat kerja. Kalau tidak, 7 hal itu tidak hanya akan menjadi perintang melainkan bahkan juga akan membunuh karir Anda.

1. Bangga
Keberhasilan demi keberhasilan di tempat kerja membuat Anda merasa luar biasa sehingga cenderung mengecilkan fakta bahwa itu semua tak lepas dari dukungan atau pun asistensi orang-orang di sekitar Anda, dan khususnya mereka yang berada di bawah Anda. Anda pun menjadi seorang yang egosentris, dam lambat-laun --mungkin tanpa Anda sadari- mulai meremehkan dukungan orang lain. Kebanggaan pada diri yang berlebihan akan mematikan semangat tim yang hakikatnya dibangun dari bawah dan bisa mempercepat laju karir seseorang. Merasa diri adalah bagian dari kesatuan sebuah tim, akan memberi sukses yang berjangka panjang.

2. Iri Hati
Penghargaan kepada individu diberikan oleh perusahaan berdasarkan prestasi yang dicapai oleh yang bersangkutan. Tapi, Anda selalu mempertanyakan, "Apa dia pantas mendapatkannya?" dan lalu merasa, "Saya lebih pantas." Perasaan seperti itu bisa merusak dan menjauhkan Anda dari kemampuan untuk fokus pada tugas dan tanggung jawab yang ada di tangan Anda sendiri. Menjadi orang yang selalu mencemburui orang lain di tempat kerja bisa menyabotase harga diri Anda. Dan, harga diri adalah karakteristik penting dari setiap pekerja atau pun eksekutif yang sukses. Daripada iri hati, lebih baik saling bergandeng tangan bahu-membahu, dan itu bisa memotivasi kerja menuju sukses.

3. Marah
Kemarahan perlu dikontrol. Marah tidak memberi keuntungan apapun di tempat kerja. Tak seorang pun akan terbantu kalau Anda marah. Sebaliknya, marah hanya akan merusak reputasi dan citra Anda di mata teman, atasan maupun bawahan. Boleh saja Anda tidak setuju dengan orang lain, dan berusaha untuk melindungi kepentingan Anda akan sebuah pekerjaan atau proyek yang sedang Anda tangani. Dan bagus kalau Anda merasa passionate pada tugas Anda. Namun pelajarilah bagaimana menyalurkan emosi-emosi itu dalam aksi-aksi yang akan menguntungkan Anda di mata orang lain, khususnya tentu di mata atasan. Seorang yang mudah marah jarang sekali mendapatkan promosi kenaikan jabatan karena dinilai akan sulit menginspirasi atau memotivasi orang lain.

4. Berpikir pendek
Selalu ingin "lebih" dan "segera" adalah hasrat yang mendasari setiap usaha untuk mencapai tujuan-tujuan karir. Namun, menyalurkan hasrat itu secara ekstrim, misalnya dengan "menghalalkan segala cara" akan merugikan diri sendiri. Anda jadi kehilangan arah dan kehidupan Anda menjadi tidak seimbang. Jalan menuju sukses menghendaki pendekatan jangka panjang dalam semua aspek pekerjaan. Fokus pada kecepatan dan capaian-capaian jangka pendek hanya baik untuk sesaat, dan ketika dihadapkan pada hal-hal di tahap berikutnya, Anda tidak siap.

5. Mudah puas
Pada sisi lain, mudah puas dan kemalasan tidak memiliki tempat di dunia kerja. Setelah berhasil mencapai satu tahap lalu berhenti dan berharap capaian itu bisa mengantarkan ke sukses berikutnya dalam perjalanan karir adalah mustahil. Lebih-lebih dalam iklim kompetitif dewasa ini, hanya mereka yang terus berproses dan menindaklanjuti pertumbuhannya, dan senantiasai memperbarui kontribusinya yang akan sukses.

6. Ketidakseimbangan
Sejumlah orang bergerak naik terlalu cepat dalam jenjang jabatan perusahaan tapi kemudian berakhir dengan kegagalan. Segala yang berlebihan dan tidak wajar tidaklah bagus --khususnya jika Anda tidak siap dengan tantangannya. Penting untuk memastikan bahwa Anda tidak hanya siap secara profesional untuk mengambil tantangan yang lebih besar, tapi juga kehidupan personal juga mesti disiapkan untuk tuntutan-tuntutan baru tersebut. Mencapai sukses karir sebaiknya tidak mengesampingkan keseimbangan hidup, dan hasrat profesional yang "salah tempat" bisa menciptakan masalah di kemudian hari.

(sumber:portalhr.com )

Gaji yang anda minta ?

Berapa Gaji yang "Harus" Saya Minta?

Bagian yang paling merepotkan dalam proses wawancara kerja adalah menjawab pertanyaan mengenai gaji yang diminta. Banyak orang merasa "serba salah", menyebut angka yang terlalu rendah takut dianggap kualitas juga rendah, menyebut angka terlalu tinggi, khawatir perusahaan tidak mampu membayar sehingga menyebabkan yang bersangkutan tidak jadi diterima.
Saran yang sering terdengar, sebutlah angka yang standar. Ini juga tak kalah ribetnya: yang standar itu seberapa? Belum lagi kesan yang muncul bahwa orang yang menjawab sesuai standar berarti tidak memahami keunggulan dirinya.

Bukan Tabu
Saat ini, negosiasi mengenai gaji tidak lagi dipandang tabu oleh sebagian besar perusahaan, namun Anda diharapkan mengumpulkan informasi dulu agar dapat bernegosiasi dengan baik. Lakukan survei terlebih dahulu, sampai sejauh yang bisa Anda lakukan.

Survei
Cek ke teman atau teman dari teman yang mempunyai pekerjaan sejenis di perusahaan yang sejenis. Apabila Anda tidak bisa memperoleh data yang diinginkan, carilah informasi mengenai gaji dari pekerjaan lain yang satu level dalam tingkatan korporasinya, tapi di perusahaan sejenis, atau pekerjaan sejenis di perusahaan yang berbeda jenis atau skala.

Tiga Faktor
Perlu diingat, pekerjaan sejenis di perusahaan sejenis juga belum tentu mewakili nilai (gaji) yang sama. Gaji ditentukan oleh 3 faktor: harga pekerjaannya, harga orang yang memegang jabatan atau pekerjaan tersebut, dan harga pasar. Cari tahu juga, apakah gaji tersebut merupakan harga pekerjaannya sendiri atau harga pemegang jabatannya.

Tentukan BATNA Anda
Apa itu? Best Alternative to a Negotiated Agreement. Caranya:

Pertama, cek diri sendiri, apakah Anda pindah karena gaji, karir, ketenangan kerja, stabilitas atau hal lain. Kalau Anda pindah bukan karena alasan gaji, maka gaji tidak perlu terlalu difokuskan dalam negosiasi, yang berarti permintaan bisa berkisar dari 0-10% dari gaji sekarang. Seandainya gaji menjadi faktor penting buat Anda dan menjadi motif Anda pindah kerja, maka Anda perlu kombinasi antara peningkatan 10%-25% dari gaji sekarang dengan hasil survei Anda. Seandainya hasil survei Anda menemukan bahwa standar di luar sana jauh lebih besar, katakanlah 50% dari gaji Anda, bukan berarti Anda bisa langsung mengajukan angka. Dan, hasil survei yang lebih bisa dipakai adalah harga pekerjaan, bukan harga pemegang jabatannya.

Persepsi Perusahaan
Kedua, ingat selalu: persepsi perusahaan mengenai tingkat kemampuan Anda antara lain ditentukan oleh seberapa tinggi gaji Anda sekarang. Jadi, mereka bisa saja melihat Anda sebagai seseorang yang sedang mencari "peruntungan" dengan meminta gaji lebih tinggi. Efektifnya adalah "win-win": Anda bisa menentukan nilai tengah dari jangkauan 10%-50% (sekitar 30%-35%). Dan, inilah cara Anda menentukan BATNA: tentukan harga yang hendak Anda minta, tentukan bottom-line Anda apabila terjadi negosiasi, dan stick to it. Artinya, Anda bisa dengan percaya diri meminta, dan berani walk away apabila tidak sesuai dengan permitaan Anda.

Tips Lanjutan (1)
Jadi, "Berapa gaji yang Anda minta?" Rahasianya bukan pada angkanya, tapi kalimat yang membungkus permintaan Anda tersebut. Misalnya, "Saya akan sangat senang apabila memperoleh gaji Rp..., tapi Bapak/Ibu tentu sudah melihat CV saya dan mempunyai gambaran sendiri mengenai nilai yang bisa saya kontribusikan ke perusahaan ini, dan tentunya Bapak/Ibu yang tahu bagaimana kemampuan dan harapan saya bisa cocok dengan standar perusahaan ini, jadi saya akan sangat senang apabila bisa mendengar juga dari Bapak/Ibu, kira-kira berapa yang ditawarkan kepada saya."

Tips Lanjutan (2)
Apabila pertanyaan tentang gaji ini muncul terlalu awal, ada baiknya Anda tidak langsung menjawab. Kalau ini terjadi, Anda justru mempunyai kesempatan lebih banyak untuk menunjukkan citra profesional Anda! Katakanlah, misalnya, "Apabila Bapak/Ibu tidak berkeberatan, saya ingin tahu lebih jauh dulu tentang peran dan tanggung jawab pekerjaan saya sebelum menjawab pertanyaan ini. Saya belum mendapat atau merasakan gambaran utuhnya."

Kesimpulan
Jadi: lakukan survei, tentukan BATNA, bungkus permintaan Anda dengan citra yang baik, dan ungkapkan pada saat yang tepat!

(Sumber:portalhr.com)

Senin, 11 Februari 2008

Leadership

Pemimpin yang sempurna


Isu mengenai kepemimpinan selalu menarik.Baru baru ini saya bertemu dengan seorang pimpinan perusahaan yang oleh teman temannya disebut sebagai “orang besar “. Beliau sangat berhasil,banyak teman,aktif dan “terpandang” dikalangan organisasi profesinya dan sangat pandai menggolkan proyek jutaan US dollar. Ketika beliau berkesempatan untuk meninjau kembali gaya kepemimpinannya dan membandingkan kekuatan dan kelemahan dengan koleganya sesama pimpinan perusahaan tersebut,ada yang berkomentar, “ Bapak tuh rabun dekat,sementarateman Bapak rabun jauh .”
Maksudnya,beliau sangat visioner,berpikiran jangka panjang,sementara koleganya lebih memperhatikan detil yang ada didepan mata. Lah,kalau para pemimpin diperusahaan itu “rabun” semua,kok perusahaan bisa sehebat itu ?

Harapan terhadap seorang pemimpin ideal memang banyak sekali.Saking banyaknya bahkan bisa berbentuk mitos,karena hampir tak pernah kita lihat terealisasi. Ada pemimpin yang pada tahap awal kepemimpinannya memunculkan konsep konsep baru dan cemerlang,tetapi selanjutnya tidak mampu mengontrol situasi. Ada pemimpin yang kita tahu sebagai “slow starter”,sehingga setelah lama menjabat terasa tetap tidak melakukan “perbedaan” atau perbaikan keadaan. Tampaknya memang jarang terealisasi ada pemimpin yang mendekati kritera “sempurna”.“No one person could possibly stay on top of everything “

Pemimpin juga manusia
Kita tampaknya memang sudah perlu berganti “mindset” dan realistis melihat bahwa kepemimpinan memang sulit. Adanya pemimpin akan memudahkan situasi,karena sipemimpin sekedar sedikit lebih pintar,bijak dan ber”power” untuk menemukan dan menggerakkan “expertise “anak buah, menggambar dan menjual visi yang realistis,menggalang tim untuk menghasilkan ide dan solusi baru,serta menggerakkan teman temannya agar menjalankan upaya menuju sasaran bersama dengan penuh komitmen.Mau tidak mau,seorang pemimpin tidak bisa “menggarap” semua hal dengan konkrit. Dilain pihak,paling tidak ia memberdayakan kekuatan,memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya yang ada diareanya. Pemimpin adalah manusia biasa yang tidak sempurna,tetapi dengan “terpilihnya” ia sebagai pemimpin,ia perlu menjadi manusia yang paling tidak, bisa mendobel kekuatan timnya berdasarkan semua kekuatan dan sumberdaya yang ada. Dalam keterbatasannya ia tetap perlu menjadi “the flawless person at the top who’s got it all figured out “.

Mengakali kekurangan dengan menajamkan “Sensemaking “.
Teman saya adalah seorang pebisnis sekaligus CEO yang “ penuh kekurangan “. Ia , menurut anak buahnya ,”hanya “ mengurusi hal yang tidak penting seperti kebersihan toilet dan “clean desk policy”.namun kenyataanya,ia tidak tergantikan.Visi bisnisnya yang tidak mampu ia deskripsikan sendiri dengan kata kata,sudah membuat perusahaan berkembang terus selama 30 tahun.tidak pernah usang bahkan berkembang secara drastis.
Teman saya ini sering mengatakan bahwa dirinya punya “indera keenam”. Ungkapan yang dinyatakan secara bergurau itu sebenarnya ,kalau dipikir pikir sangat benar. Tepatnya,ia selalu bisa melihat apa yang orang lain tidak lihat Ia adalah seorang yang “super observant “ dan punya “radar” yang tajam dalam melihat peluang dan produk baru,serta melihat kesalahan operasional sehari hari.Ketajaman “sensing” ini disertai “sensemaking “ yang sangat kuat. Dengan cara inilah ia mencari kebenaran dan pemahaman tentang duduk perkara situasi sehari hari secara simple namun tajam,memahami konteks sekaligus inti permasalahan dengan tepat.
Teman kita ini memang tidak pernah kehilangan “kerendahan hati” untuk memahami sitiasi sekitar dengan kerajinannya mengajukan pertanyaan,walaupun sangat sibuk. Tetapi bukankah kita sama sama bisa membayangkan,betapa sulitnya pemimpin yang tidak mempunyai “sense” tentang organisasinya,karena tidak berusaha mencari tahu,bahkan hanya menerima laporan,dalam mengambil keputusan atau membuat kebijakan ?
Bukankah pemahaman ini yang diperlukan seorang pemimpin untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi,perubahan budaya,lingkungan,kebijakan,politik dan globalisasi yang sekarang sulit ditebak.

Pentingya pemimpin menjadi :konektor “.
Konon,seluruh manajemen pemerintahan di Indonesia pun sekarang sudah berkomunikasi dengan Blackberry,benda kecil yang menjamin “real time communication “ berbentuk apa saja,gambar,data ,berita atau video sekalipun. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa gejala komunikasi satu arah,tidak adanya keseimbangan antara “memberi pengarahan “dan “ mendengar secara seksama “,masih mewarnai gaya kepemimpinan disekitar kita. Bahkan,banyak kita dengar bahwa anggota tim sering seolah olah rukun satu sama lain,tetapi tidak “berbicara “dalam proporsi sesuai yang dibutuhkan.Padahal kita sama sama sadar bahwa gaya kepemimpinan yang tidak mengutamakan penggalangan spirit,optimisme dan konsesnsus sudah tidak mempan didunia yang sudah semakin kompleks dan membutuhkan keputusan yang tajam, dan cepat ini.

Lee Lacocca,misalnya,menyatakan bahwa ketika mulai membenahi Chrysler,perusahaan tersebut bagai sekumpulan kerajaan kecil yang tidak berhubungan satu sama lain.Dan,prioritas utamanya kemudian adalah mempersatukan tim. Seorang pemimpin justru butuh menyadari kesenjangan dan dengan cepat mnghubungkan antara satu departem,en dengan departemen lain,antara masa lalu,sekarang dan masa depan,serta antara “ concern” internal organisasidengan pihak eksternal untuk memecahkan masalah,dan bahkan “menemukan” solusi yang unik.
Ia pun perlu berani pasang badan untuk menjadi konektor diantara koleganya,bukan saja dalam masalah rasional,tetapi juga emosional. Kreativitaslah yang menyebabkan seorang pemimpin yang penuh kekurangan bisa “survive”,baik dalam cara memecahkan masalah dan juga pada cara berhubungan dan menghubungkan orang disekitarnya.
Kepekaan,kemampuan menjadi konektor,”passion” dan kreativitas tidak membutuhkan pendidikan khusus,setiap pemimpin dapat berlatih dan meningkatkan kompetensi kompetensi dasar ini asalkan ada keteguhan hati.
Klik DISINI untuk membaca artikel menarik lainnya tentang Leadership.

by:Eileen Rachman & Sylvia Savitri , 9 Februari 2008
EXPERD
Personal Growth & Soft Skills Training.

Kamis, 07 Februari 2008

CUTI BERSAMA THN.2008 DIKURANGI

Revisi cuti bersama thn.2008

Pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Agama,Menteri Transmigrasi dan Tenaga Kerja dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 1 Tahun 2008,mengurangi jumlah cuti bersama tahun 2008 yakni dari semula 8(delapan ) hari menjadi 5( lima ) hari.
Sebagaimana yang telah diketahui,bahwa dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) yang terdahulu Nomor 55 Tahun 2007 telah ditetapkan hari hari libur nasional dan cuti bersama tahun 2008 sebanyak 8 (delapan ) hari.
Dalam keputusan barunya tsb,pemerintah menghapus cuti bersama tgl.8 Februari , 2 Mei dan 19 Mei 2008
Dengan demikian,cuti bersama tahun 2008 adalah :

1.Tanggal 11 Januari 2008.
Cuti bersama menyambung tahun baru 1429 Hijriyah.

2.Tanggal 29-30 September dan 3 Oktober 2008
Cuti bersama sebelum dan sesudah Idul Fitri 1 Syawal 1429 H.

3.Tanggal 26 Desember 2008
Cuti bersama sesudah Natal

Menurut Menteri PAN,keputusan ini hanya berlaku untuk mengatur PNS,sedangkan untuk pegawai swasta,diatur sesuai dengan kebijaksanaan perusahaan masing masing.
Adapun untuk keterangan detail tentang hari libur nasional thn.2008 dapat dilihat di Arsip Blog Januari 2008 (Libur dan Cutibersama thn.2008).

(Disunting dari SK Kompas tgl.6 Fabruari 2008)

Rabu, 06 Februari 2008

The Legacy you leave is the legacy you live

Warisan


Pembicaraan terjadi antara saya dan arsitek kondang Tan Tjiang Ay mengenai apa yang akan kita tinggalkan kalau kita “tutup buku”.Ketika saya mengatakan bahwa sebagai arsitek .posisinya lebih mudah karena yang akan ditinggalkan nanti adalah hasil karya yang nyata dan terasa,beliaupun membantahnya. Beliau lalu mengatakan bahwa yang ditinggalkan seorang arsitek bukan benda mati seperti bangunannya,tetapi “legacy”-nya.,yaitu dampak dan kualitas positif yang bisa meng-inspire,menjadi poros penyemangat,bahkan landasan action,dan pola pikir bagi penerusnya.

Pembicaraan jadi semakin seru dan berusaha menjawab : “ Apakah seseorang yang masih hidup perlu memikirkan apa yang akan dia tinggalkan pada kematiannya,selain harta ?”. Orang yang cuek dan tidak setuju,bisa saja malah memikirkan “Apakah saya memang perlu merancang apa yang akan saya nikmati ketika sudah dialam lain ? Mati ya mati….. “
Kita lihat bahwa banyak tokoh dan ahli yang hingga bertahun tahun wafatnya masih disebut sebut jasa,pemikiran,teori dan falsafahnya. Saya teringat dalam pemakaman seorang tokoh pendidikan,penerusnya secara sederhana mengatakan “ Beliau sudah meninggalkan spirit “ kesejukan “ dalam organisasi kita,yang sebelum beliau menjabat,sering bertengkar dan berselisih paham. Kultur inilah yang sampai sekarang kita jaga dalam rapat rapat dan cara berorganisasi.”
Saya jadi teringat sebuah quote, “ if you lead a meaningful life,you never really die”. Mungkin ini yang dimaksud dengan “ legacy”.tetapi apakah “legacy “hanya perlu dipikirkan oleh pemimpin besar atau CEO perusahaan perusahaan beromzet triliunan ?
Secara pribadi,konsep “legacy” ini jadi berpengaruh dalam lamunan lamunan saya. Yang jelas,memang banyak orang yang punya keinginan untuk mewariskan spirit,energi,visi,nilai dan berharap bahwa ide idenya dikemudian hari tidak dianggap basi atau bahkan “salah” oleh para penerusna.
Bukankah banyak kecanggihan yang ditinggalkan oleh para tokoh dan ahli yang sampai sekarang pun bisa kita implementasikan,kita jalankan,bahkan masih kita kagumi sehingga dunia,sepeninggalnya malah jadi lebih baik ?

“ The legacy you leave is the legacy you live “.
Siapa sih yang tidak ingin “nama” atau “nama perusahaan “nya melegenda secara harum dan positif ? Kenyataannya banyak diantara kita –terutama para pemimpin atau manajer-karena kesibukan dan fokus pada masa sekarang tidak menyadari bahwa segala tindak tanduk,strategi dan kebijakan akan meninggalkan bekas.
Bekas bisa positif tetapi bisa juga membentuk dendam,kekalahan,kerugian,kekeroposan
bahkan keterpurukan.
Berarti ,disetiap tugas ,kebijakan dan strategi kita ada “ Pe-Er “ tambahan,yaitu mempertanyakan apakah yang kita buat dan gariskan sekarang akan shape the future atau malah sebaliknya merugikan.
Dengan pola pikir demikian, maka penerus atau pengganti kita tidak perlu selalu mengganti policy atau bahkan merombaknya ketika baru menjabat karena justru bisa menggunakan –bahkan ingin mengambil –manfaat dan meneruskan apa yang pernah kita bangun dan cita citakan. Pemikiran ini juga bisa membuat orang tidak “ aji mumpung” ketika menjabat karena ia perlu berpikir panjang tentang apa yang akan terjadi bila “ saya sudah tidak disini lagi “.

“Legacy “ : dampak dan kualitas positif yang tertinggal.
Kita tahu bahwa kita bisa menjadi lebih baik dengan belajar dari kesalahan masa lalu.Orang yang melihat ayahnya sering memukuli ibunya bisa berjanji pada dirinya untuk seumur hidup mengghindari kekerasan. Kesalahan strategi yang menyebabkan perusahaan merugi dan berhutang banyak,bisa jadi momentum perbaikan bagi penerusnya agar lebih hati hati dalam mengantisipasi dengan menghindari kesalahan atau dosa dosa lampau.Bahkan banyak tokoh yang melakukan kesalahan,mencetak kerugian tapi masih bisa dikenang nilai nilai dan paham positifnya. Meskipun kesalahan ,kekhilafan dan kegagalan bisa menjadi pemicu kehidupan yang lebih baik,namun itu bukanlah legacy.
Legacy adalah kualitas positif,spirit,penyemangat,nilai dan dampak positif yang menjadi landasan kehidupan seterusnya yang lebih baik.Dampak yang terlihat misalnya semakin pintarnya sekelompok manusia karena spirit belajar dalam kelompok yang dibangun seorang tokoh seperti Ki Hajar Dewantor,semakin “hijau” dan produktifnya lingkungan sehingga para penerus bisa melanjutkan kualitas kehidupan yang lebih baik atau semakin kuatnya “self esteem” sekelompok orang sehingga mau dan giat mengembangkan profesinya walaupun profesi tersebut tidak ada duitnya.

Merancang legacy adalah pilihan.
Mewariskan kekayaan sampai tujuh turunan tidak termasuk membuat legacy,.Berarti terkadang membuat legacy lebih sulit daripada sekedar mengumpulkan kekayaan supaya bisa menjadi warisan. Cara kita hidup,berkata kata dan mengambil esensi dari kualitas kehidupan,kemudian men-transfernya kedalam kebijakan,peraturan dan sistemlah yang perlu kita tata.
Legacy yang kita turunkan juga akan menggambarkan visi dan obsesi kita selama hidup.Semakin jelas visi dan kuat obsesi kita,semakin besar dampaknya.Kalau kita berobsesi kuat agar lingkungan kerja bersih berintegritas maka tindakan,kata kata kitapun akan bergaung jauh kedepan ;.kalau kita ingin memajukan kaum nelayan dan mati matian membuat kegiatan,mendidik,mendera,menciptakan lapangan kerja,mengakomodasi,maka sepeninggal kita para nelayan pasti masih menikmati spirit kita dan meneruskannya dengan kekerasan hati pula.
Berpikir tentang legacy sebenarnya bisa merupakan katalis dalam pengambilan keputusan,karena lebih berorientasi jangka panjang. Memikirkan legacy pun tidak perlu terkait dengan matinya seseorang.
Setiap pemegang jabatan sesungguhnya bisa membiasakan diri berpikir untuk mewariskan sistem,value, SOP yang mantap,positif dan memberi nilai tambah diareanya,sehingga ketika dia “pergi”(baca:mati) ,semua yang ditinggalkan berbekas keharuma namanya.

”Gajah mati meninggalkan gading,harimau mati meninggalkan belang “,janganlah kita pergi dengan meninggalkan “borok”.

By: Eileen Rachman $ Sylvina Savitri
EXPERD
Personnal Growth & Soft Skill Trainning.

Berita bagus untuk Anda

Pil KB untuk Pria??

Juli 3, 2007 at 5:05 am (kesehatan)

Jenis alat kontrasepsi bagi kaum pria bertambah satu lagi yaitu penggunaan pil hormonal yang berfungsi menghentikan produksi sperma, laporan dari The Lancet 29 April 2006 kemarin.

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Australia’s ANZAC Research Institute membuat suatu pil yang berisi kandungan androgen.

Penelitian dilakukan terhadap 1.500 pria usia 18-51 tahun, antara 1990-2005. Waktu rata-rata untuk mengembalikan kondisi sperma dalam keadaan semula adalah 3,4 bulan. Beberapa faktor yang berhubungan dengan kembalinya kondisi sperma dalam keadaan semula setelah menggunakan pil KB tersebut adalah faktor usia, ras, lamanya menggunakan pil KB, dan konsentrasi sperma pada keadaan awal.

Mereka yang berusia tua, orang Asia, masa penggunaan pil KB yang pendek, dan konsentrasi sperma pada keadaan awal yang tinggi ternyata mempercepat pulihnya konsentrasi sperma, hingga kadarnya memungkinkan kembali untuk disebut sebagai “subur”.

Selama ini alat kontrasepsi yang dapat digunakan untuk kaum pria hanyalah kondom dan tindakan vasektomi. Banyak pasangan yang merasa tidak nyaman menggunakan tindakan KB jenis tersebut, terutama vasektomi yang tindakannya tidak mudah, karena harus dilakukan tindakan operasi.

Temuan pil KB bagi kaum pria ini menjadi satu tambahan jenis kontrasepsi bagi mereka yang ingin KB dengan jenis yang lebih nyaman dan mudah penggunaannya, dikatakan peneliti Dr. Peter Liu.(artikelkesehatan.blogspot.com)